Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: PLN, PT Telekomunikasi Selular
Institusi: UGM, ITB
Kab/Kota: Lombok
OPINI : Penetrasi Home-Broadband di RI: Measure What Matters
Bisnis.com Jenis Media: Tekno
Bisnis.com, JAKARTA - Artikel ini melanjutkan bahasan sebelumnya tentang pentingnya Indonesia menyediakan home-broadband untuk keluar dari middle income trap (MIT). Home-broadband atau “internet rumahan” adalah nama lain dari fixed-broadband segmen residensial untuk melayani kebutuhan internet masyarakat.
Menurut data APJII 2024, penetrasi internet berbasis broadband di Indonesia terus meningkat, dengan 79,5% populasi pada awal 2024. Naik dibanding 2018 yang mencapai 64,8%. Data tersebut juga menunjukkan 74,3% pengguna mengakses mobile broadband dan hanya 22,4% menggunakan home-broAadband.
Itu artinya, meski jumlah pengguna internet broadband makin mendekati jumlah populasi penduduk, tetapi jumlah tersebut belum membuat masyarakat menikmati layanan broadband yang berkualitas: cepat, unlimited dan murah. Sebagai gambaran, harga paket internet mobile-broadband Indosat 100GB seharga Rp201.000, dan Telkomsel Rp120.000 untuk pemakaian selama dalam 30 hari.
Sebaliknya, home-broadband jauh lebih murah. Dalam sebuah kunjungan penulis ke pelanggan home-broadband di Citayam—Bogor, pelanggan rumah tangga bisa mendapatkan 500GB internet per bulan dengan harga Rp100.000.
Hal itu menunjukkan home-broadband cost jauh lebih efisien. Sebagai perhitungan kasar, rata-rata harga home-broadband mulai dari Rp200 per GB sampai Rp1.000 per GB, sedangkan harga mobile-broadband bisa mulai dari Rp1.500 per GB sampai Rp10.000 per GB.
Menurut survei, rata-rata konsumsi internet rumah tangga di Indonesia adalah 450 GB—500 GB per bulan. Jika menggunakan layanan home-broadband yang termurah, biayanya hanya Rp100.000 per bulan. Sedangkan untuk langganan mobile-broadband harganya dapat mencapai Rp750.000 per bulan.
Sungguh ironis, masyarakat berpenghasilan rendah seringkali harus membayar biaya akses mobile-broadband—yang umumnya berlangganan secara “pra-bayar” dengan mengeluarkan biaya lebih tinggi dibanding masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang dengan mudah berlangganan home-broadband.
Sebagai ilustrasi, untuk memenuhi kebutuhan kuota rata-rata 450 GB—500 GB per bulan, masyarakat berpenghasilan rendah—harus mengisi ulang paket mobile-broadbrand 10 GB seharga misalnya Rp20.000—sebanyak 40 hingga 50 kali.
Jika dihitung total, mereka harus merogoh kantong Rp800.000—Rp1.000.000 per bulan. Sementara masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, cukup membayar paket berlangganan home-broadband unlimited di kisaran harga Rp300.000 per bulan.
Harga langganan mobile-broadband di Indonesia memang umumnya tidak jauh berbeda dengan harga langganan di berbagai negara. Bahkan biaya mobile-broadband di Indonesia cenderung berada di bawah Singapura, Australia, dan Malaysia, tetapi karena daya beli masyarakat Indonesia lebih rendah, harga langanan mobile-broadband tetap sulit terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
Tak hanya mahal, layanan broadband Indonesia masih tergolong lambat. Menurut data speedtest.net, kecepatan broadband Indonesia peringkat ke-125 (31,38 Mbps), di bawah peringkat Rwanda (33,73 Mbps) dan Gabon (40,66 Mbps) bahkan Bangladesh (47,43 Mbps). Jauh di bawah Singapura (285,02 Mbps), Thailand (230,98 Mbps) dan Filipina (94,42 Mbps).
Harga yang tinggi (dan kecepatan yang lambat) membatasi konsumsi data internet masyarakat berpenghasilan rendah. Mereka terpaksa harus “puasa kuota” hingga dana untuk membeli kuota internet tersedia. Padahal, OECD menyatakan bahwa konektivitas broadband adalah komponen kunci dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mempercepat pertumbuhan ekonomi dan inovasi.
Jika fenomena keterbatasan konsumsi data internet masyarakat karena faktor biaya akses broadband yang mahal dan akses yang lambat tersebut terus dibiarkan, maka kesenjangan digital (digital divide) di Indonesia akan makin lebar.
