Kasus Bunuh Diri di Kalangan Anak Muda Tinggi, Pakar Ungkap yang Jadi Pemicunya
Detik.com Jenis Media: Kesehatan
*CATATAN: Informasi ini tidak untuk menginspirasi siapapun untuk bunuh diri. Jika Anda memiliki pikiran untuk bunuh diri, segera mencari bantuan dengan menghubungi psikolog atau psikiater terdekat. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami tanda peringatan bunuh diri, segera hubungi Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes 021-500-454.*
Kasus bunuh diri di kalangan anak muda perlu mendapatkan perhatian serius. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sekitar 800 ribu orang di dunia meninggal akibat bunuh diri per tahun, kebanyakan dialami oleh anak muda.
Sementara di Indonesia menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik dan Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), angka bunuh diri menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Khususnya di kalangan di usia produktif, yaitu berusia 15 hingga 64 tahun.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, Ni Luh Putu Indi Dharmayanti mengatakan pada tahun 2022, tercatat sekitar 2.500 kasus bunuh diri yang dilaporkan di Indonesia.
"Angka ini mungkin tampak kecil dibandingkan dengan populasi total. Namun setiap angka tersebut mewakili nyawa yang hilang dan setiap nyawa adalah penting," ucapnya dalam Webinar BRIN soal 'Fenomena Banyak Bunuh Diri di Usia Produktif di Masyarakat, Apa yang Terjadi?", dikutip Senin (5/8/2024).
"Pada usia produktif bunuh diri tidak hanya berdampak pada individu yang bersangkutan, tetapi juga pada keluarga yang ditinggalkan, lingkungan kerja, dan masyarakat luas," sambungnya lagi.
Peneliti ahli muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Yurika Fauzia Wardhani, menjelaskan bunuh diri merupakan fenomena kompleks yang akar permasalahannya belum dapat ditentukan secara spesifik. Namun demikian, berdasarkan analisis Yurika, kasus bunuh diri pada usia muda umumnya terjadi karena adanya tekanan akademis dan sosial.
Selain itu, harapan tinggi untuk lebih berprestasi, berkompeten di bidang akademik, perubahan hormon, emosi, permasalahan keluarga, bullying, pengaruh media informasi bebas, masalah identitas diri, dan kurangnya akses sumber dukungan kepada remaja juga menjadi pemicunya.
"Pada masa pandemi, ternyata banyak sekali kasus bunuh diri yang muncul di medsos. Saya mengumpulkan informasi kasus bunuh diri dari 2012 sampai 2023, tertinggi di usia produktif/remaja dan dewasa," katanya dalam acara yang sama.
ia juga menjelaskan berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai angka bunuh diri yang tinggi. Menurut Yurika, hal ini sangat terkait budaya patriarki dan norma sosial bahwa laki-laki harus lebih tegar, kuat, dan tidak boleh mengeluh. Karenanya ketika mereka menghadapi masalah yang berat, sering kali dipendam seorang diri.
"Ketika beban dan masalahnya dipendam sendiri, akhirnya lebih rentan depresi, yang akhirnya memicu bunuh diri," kata dia.
"Solusi agar terhindar dari bunuh diri yaitu meningkatkan kesadaran dan pendidikan, pelayanan kesehatan mental yang lebih baik, pelatihan dan dukungan untuk keluarga dan komunitas, bekerja sama dengan instansi-instansi terkait untuk membuat suatu program pencegahan bunuh diri, penelitian dan data serta pencatatan yang rapi dan tersentral yang bisa di akses oleh lembaga yang berkepentingan," tuturnya lagi.
(suc/suc)
Sentimen: positif (99.6%)