Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Madura
Tokoh Terkait
Jilbab Paskibraka Jadi Polemik di HUT RI 2024, Simak Lagi Kisah Laksamana Keumalahayati
Liputan6.com Jenis Media: Regional
Isu adanya perintah pelepasan jilbab demi keseragaman Paskibraka juga direspons perwakilan Aceh. Bahkan ada selentingan perwakilan Aceh akan menarik diri dari Paskibraka HUT RI 2024. Namun kabar itu ditampik Kabid Ideologi Kesbangpol Aceh, Munarwansyah. Kepada Liputan6.com, Kamis (15/8/2024), dirinya memastikan Paskibraka perempuan perwakilan Aceh tetap menjalankan tugas karena sudah dipastikan tetap menggunakan jilbab.
"Benar memang pada saat pengukuhan. Tetapi ini sudah clear semua, nanti mana pengibaran bendera sudah clear sudah banyak berita dari sekretariat presiden, dari BPIB sendiri nanti akan mengenakan jilbab pada pelaksanaan upacara nanti. Jadi enggak ada persoalan lagi. Sudah selesai," tegas Munawansyah.
Terkait polemik ini, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi sendiri secara terbuka telah melayangkan permohonan maaf. Sesuai arahan Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres), Heru Budi Hartono, anggota Paskibraka wanita tak perlu melepas hijab dalam upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 RI tanggal 17 Agustus nanti.
"Dan pak gubernur sudah menyampaikan statementnya, kita baca semua dari media statement pak gubernur semua pihak menghargai kekhususan Aceh, itu saja," imbuh Munarwansyah.
Penggunaan jilbab bagi masyarakat Aceh sudah menjadi kewajiban. Dalam kehidupan sehari-hari saat berada di luar rumah, perempuan Aceh pasti mengenakan jilbab, dan ini sudah menjadi ciri khas di Aceh yang sama sekali tidak mengganggu segala aktivitas. Jika kembali ke zaman perjuangan kemerdekaan, bahkan banyak pahlawan dari Aceh yang datang dari kaum perempuan, yang turut serta berjuang di medan pertempuran fisik. Salah satunya sebut saja Laksamana Keumalahayati.
Keumalahayati merupakan perempuan asli Aceh kelahiran 1 Januari 1550, dan menjadi satu di antara beberapa singa betina dari Tanah Rencong yang bernyali besar, selain Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia yang melawan kolonialisme. Terlahir dengan nama Keumalahayati, ia berasal dari keluarga pengarung samudra berdarah biru.
Seperti tertulis di dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, karya Ismail Sofyan disebutkan bahwa ayah Keumalahayati yakni Laksamana Mahmud Syah adalah Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh. Keumalahayati adalah cicit dari Sultan Salahuddin Syah, raja kedua di Kesultanan Aceh yang memerintah pada tahun 1530 sampai 1539.
Masa remaja Keumalahayati dijalani di dalam lingkungan istana, termasuk mengikuti pendidikan di akademi militer matra angkatan laut kesultanan yang dikenal sebagai Mahad Baitul Maqdis. Pada usia sekitar 35 tahun, kira-kira tahun 1585, Malahayati dipercayakan untuk mengepalai Barisan Pengawal Istana Rahasia dan menjabat sebagai Panglima Protokol Pemerintah pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil.
Perlawanan terhadap kolonialisme Portugis pertama kali diinisiasi oleh Keumalahayati melalui sebuah pertempuran di perairan Teluk Haru, dekat Selat Malaka pada tahun 1586. Suaminya, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, yang juga menjabat sebagai Kepala Pengawal Sultan, memimpin pertempuran tersebut. Armada perang Kesultanan Aceh berusaha menghentikan kapal-kapal perang Portugis. Meskipun armada perang Kesultanan Aceh berhasil mengusir Portugis, sayangnya suami Malahayati gugur dalam pertempuran tersebut.
Keumalahayati tidak bisa menerima kenyataan tersebut dan bersumpah untuk membalas dendam serta melanjutkan perjuangan suaminya. Posisi yang ditinggalkan oleh mendiang Laksamana Tuanku Mahmuddin kemudian diambil alih oleh Malahayati.
Sultan Riayat Syah memberikan Keumalahayati pangkat laksamana, menjadikannya perempuan pertama di dunia pada saat itu yang memegang pangkat tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam buku "Perempuan Keumala". Keumalahayati mengungkapkan rencana ambisiusnya kepada Sultan, yaitu membangun armada tempur laut yang seluruh prajuritnya adalah perempuan.
Untuk meneruskan perjuangan sang suami, Keumalahayati memutuskan untuk membangun sebuah armada tempur laut yang seluruh prajuritnya adalah perempuan. Pasukan elite tersebut dinamakan Inong Balee atau prajurit perempuan yang berstatus janda.
Jumlah pasukannya pun tidak main-main, mencapai 2.000 orang. Mereka adalah para janda dari prajurit yang gugur kala bertempur melawan Portugis. Dengan berbekal kemampuan yang didapat ketika menimba ilmu di Mahad Baitul Maqdis, Keualahayati melatih Inong Balee menjadi pasukan tempur yang disegani.
Pasukan Inong Balee mulai dilibatkan dalam beberapa peperangan melawan Portugis dan Belanda. Wilayah pertempuran mereka tidak hanya sebatas di perairan Selat Malaka saja, namun juga sampai ke pantai timur Sumatera dan Malaya.
Pada tanggal 21 Juni 1599, dua kapal Belanda, de Leeuw dan de Leeuwin berisi pasukan perang dipimpin dua bersaudara, Cornelis dan Frederik de Houtman ingin bersandar di pelabuhan Aceh Besar. Bumi Serambi Makkah itu menjadi tujuan kesekian dari dua bersaudara de Houtman setelah sebelumnya menyinggahi Banten, Madura, sampai ke Bali untuk berburu rempah-rempah.
Hanya saja, mereka selalu menemui perlawanan masyarakat setempat karena tabiat pasukan de Houtman bersaudara yang tak disukai. Hal serupa juga dialami saat mencapai Aceh Besar. Mereka tertahan di atas kapal di tengah laut karena tak dapat izin dari Sultan.
Sentimen: negatif (98.4%)