Saat ini saja, biaya berlangganan mobile-broadband di beberapa daerah seperti Aceh, Lombok dan Bengkulu tergolong sangat mahal bahkan mencapai Rp5.000 per GB. Sebuah indikasi terjadinya kesenjangan yang nyata di depan mata.
Jika biaya akses internet mahal, maka bagaimana mungkin pelajar atau mahasiswa di daerah 3T (terluar, terpencil, dan tertinggal) republik ini dapat memperoleh manfaat internet seperti: online education—dengan ITB, UGM, dan universitas lainnya.
Di India, online-education menjadi kebijakan nasional strategis, yang ditopang akses dan infrastruktur broadband yang cepat dan murah. India tergolong sangat maju dalam hal online-education, bahkan mereka memiliki sistem akreditasi lembaga pendidikan online untuk menjaga mutu pendidikan bagi masyarakatnya.
Bayangkan pula, dengan dukungan akses home-broadband di berbagai pelosok daerah, Indonesia memiliki jaringan perpustakaan nasional digital (national libraries digital network) yang dapat diakses seluruh masyarakat Indonesia di mana pun berada.
Begitu pula sekolah-sekolah di seluruh pelosok nusantara, jika semua dapat terkoneksi dengan jaringan fixed-broadband, maka aktivitas belajar online: belajar video edukasi, film sains dan teknologi yang inspiratif akan makin meningkatkan semangat belajar kreatif dan inovatif di kalangan siswa dan guru-guru di sekolah.
Penetrasi home-broadband—yang menyediakan akses internet cepat, unlimited dan murah, memberi “efek pengungkit” atau “leverage effect” yang luar biasa dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan umum—sesuai amanat konstitusi Pembukaan UUD 1945 yang merupakan tujuan hidup bernegara.
Melihat penetrasi home-broadband yang masih rendah, di mana kurang dari 15 juta rumah tangga dari 90 juta rumah tangga di Indonesia—yang baru memakai home-broadband dan itu pun umumnya didominasi kelas menengah ke atas di perkotaan, maka peluang dan potensi Indonesia mengembangkan layanan home-broadband ke depan sangat cerah.
Indonesia bahkan berpeluang mengulang sukses seperti halnya kisah sukses program elektrifikasi nasional “Listrik Masuk Desa” di era Presiden Soeharto yang dicanangkan tahun 1976 dan kini telah mencapai 99,63% tingkat elektrifikasi pada 2024.
Saatnya pemerintah ke depan, di bawah kepemimpinan Presiden Terpilih Prabowo Subianto mulai mencanangkan program “Broadband Masuk Desa” atau “Internet Murah Masuk Desa”, menuju terciptanya 100% wilayah dan masyarakat mengakses layanan internet yang cepat, unlimited, dan murah.
Bekerja sama dengan pihak swasta, BUMN telco dan elemen masyarakat lainnya, para pengambil kebijakan di negeri ini hendaknya menjadikan penetrasi home-broadband menjadi prioritas dan tolok ukur keberhasilan transformasi digital Indonesia.
Saatnya pembangunan industri telekomunikasi nasional fokus memprioritaskan aspek apa yang paling berdampak signifikan (‘measure what matters”) terhadap kemajuan bangsa—yaitu pembangunan home-broadband di seluruh pelosok nusantara.
Ada banyak inovasi yang memungkinkan pembangunan home-broadband ke seluruh pelosok nusantara antara lain: teknologi Broadband over Power Lines (BPL) atau Power Line Communication (PLC), yang menggunakan jaringan listrik PLN untuk transmisi data broadband; memanfaatkan jaringan saluran pipa gas milik PGN; memanfaatkan jalur kereta api untuk melayani perumahan padat penduduk di sepanjang rel kereta api milik PT KAI; atau menggunakan teknologi satelit orbit rendah, seperti Starlink milik Tesla—namun dengan teknologi dan harga langganan yang murah.
Menurut Bank Dunia, peningkatan 10% dalam penetrasi home-broadband dapat meningkatkan PDB 1,21% di negara maju dan 1,38% di negara berkembang.
Dengan fokus “measure what matters” dalam upaya transformasi digital Indonesia—yaitu melalui pembangunan infrastruktur dan teknologi home-broadband yang masif dan merata ke seluruh pelosok nusantara, maka aspirasi pertumbuhan ekonomi 7%—8% per tahun di tengah limpahan bonus demografi menuju tercapainya Indonesia Emas 2045 diharapkan dapat terwujud lebih cepat.
Semoga!
Sentimen: positif (100%)