Sentimen
Negatif (99%)
6 Agu 2024 : 05.58
Informasi Tambahan

Event: HUT Bhayangkara

Kab/Kota: bandung

Kasus: Narkoba, pembunuhan, HAM

Tokoh Terkait
Brigadir Yosua Hutabarat

Brigadir Yosua Hutabarat

Teddy Minahasa

Teddy Minahasa

Revisi UU Polri dan Ancaman terhadap Demokrasi Nasional 6 Agustus 2024

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

6 Agu 2024 : 05.58
Revisi UU Polri dan Ancaman terhadap Demokrasi Direktur PolEtik Strategic | Founder Mataangindonesia Social Initiative | msubhansd.com | mataanginsaguling.com SEPEKAN setelah berulang tahun ke-78 pada 1 Juli 2024, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mendapat kado tidak istimewa. Pada 8 Juli 2024, Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan gugatan praperadilan Pegi Setiawan, tersangka pembunuhan Vina Dewi (16) dan Muhammad Rizky atau Eky (16) yang terjadi pada 2016. Hakim Tunggal Eman Sulaeman menyatakan, penetapan tersangka tidak sah sehingga tersangka pun harus dibebaskan. Salah satu pertimbangan hakim, Pegi langsung ditetapkan polisi sebagai tersangka tanpa pernah diperiksa terlebih dulu. Vonis bebas tersangka pembunuhan ini menjadi pukulan telak bagi institusi Polri. Dengan mentahnya kasus Pegi, profesionalisme polisi dipertanyakan. Ini menambah deretan catatan kelam polisi. Ada beberapa kasus mutakhir yang mengguncang negeri ini. Kasus Irjen Ferdy Sambo, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri yang menembak ajudannya sendiri, Brigadir Yosua Hutabarat (8 Juli 2022) paling menggemparkan. Kasus itu menyeret segerbong aparat kepolisian yang terlibat. Lalu kasus mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa yang menukar barang bukti narkoba (24 Oktober 2022). Padahal ia sudah dipromosikan sebagai Kapolda Jawa Timur, yang tentu saja dianulir. Dalam penangan kerusuhan suporter sepak bola, kekerasan polisi mengakibatkan 135 suporter tewas (1 Oktober 2022). Kasus itu dikenal sebagai Tragedi Kanjuruhan. Ironisnya terjadi satu hari sebelum peringatan Hari Antikekerasan Sedunia. Kasus terbaru adalah penguntitan anggota Densus 88 terhadap Jampidsus Kejaksaan Agung Febrie Ardiansyah (Mei 2024). Citra polisi yang masih berbalut kekerasan mendapat sorotan tajam. Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Tindak Kekerasan) dalam “Laporan Hari Bhayangkara 2024: Reformasi Polri Tinggal Ilusi” (2024) mencatat pada periode Juli 2023-Juni 2024 terdapat 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian, yang mengakibatkan 759 korban luka dan 38 korban tewas. Pada periode itu pula Kontras mendokumentasikan 35 peristiwa extrajudicial killing yang menewaskan 37 orang. Data Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), tahun 2023 kepolisian berada di posisi teratas sebagai institusi paling banyak diadukan kasus pelanggaran HAM, yaitu sebanyak 771 kasus dari total aduan 2.753 kasus. Dengan kondisi seperti itu, wajar saja banyak pihak mempertanyakan urgensi revisi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah disahkan sebagai usul inisiatif DPR pada 28 Maret 2024. Bagi Polri, RUU itu tentunya akan menjadi “suntikan baru” dengan banyak perluasan kewenangan yang akan dimiliki Polri. Amunisi baru sudah di depan mata. Tampaknya Polri akan berubah menjadi institusi superbody. Runyamnya, dalam revisi itu mekanisme kontrol ( oversight mechanism ) terhadap kewenangan besar itu tidak memadai atau minim, sehingga sangat rentan terjadi penyalahgunaan kewenangan. Transparansi dan akuntabilitasnya dipertanyakan. Pertanyaan sederhananya begini, bagaimana mungkin memberi kewenangan tambahan yang besar jika Polri masih belum terbebas dari berbagai masalah. Pertanyaan berikutnya, bagaimana mungkin memberikan kewenangan besar pada satu pihak tanpa ada pengawasan? Padahal sejak reformasi 1998, Indonesia menjadi negara demokrasi yang begitu terbuka. Esensi demokrasi adalah check and balances. Check and balances merupakan mekanisme yang mendistribusikan kekuasaan ke seluruh sistem politik. Hal ini untuk mencegah suatu institusi atau individu dapat melakukan kontrol penuh. Maka konsep Trias Politica memisahkan kekuasaan tidak pada satu pihak. Di sejumlah negara polisi diawasi lebih intens dan ketat, baik oleh lembaga pemerintah maupun non-pemerintah (David Bayley dan Clifford Shearing, 1996). Di Inggris, Kanada, dan Australia, sejak beberapa dekade silam telah dibentuk dewan peninjau sipil yang dapat menyelidiki secara independen kasus-kasus perilaku buruk polisi, terutama yang melibatkan tuduhan kebrutalan. Para pengawas ini benar-benar bekerja profesional, bukan sekadar ada. Lantas kewenangan tambahan apa yang mendapat kritik tajam dari publik? Ada beberapa pasal dalam draf revisi UU No. 2 Tahun 2002 yang bisa dicermati. Rancangan Pasal 16 ayat 1 huruf q terkait pembinaan, pengawasan, serta pengamanan