Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Hewan: Kambing
Kasus: covid-19, nepotisme, pengangguran
Tokoh Terkait
2 Kelas Menengah Terkena Hantaman Nasional
Kompas.com Jenis Media: Metropolitan
Kelas Menengah Terkena Hantaman Wartawan BERITA utama harian Kompas berjudul “ Lampu Kuning Kelas Menengah RI ” beredar luas. Berita itu memberikan gambaran jumlah kelas menengah Indonesia turun signifikan. “Berita itu perlu disikapi secara serius,” isi pesan WhatsApp seorang guru besar ilmu ekonomi kepada saya. Sebagaimana dikutip Kompas , Rabu 7 Agustus 2024, pada 2018, kelas menengah di Indonesia berjumlah 60 juta orang atau 23 persen dari total populasi. Berdasarkan data Susenas, pada 2023, jumlah kelas menengah di Indonesia menurun menjadi 52 juta orang atau 18,8 persen dari total populasi. Dalam rentang waktu lima tahun, ada 8,5 juta orang yang ”turun kelas” dari kelas menengah menjadi calon kelas menengah dan rentan. Hal itu terlihat dari proporsi penduduk calon kelas menengah yang meningkat dari 49,6 persen pada 2018 menjadi 53,4 persen atau setara 144 juta orang pada 2023. Seiring dengan itu, proporsi kelompok masyarakat rentan juga meningkat dari 18,9 persen pada 2018 menjadi 20,3 persen pada 2023. ”Ini mengindikasikan pergeseran dari individu yang sebelumnya kelas menengah menjadi calon kelas menengah, bahkan rentan,” kata peneliti LPEM FEB UI, Teuku Riefky, seperti dikutip Kompas. Sepanjang hari Rabu itu, suasana kebatinan sejumlah orang campur aduk. Mungkin ada rasa bangga – dirasakan sebagian orang – soal persiapan upacara kemerdekaan RI di Ibu Kota Nusantara. Disebutkan pemerintah menyewa 1.000 mobil Alphard seharga Rp 25 juta sehari untuk menghadiri upacara kemerdekaan di IKN. Ada juga biaya “pembersihan” awan senilai Rp 9 miliar. Total biaya untuk sewa mobil saja sudah Rp 34 miliar. Belakangan, berita penyewaan 1.000 mobil Alphard dinyatakan sebagai hoax. Di sebagian masyarakat besarnya biaya perayaan kemerdekaan Ri di IKN, membuat sejumlah orang “gerenengan”. Namun, Istana sebagaimana disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko, “Kalau untuk national day atau hari kemerdekaan menurut saya enggak ada yang mahal. Karena itu adalah hari kita," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (6/8). Elite partai politik tenang-tenang saja. Mereka lebih sibuk mengatur strategi untuk memenangkan pilkada. Mereka sibuk berbagi lapak politik untuk bisa dikuasai. Siapa di Jawa Barat, siapa di Jawa Timur, siapa di Jawa Tengah, siapa di Jakarta, siapa di Banten. Mereka sibuk bersiasat agar Anies Baswedan tidak dapat tiket untuk maju pilkada Jakarta. Koalisi Indonesia Maju Plus, koalisi partai politik pendukung Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto, memastikan mengusung Ridwan Kamil sebagai Gubernur Daerah Khusus Jakarta. PKS yang mengusung Anies Baswedan dan Sohibul Iman dipastikan balik kanan tidak mengusung Anies Baswedan. Alasan yang disampaikan sampai batas waktu yang ditentukan Anies belum bisa mendapatkan mitra koalisi. PKB dan Nasdem sudah ancang-ancang balik kanan bergabung dalam KIM Plus. PKS diperkirakan akan bergabung dengan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Tinggal PDI Perjuangan sendirian. PDIP tak bisa mengusung kandidat sendirian karena kursinya tak cukup. Namun, PDIP tetap merasa yakin tidak akan ada kotak kosong di Jakarta. Dengan konstelasi politik terakhir, Anies