Cegah Banjir Impor Petrokimia dari UEA
Beritasatu.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, Beritasatu.com – Implementasi Indonesia-United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement (IUAE-CEPA) sejak tahun 2023 merugikan industri petrokimia nasional. Sebab, perjanjian kerja sama perdagangan itu bakal memicu banjir impor produk petrokimia Uni Emirat Arab (UEA) di pasar domesitk.
Saat ini, merujuk IUAE-CEPA, tarif bea masuk (BM) impor petrokimia dari UEA sudah turun menjadi 2%. Bahkan, tarif BM ini akan turun lagi menjadi 0% pada 2026.
Hal yang patut diwaspadai, pada 2026 pabrik-pabrik baru petrokimia di UEA mulai beroperasi. Ini akan membuat serangan impor petrokimia dari UEA bertambah masif, karena kapasitas produksi terpasang naik signifikan. Hal ini perlu dicegah melalui revisi perjanjian atau minimal penetapan batasan volume impor yang diizinkan.
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, dengan IUAE-CEPA, BM impor petrokimia UEA di Indonesia sangat rendah.
“Akibatnya, pangsa pasar industri petrokimia lokal di dalam negeri tergerus, sehingga terjadi injury," kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Jumat (9/8/2024).
Faisal mengatakan, perjanjian tersebut juga menghambat industrialisasi petrokimia, terutama di sektor hulu. Padahal, semestinya kebijakan industrialisasi diikuti oleh kebijakan di sektor perdagangan dan lainnya.
Faisal menambahkan, membeludaknya petrokimia impor juga dipicu kurang ketatnya kontrol di pelabuhan. Pendeknya, barang-barang impor terlalu bebas masuk ke dalam negeri. Dengan adanya impor yang berlebih, dia menuturkan, pemanfaatan kapasitas produksi industri petrokimia domestik menurun. Hal ini menjadi disinsentif bagi industri petrokimia untuk bisa terus bertahan.
Dia mengatakan, jika pemerintah ingin mendorong industri petrokimia dan plastik, kebijakannya harus sinkron. Misalnya, lanjut Faisal, dalam menjaga pasar dalam negeri, pemerintah harus menciptakan linkage antara industri hilir dan hulu. Dia menilai, selain kebijakan antidumping, industri petrokimia membutuhkan pendekatan yang lebih berkelanjutan, bersifat jangka panjang, dan permanen. Ini demi menjaga daya saing dan keberlanjutan industri petrokimia.
Selain itu, Inaplas sebelumnya sudah mengajukan beberapa instrumen perlindungan industri dari serbuan impor kepada pemerintah. Contohnya, penerapan bea masuk antidumping (BMAD) dan bea masuk tindak pengamanan (BMTP) untuk bahan baku plastik, seperti PP dan linear low density polythylene (LLDP).
Sebelumnya, pada 2017, pemerintah mengenakan BMAD impor biaxially oriented polypropylene (BOPP) dalam bentuk film, pelat lembaran, foil, dan lainnya dari Thailand dan Vietnam berdasarkan PMK No.1 tahun 2017. Dalam beleid itu, tarif BMAD yang dikenakan mencapai 28,4% untuk BOPP yang diproduksi oleh perusahaan Thailand selain A.J Plast Publick Company Limited dan 3,9% untuk produk BOPP yang dikenakan perusahaan Vietnam.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, selain menggodok regulasi pengamanan impor tujuh komoditas, pihaknya menilai pengamanan industri plastik dari impor juga diperlukan.
"Tetapi, kebijakannya bukan antidumping, tetapi larangan terbatas atau pembatasan impor," kata dia.
Dia menilai, industri plastik terancam karena tidak lagi ada kebijakan larangan dan pembatasan yang lengkap. Terlebih, jumlah restriksi atau pembatasan perdagangan di Indonesia masih minim.
"Jumlah restriksi Indonesia lebih sedikit dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) dan China. Kalau kita ekspor hasil manufaktur ke China, ada 3.000 lebih jenis restriksi, demikian pula dengan AS. Kita baru ada sekitar 100-an restriksi," ujar Febri.
Pemerintah pun tengah merancang aturan yang dapat membatasi laju importasi produk hilir guna menjaga daya saing barang lokal. Namun, saat ini, pihaknya baru akan mengamankan tujuh sektor, seperti tekstil produk tekstil (TPT), pakaian jadi, keramik, perangkat elektronik, produk kecantikan, barang tekstil sudah jadi, dan alas kaki.
"Kita melihat impor tujuh sektor ini direlaksasi dalam Permendag 8/2024. Kami berharap tujuh sektor ini menjadi game changer untuk meningkatkan kinerja industri yang ditunjukkan oleh IKI (Indeks Kepercayaan Industri) dan PMI [Purchasing Managers' Index]," terang dia.
Sentimen: positif (79.9%)