Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Jember
Tokoh Terkait
DPRD Jember: Perdebatan Hukum Warga vs PT KAI Daop 9 Selesai, Tapi…
Beritajatim.com Jenis Media: Regional
Jember (beritajatim.com) – Komisi A DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, mengakui jika proses hukum sengketa antara warga Jalan Mawar melawan PT Kereta Api Indonesia Daerah Operasi 9 sudah selesai. Namun persoalan yang masih mengganjal di lapangan harus diselesaikan.
Sengketa kepemilikan bangunan rumah antara warga dengan PT KAI sudah masuk ke persidangan hingga peninjauan kembali di Mahkamah Agung. “Kalau soal hukum, perdebatannya sudah selesai. Tapi kami lebih pada bagaimana rakyat kita di enam rumah yang dikosongkan PT KAI,” kata Ketua Komisi A Tabroni, dalam rapat dengar pendapat di DPRD Jember, Rabu (24/7/2024).
“Proses (sengketa) ini panjang. Komisi A sudah hearing, melakukan rapat dengar pendapat, sidak ke lokasi. Jadi kami sudah tahu persis masalahnya,” kata Tabroni.
Warga mengadu ke Komisi A karena terdampak kebijakan PT KAI Daop 9 yang memerintahkan pengosongan enam bangunan rumah di Jalan Mawar, Jumat (19/7/2024) lalu. Dalam siaran persnya, PT KAI Daop 9 menyatakan, bahwa enam rumah itu adalah rumah perusahaan.
Penertiban dilakukan sebagai upaya menjaga dan menyelamatkan aset negara. Aset tersebut memiliki sertifikat hak guna bangunan dan tercatat dalam aktiva perusahaan. Warga penghuni enam rumah itu sudah diberi kesempatan menandatangani kontrak sewa, namun senantiasa menolak.
Barang-barang warga yang terusir dari enam rumah tersebut dipindahkan sementara ke bangunan milik PT KAI Daop 9. Warga diberi tenggat hingga 26 Juli 2024 untuk mengambil semua barang. “Kalau tidak diambil, ada barang yang hilang dan rusak, PT KAI tidak bertanggung jawab,” kata Tabroni.
Alfan Yusfi, anggota Komisi A, berharap kepada semua pihak untuk mengedepankan rasa kemanusiaan di luar koridor hukum yang menjadi pijakan. “Sebenarnya permasalahan ini, kalau kita mengedepankan rasa kemanusiaan, bisa selesai. Mereka hanya butuh tempat,” katanya.
Tindakan yang disebut sebagai penertiban oleh PT KAI, menurut Alfan, dimaknai warga seperti tindakan eksekusi. “Aset-aset mereka dikeluarkan dengan cara yang tidak baik,” katanya.
Alfan tidak berharap warga kecewa terhadap pemerintah. “Tidak percaya lagi kepada aparatur penegak hukum dan tidak percaya lagi kepada kami,” katanya.
Alfan mengatakan, warga yang terusir dari enam rumah di Jalan Mawar saat ini sedang kalut. Tenggat 26 Juli 2024 yang diberikan PT KAI Daop 9 untuk mengambil semua barang yang dititipkan di salah satu bangunan tidak bisa segera dilakukan karena membutuhkan biaya besar untuk mengangkutnya. “Tidak usah memikirkan barangnya, memikirkan diri sendiri saja kebingungan,” katanya.
Merespons situasi ini, Alfan meminta kepada polisi dan PT KAI untuk mengamankan barang-barang warga tersebut tanpa tenggat waktu. “Jangan dikasih deadline waktu seperti itu. Kasihan. Kalaupun bisa mengambil, mau ditempatkan di mana? Ini kita kedepankan rasa kemanusiaan,” katanya.
Alfan menyebut rumah-rumah itu aset PT KAI yang diperoleh dari pemerintah kolonial Hindia Belanda pada masa nasionalisasi era Presiden Soekarno. “Ini sejak lama, tapi baru diurus SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan)-nya pada 2020 ketika ada perintah dari pusat. Dan di situ ada subyek warga kita yang menempati dan ada sejarahnya. Mereka adalah keluarga pegawai PT KAI yang sudah lama,” katanya.
