Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Kristen
Kab/Kota: Washington
Kasus: kekerasan seksual, pelecehan seksual
Partai Terkait
Kebebasan Pers yang Kian Merosot
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Internasional
PIKIRAN RAKYAT - Serangan terhadap jurnalis perempuan meningkat seiring dengan menurunnya kebebasan pers, atau kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat melalui media massa di seluruh dunia. Mereka menghadapi pelecehan fisik, penahanan, deportasi, serta kekerasan seksual. Menurut organisasi yang mewakili perempuan dalam jurnalisme, setahun terakhir ini terjadi peningkatan kampanye fitnah, serangan rasis dan berbasis gender, serta kekerasan oleh polisi terhadap jurnalis perempuan. Hal ini menyebabkan suara perempuan di media semakin dibungkam.
Serangan terhadap jurnalis perempuan semakin meningkat seiring dengan menurunnya kebebasan pers di seluruh dunia. Mereka menghadapi ancaman seperti pelecehan fisik, penahanan, deportasi, dan kekerasan seksual. Organisasi yang mewakili perempuan dalam jurnalisme melaporkan peningkatan kampanye fitnah, serangan rasis dan berbasis gender (misogini), serta kekerasan oleh polisi terhadap jurnalis perempuan dalam setahun terakhir. Akibatnya, suara perempuan di media semakin dibungkam.
Kiran Nazish, pendiri Koalisi Perempuan dalam Jurnalisme (CFWIJ), mengatakan bahwa jurnalis perempuan di negara-negara seperti Polandia, Bangladesh, Nigeria, Turki, Kanada, dan Amerika Serikat menghadapi tekanan yang meningkat. Ia menambahkan bahwa jurnalis perempuan dan non-biner berada di garis depan dalam lingkungan yang semakin tidak bersahabat dan paling berisiko.
Menurut The Guardian, Iran adalah negara dengan jumlah jurnalis perempuan yang dipenjara terbanyak, termasuk Parisa Salehi, yang dipenjara selama lima bulan karena "menyebarkan propaganda melawan sistem" melalui pemberitaannya.
Di Kanada, reporter Pribumi Brandi Morin dituduh menghalangi polisi saat meliput penggerebekan. Di Swiss, jurnalis Kurdi yang hidup di pengasingan menghadapi ancaman hukuman penjara di Turki atas tuduhan terorisme.
"Ini hanya beberapa contoh serangan terhadap perempuan dan jurnalis non-biner tahun lalu," kata Nazish.
Prof Julie Posetti, direktur penelitian di International Center for Journalists di Washington, mengacu pada negara distopia patriarkis atau negara yang menakutkan dalam novel The Handmaid's Tale. Ia mengatakan bahwa kemunduran hak-hak perempuan di seluruh dunia, bersama dengan serangan politis terhadap jurnalis dan media, telah menciptakan situasi yang hampir mirip dengan Gilead atau nama tempat yang disebut dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama di Alkitab Kristen. Hal ini ditandai oleh ancaman digital dan dunia nyata yang dihadapi perempuan di media serta penyerangan terhadap hak-hak perempuan. Julie menambahkan bahwa banyak jurnalis perempuan yang telah menghadapi risiko besar di seluruh dunia.
Pada tahun 2021, Posetti menulis laporan global untuk PBB tentang ancaman daring terhadap jurnalis perempuan. "Lima tahun lalu, kami melihat banyak pelecehan, ancaman, dan intimidasi daring terhadap perempuan. Hal ini terus berlanjut dengan semakin canggihnya media sosial dan kecerdasan buatan. Kini, serangan di dunia digital sama kuatnya dengan di dunia nyata," ujarnya.
Para perempuan jurnalis seringkali menghadapi ancaman dan pelecehan yang membuat mereka menjauh dari peran-peran publik, berhenti tampil di media, atau meninggalkan jurnalisme sepenuhnya.
Tahun lalu, sebuah survei menemukan bahwa 75% jurnalis perempuan pernah mengalami ancaman terhadap keselamatan mereka, dan 25% di antaranya pernah mengalami kekerasan atau pelecehan seksual terkait pekerjaan.
Alison Phillips, ketua Women in Journalism di Inggris yang melakukan survei tersebut, menyatakan bahwa dampak buruk terhadap kesehatan mental dan ketakutan akan keselamatan fisik menyebabkan satu dari lima jurnalis perempuan mempertimbangkan untuk keluar dari industri ini.
Ia juga menambahkan, ada bahaya nyata bahwa para pelaku akan berhasil membungkam perempuan agar tidak aktif di media.
Indeks Kebebasan Pers Global yang diterbitkan oleh Reporters Without Borders (RSF) melaporkan bahwa serangan politik terhadap jurnalis meningkat di seluruh dunia.
Ilustrasi jurnalis freepik
Menurut CFWIJ, 92 jurnalis perempuan saat ini berada di penjara, beberapa di antaranya terancam hukuman mati. Dari jumlah tersebut, 57 telah ditahan, ditangkap, atau dipenjara sejak awal 2024.
Nazish pendiri Koalisi Perempuan dalam Jurnalisme (CFWIJ) mengatakan bahwa semakin sulit bagi organisasi seperti CFWIJ untuk membantu perempuan yang dipenjara atau ditahan.
"Kami melihat bahwa advokasi kami untuk jurnalis perempuan semakin sulit dan memberikan hasil yang semakin sedikit," katanya.
Dikutip The Guardian, ia juga menambahkan bahwa di Rusia, seorang jurnalis Rusia-Amerika bernama Alsu Kurmasheva, dikurung dalam sel berukuran lima meter dan sudah lebih dari enam bulan tidak mendapatkan air panas, anak-anaknya belum mendengar kabar darinya sejak penahanannya yang tidak sah.
Selama ini, Nazish dan tim nya telah berupaya advokasi ke Gedung Putih bersama kelompok advokasi lainnya. Kasus Alsu dari penahanannya hingga tanggapan pemerintah untuk mendukung pembebasannya adalah contoh dari apa yang dihadapi jurnalis perempuan di seluruh dunia.
"Keprihatinan terbesar kami adalah, selain lingkungan yang penuh dengan ancaman dan penahanan, organisasi advokasi seperti kami tidak mendapat dukungan dari lembaga-lembaga demokratis, dan warga negara yang mempertaruhkan nyawa untuk membantu perempuan ini justru berpaling saat mereka menjadi sasaran." tambahnya.
Selain meningkatnya serangan fisik dan digital, perempuan jurnalis juga menghadapi pelecehan hukum, penggunaan tuntutan hukum SLAPP atau (Strategic Lawsuit Against Public Participation) adalah gugatan atau laporan yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat oleh perusahaan besar dan individu kaya untuk membungkam dan mengintimidasi mereka, serta penahanan dan pemenjaraan oleh pemerintah. (NH)***
Sentimen: negatif (100%)