Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Institusi: UNJ
Kab/Kota: Palu
Tokoh Terkait
Eros Djarot
Arie Kriting
Membaca Fenomena Artis Ikut Demo Nasional 28 Agustus 2024
Kompas.com Jenis Media: Nasional
Membaca Fenomena Artis Ikut Demo Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) GERAKAN kawal konstitusi pada 22 Agustus lalu, telah membuahkan hasil. DPR sempat menunda revisi UU Pilkada yang hendak mengamputasi putusan MK No 60 dan No 70. DPR akhirnya ketuk palu menyetujui PKPU yang sesuai putusan MK. Semoga DPR tidak melakukan upaya amputasi lagi. Sesungguhnya gerakan kawal konstitusi tidak akan pernah berhenti dalam setiap episode sejarah republik ini. Apalagi ketika rakyat sudah muak dengan upaya kekuasaan memanipulasi konstitusi. Kemuakan rakyat itu terlihat juga dari meluasnya gerakan dan dukungan hingga saat ini. Mereka yang turut serta dalam gerakan kawal konstitusi ini berasal dari banyak elemen masyarakat. Ada mahasiswa, akademisi, buruh, aktivis prodemokrasi, masyarakat umum, bahkan tidak sedikit berlatar belakang seniman, selebritis, sastrawan, komika dan pekerja kreatif lainya. Atas fenomena tersebut muncul sejumlah pertanyaan. Di antaranya mengapa para artis, seniman dan pekerja kreatif bisa berani bersuara lantang hadir di tengah-tengah demonstran dan menyampaikan orasi? Fenomena itu sebenarnya bukan fenomena baru. Di banyak negara, artis ikut bersuara kritis terhadap ketidakadilan. Misalnya di Amerika Serikat, akhir-akhir ini ada Angelina Jolie, Gigi dan Bella Hadid, Mark Ruffalo, Renee Rap, dll yang bersuara lantang kritis terhadap perang dan membela Palestina. Tentu mereka berani berbeda sikap dengan pemerintahnya. Di Indonesia sejak era Soekarno, Soeharto hingga saat ini, tidak sedikit artis, seniman, atau sastrawan budayawan yang berani bersuara kritis. Sebut saja, misalnya, Pramoedya Ananta Toer, Taufiq Ismail, W.S.Rendra, Butet Kertaradjasa, Selamet Raharjo, Iwan Fals, Eros Djarot, Wiji Tukul, dll. Saat rezim represif tidak mudah bagi kalangan seniman, sastrawan, dll untuk ikut bersuara lantang. Karena itu, sikap berani para seniman patut kita apresiasi. Munculya artis papan atas Indonesia Reza Rahadian di tengah demonstran pada 22 Agustus lalu, bahkan menyampaikan orasi, adalah fenomena yang patut dicatat dalam sejarah gerakan sosial di Indonesia. Selain itu, ada sutradara Joko Anwar, artis dan politisi Wanda Hamidah, komika Bintang Emon, Arie Kriting, Abdur Arsyad, Mamat Alkatiri dll, adalah tanda bahwa persoalan rusaknya politik juga telah mengganggu kerja kerja kreatif para seniman, dan lain-lain. Sebab secara empirik, hanya di negara-negara demokratis dan menjunjung tinggi konstitusi kerja-kerja kreatif itu tumbuh subur, karena diberi ruang merdeka dan ekosistem pekerja kreatif yang sehat. Simbiosis mutualisme dengan sehatnya politik. Makin politik tidak sehat, perkembangan seni juga semakin tidak sehat. Dalam orasinya, Reza menegaskan bahwa kehadirannya bukan karena keterlibatan politik, melainkan karena peduli terhadap kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. "Saya selalu cenderung berhati-hati dalam mengambil sikap. Saya tidak pernah mau ikut dalam kontestasi politik, saya tidak ikut campur dalam urusan pemilihan dan lain-lain atau jadi kubunya siapa adalah hal yang paling saya hindari. Namun tadi malam, saya menulis bahwa kalau Mahkamah Konstitusi sedang melakukan perbuatan yang mengembalikan nobility-nya sebagai konstitusi, lalu hari ini kita mendapatkan