terhadap ruang siber dinilai dapat mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak memperoleh informasi, dan hak privasi. Sekarang ini era informasi, tentu kita tak ingin kembali ke era kegelapan informasi. Kini orang kadung percaya menggunakan cara-cara media sosial, yakni ungkapan “no viral no justice”. Bikin viral dulu di media sosial, baru dapat perhatian/penanganan polisi. Bayangkan jika ruang informasi diawasi ketat, tentu semakin jauh kita menjangkau keadilan. Polisi juga akan memiliki kewenangan penyadapan lebih luas (Pasal 14 ayat 1 huruf o). Selama ini penyadapan polisi demi kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan; sesuai Peraturan Kapolri Nomor 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan pada Pusat Pemantauan Polri. Proses penyadapan harus mendapat izin dari ketua pengadilan negeri sesuai lokasi operasi penyadapan dilakukan. Dari sisi aturan, Peraturan Kapolri tersebut sudah memadai menjadi pedoman penyadapan di kepolisian. Namun, jika penyadapan diperluas, rawan bergerak liar dan sulit pertanggungjawabannya. Revisi UU tersebut juga berpotensi terjadi rivalitas antarinstitusi negara. Dalam draft Pasal 16A tentang penggalangan intelijen, Polri juga memiliki kewenangan mengurus persoalan intelijen. Ini rawan terjadi benturan dengan institusi intelijen lainnya, karena ada Badan Intelijen Negara (BIN), juga badan intelijen di lingkungan TNI, dan intelijen di institusi negara lainnya. Selain bisa tumpang-tindih kewenangan, benturan antarinstitusi intelijen sulit terhindarkan. Tumpang-tindih kewenangan juga terjadi dalam pembinaan hukum nasional (Pasal 14 ayat 1 huruf e). Kritik publik juga mengarah pada kenaikan batas usia pensiun (Pasal 30 ayat 2), yaitu 60 untuk anggota dan 65 tahun untuk pejabat fungsional. Sebelumnya, usia pensiun 58 tahun. DPR berpendapat kenaikan usia pensiun polisi direvisi untuk menyamakan dengan aturan aparatur sipil negara lain yang lebih dulu direvisi. Padahal harus dicermati betul bahwa kenaikan usia pensiun itu dapat mengganggu proses regenerasi di dalam institusi Polri sendiri. Dalam demokrasi semestinya mengikuti norma atau aturan bukan person, sehingga tak perlu pejabat polisi baru pensiun pada usia 65 tahun. Pasal-pasal tersebut tentu problematik, yang dampaknya mungkin dapat melebar ke mana-mana. Terkait proses revisi UU yang sudah menjadi usul inisiatif DPR itu, sejumlah kalangan mencurigai ada agenda tersembunyi. RUU Polri seakan-akan “naik” diam-diam di tengah jalan. Sebab, di dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun, dari 47 rancangan undang-undang yang disepakati DPR, RUU Polri tidak ada di dalam daftar. Mungkinkah ini siluman? Apakah ini kado terakhir buat Polri yang dipersembahkan oleh DPR periode 2019-2024 atau sebaliknya? Oleh karena itu, suara-suara publik jangan dipandang sebagai sinisme, tapi sebagai kritik untuk evaluasi. Kita juga menginginkan citra baik dan posisi kuat Polri, tetapi tetap dalam kerangka sistem demokrasi. Zaman demokrasi sekarang ini dengan informasi yang begitu berlimpah, barangkali menjadi gagasan usang memberikan perluasan kewenangan institusi dengan cara tidak transparan dan tidak demokratis. Menurut Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa/OSCE (2008), tuntutan polisi era sekarang adalah fokus pada pelayanan publik, yaitu memelihara ketentraman, hukum, dan ketertiban masyarakat; melindungi hak-hak dasar dan kebebasan individu; mencegah dan mendeteksi kejahatan; mengurangi rasa takut; dan untuk memberikan bantuan dan layanan kepada masyarakat. Kepolisian yang demokratis adalah suatu kondisi yang bergeser “dari pendekatan yang berorientasi pada kontrol ke pendekatan yang lebih berorientasi pada layanan”. Para akademisi dan praktisi, kata Brianne McGonigle Leyh (2018), telah menekankan pentingnya membangun hubungan yang lebih baik antara polisi dan masyarakat yang mereka layani, serta mengadopsi berbagai cara untuk mewujudkan reformasi kepolisian yang memupuk hubungan saling percaya. Beberapa perwujuduan perubahan itu dikerucutkan pada perpolisian masyarakat, perpolisian demokratis, dan perpolisian yang berorientasi pada penyelesaian masalah. Tentu saja Polri juga bertekad untuk dapat menjadi polisi demokratis. Menurut OSCE, sebagai bagian dari reformasi sektor keamanan, proses transformatif polisi harus dibangun atas dasar keamanan manusia dan pemerintahan demokratis. Diingatkan Nicole Ball (2010), bahwa keamanan manusia menuntut kepentingan individu, bukan negara, yang harus menentukan kebijakan keamanan. Jika pihak-pihak yang berwenang dalam revisi UU Polri , khususnya DPR dan pemerintah, tidak membuka mata dan telinga terhadap suara-suara publik, itu artinya ancaman terhadap demokrasi terus bergerak. Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: negatif (99.8%)