Kepala Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kantor Pertanahan Jember Choirul A. mengatakan, tanah yang dihuni warga tersebut adalah tanah negara. “Masuk sebagai grondkaart, sebagai bukti penguasaan dari pemerintah yang kemudian diserahkan pengelolaannya kepada PT KAI. Dengan dasar itu, PT KAI kemudian mengajukan permohonan sertifikat, didukung bukti-bukti lain selain grondkaart,” katanya.
“Grondkaart adalah alat bukti pendukung, bukan bukti kepemilikan aset PT KAI. Dengan dasar itu, PT KAI mengajuukan permohohan HGB. Grondkaart itu riwayatnya merupakan penguasaan Belanda pada waktu itu. Aset yang dikelola perusahaan swasta Belanda yang kemudian dinasionalisasi pemerintah yang kemudian pengelolaannya diserahkan kepada salah satu badan usaha milik negara,” kata Choirul.
Bukti lain yang diajukan adalah perjanjian kontrak sewa dari masyarakat. “Itu salah satu yang jadi dasar selain grondkaart dan data pendukung lain yang nenjadi landasan terbitnya sertifikat hak guna bangunan atas nama PT KAI. Jadi penguasaannya jelas, fisik sudah jelas, akhirnya kami terbitkan sertifikat itu sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” kata Choirul.
Persoalan muncul setelah PT KAI memberikan syarat kepada warga untuk menandatangani kontrak sewa-menyewa lahan dan rumah yang saat ini ditempati. Warga menolak dengan alasan status kepemilikan tanah belum jelas, dan mereka masih menggugat.
“Mereka masih mencari cara supaya ini bisa sesuai kepentingan yang bersangkutan untuk urusan tanah itu. Prinsipnya BPN mematuhi apa yang sudah ada, termasuk kalau ada upaya penanganan lagi setelah ad penertiban, kami manut. Apa yang akan disampaikan kawan-kawan PT KAI terkait tindak lanjut uipaya penanganan ini, kami ngikuti,” kaya Choirul.
Alfan percaya warga sebenarnya mau menandatangani surat kontrak itu dan ingin diajak duduk bersama. Dia meminta kepada PT KAI agar enam rumah yang ditinggalkan warga itu tidak terburu-buru disewakan ke pihak lain.
“Ke depan, kalau ada pengamanan aset seperti ini, khususnya aset PT KAI dan aset-aet BUMN lainnya, kami juga diberitahu, agar paling tidak kalau kami ditanya warga yang terdampak, kami bisa menjawab. Atau sebelumnya kami juga bisa berkomunikasi dengan warga,” kata Alfan.
“Kami tidak ingin kejadian ini (penertiban pada Jumat pekan lalu, red) terulang lagi dan berdampak pada kepercayaan terhadap kita semua,” kata Alfan.
Kepala Bagian Operasi Kepolisian Resor Jember Ajun Komisaris Istono mengatakan, sebelum dilakukan tindakan terhadap penghuni enam rumah di Jalan Mawar, rapat rutin sejak dua bulan sebelumnya yang melibatkan Dinas Perhubungan, Satuan Polisi Pamong Praja, dan Muspika Patrang.
“Kami sudah menyarankan agar melakukan pendekatan melalui beberapa tokoh, sampai surat peringatan 1, 2, 3. Saya juga dikirimi tembusannya,” kata Istono.
Menurut Istono, warga penghuni enam rumah tidak ada yang bersedia menghadiri pertemuan dengan PT KAI dan sejumlah pihak. Bahkan, pendekatan juga dilakukan melalui Wakil Bupati Muhammad Balya Firjaun Barlaman. “Juga tidak ada yang mau datang. Ini informasi yang kami dapat. Sedangkan pihak Kereta Api sudah bersurat terus,” katanya.
“Kami menunda itu (penertiban, red) untuk memberikan kesempatan kepada Muspika, PT KAI, untuk melakukan pendekatan. Namun lagi-lagi tidak ada (respons). Kami dari awal sudah konsekuen agar humanis dan dilakukan pendekatan secara kekeluargaan, karena notabene (warga) adalah keluarga besat PT Kereta Api,” kata Istono.
Istono sempat menanyakan dasar tindakan yang diambil PT KAI. PT KAI pun memberikan sekian alasan. “Terakhir dia mendapat teguran dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), aset negara kok dibiarkan,” katanya. [wir]
Sentimen: positif (49.6%)