kenyataan bahwa itu coba dianulir oleh lembaga yang katanya adalah wakil-wakil kita semua hari ini. Lantas Anda-anda di dalam (Gedung DPR) ini wakil siapa?" kata Reza. Aktor berusia 37 tahun itu mengungkapkan kekecewaannya terhadap kondisi demokrasi di Indonesia yang membuatnya tidak bisa lagi berdiam diri. "Selama ini, saya mengekspresikan keresahan dan kritik sosial melalui seni, tetapi sekarang saya merasa harus berbicara," kata Reza. Dalam terminologi Critical Discourse Analysis (Van Dijk, 2015), narasi Reza Rahadian itu bisa dimaknai memuat teks, konteks, dan gambaran kognisi sosial yang dipikirkan dan dirasakanya. Ia gelisah dengan keadaan demokrasi yang memburuk dan ia menggugat Wakil Rakyat yang disfungsi. Karenanya, ia bergerak bersama massa di depan DPR. Hal senada disampaikan Bintang Emon. Dalam orasinya, ia menegaskan kehadirannya bukan untuk membela kelompok mana pun. Ia mengekspresikan amarah atas situasi yang dianggap tak sesuai prinsip demokrasi. "Kita tidak membela perseorangan, partai apapun, tapi kita kumpul di sini karena kemarahan kita. Banyak akrobat yang putusannya tidak masuk akal dan dipaksa menelan. Kita harus lawan!". Demikian Bintang Emon saat orasi. Terlihat dari narasi, konteks dan kognisi sosialnya terbaca dengan jelas bahwa ia kecewa dengan buruknya demokrasi dan sering terjadinya manipulasi keputusan yang seringkali tidak masuk akal. Faktor-faktor internal itulah yang dipikirkan dan dirasakan Reza Rahadian, Bintang Emon, Arie Kriting, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal yang mendorong para seniman dan pekerja kreatif lainya bergerak adalah kondisi obyektif bergeraknya para mahasiswa di berbagai kota, di saat yang sama algoritma gerakan kawal konstitisi di media sosial begitu kuat mewarnai lini masa. Jika kita merujuk pada terminologi teori Civil Society sesungguhnya seniman dan para pekerja kreatif pada titik tertentu juga bisa menjadi bagian dari civil society. Teori civil society dikonstruksikan atas dasar fenomena munculnya semacam kehendak masyarakat membebaskan diri dari kesewenang-wenangan raja atau penguasa. Suatu entitas sosial yang berbeda, bahkan berseberangan dengan penguasa. Kemunculan teoritik dan empirik diawali pada masa sebelum revolusi Perancis pada abad ke-18, meskipun secara etimologis istilah civil society ada sejak abad sebelum masehi ketika filsuf Romawi Cicero (106 SM - 43 SM) menggunakan istilah Societas Civilis untuk menjelaskan pemikiran Aristoteles (384 SM - 322 SM) tentang koinonia politike (komunitas politik tempat warga terlibat langsung dalam pengambilan keputusan politik, ekonomi, dll). Konsep civil society ditandai dengan tumbuhnya kebebasan, kemerdekaan, dan kemandirian individu dalam kehidupan ekonomi, politik maupun sosialnya. Karenanya penulis cermati bahwa kemunculan para seniman, selebritis, komika dan pekerja kreatif lainya dalam satu gerakan perlawanan terhadap upaya 'membegal konstitusi' adalah satu gerakan sosial civil society. Sebab mereka menunjukan kebebasan, kemerdekaan, dan kemandiriannya dalam merespons realitas politik saat ini yang memburuk. Kepada para seniman, komika dan pekerja kreatif lainya terima kasih dan selamat untuk Anda dan kita semua yang terus ambil sikap jelas dalam menyelamatkan demokrasi dan konstitusi. Sebab menyelamatkan demokrasi dan konstitusi hakikatnya adalah menyelamatkan hajat hidup orang banyak. Itulah hakikat demokrasi. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: positif (61.5%)