Baswedan bisa ditinggal parpol pendukungnya. Sosok Anies Baswedan dianggap sebagai pesaing untuk Pilpres 2029. Sangat mungkin terjadi, Ridwan Kamil akan melawan kotak kosong di Jakarta karena semua partai politik berada di blok pendukungnya. Atau bisa saja, Ridwan Kamil berhadapan dengan Dharma Pongrekun, calon perseorangan yang sedang berjuang di KPUD Jakarta. “Kami sedang kawal prosesnya sampai 13 Agustus 2024,” tulis Darma dalam chat WA kepada saya. Politik kontemporer seakan bergerak tanpa nilai. Visi perubahan bergabung dengan visi kelanjutan. Mengkritik dinasti politik, tapi bergabung dengan juga dengan dinasti politik. Mengkritik nepotisme tapi mendukung praktik nepotis. Politik Indonesia tak beranjak dari kredo politik kuno. “Tak ada lawan dan kawan abadi, selain kepentingan.” Perasaan terasa campur baur. Ada kerusuhan di Bangladesh karena protes sosial yang masif terhadap Perdana Menteri Hashina. Padahal, approval rating Hashina menurut sejumlah lembaga survei cukup tinggi, yakni 70 persen berdasar survei IRI. Hashina akhirnya kabur ke India. Militer mengambil alih kekuasaan. Di ruang pengadilan, muncul keterangan Blok Medan yang ikut bermain tambang. Blok Medan menunjuk Bobby Nasution, Wali Kota Medan. Bobby tak mau berkomentar. “Ikut saja,” ujarnya. Moeldoko tak mau berkomentar karena kasus itu bukan wilayah tugas KSP. Entah bagaimana KPK merespons kesaksian di pengadilan itu. Benny Ramdhani yang garang mengungkap ada inisial T di balik judi online pun kemudian diam. Dia mengaku tak tahu siapa inisial T yang pernah disebutnya sebagai aktor tak pernah disentuh hukum. Dan, kini pun isu judi online tenggelam. Suasana kebatinan betul-betul campur aduk. Presiden terpilih Prabowo Subianto selayaknya menangkap suasana kebatinan itu. Tren menuju pemilihan kotak kosong di Jakarta karena Anies gagal akan terjadi pada era pemerintahan Prabowo Subianto. Jika kotak kosong benar terjadi, wajah demokrasi buruk. Demokrasi menjadi akal-akalan untuk menyingkirkan sosok yang berpotensinya menjadi ancaman. Seorang pengusaha kecil di Yogya yang bergerak di bidang logistik mengaku mencoba bertahan. “Ada karyawan mundur dan saya tidak ganti untuk bertahan,” ujarnya. Warung sate miliknya juga sepi, termasuk kambing akikah juga mengalami penurunan omzet. Pengangguran menjadi wajah nyata. Dunia ini terasa begitu kontras. Ada wajah kemiskinan , ada wajah kemewahan. Ada wajah ketulusan, tapi ada topeng kemunafikan. Saya ingat Prof Dr Azyumardi Azra saat memberikan pengantar buku, “Simpang Jalan” (2023) yang saya tulis. Azyumardi Azra menulis dalam konteks Covid 19. “... Pertumbuhan ekonomi mesti disertai peningkatan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Keadaan ini dapat meningkatkan ketidakpuasan masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Kejengkelan sosial ( social resentment ) yang bisa tak terkendali dapat menimbulkan peningkatan kekerasan dan mungkin juga ‘revolusi sosial’ ( social revolution ),” tulis Azyurmardi Azra. Menjelang peringatan kemerdekaan, 17 Agustus 2024, saya teringat pidato Presiden Sukarno 1 Juni 1945 yang kerap diingatkan pemikir kebhinekaan Sukidi Mulyadi,“Tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.” Namun, setelah 79 tahun bangsa ini merdeka, jumlah orang miskin masih sekitar 25 juta. Dan kelas menengah mulai turun keras… Alarm menyala... Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (99.8%)