Sentimen
3 Agu 2024 : 15.35
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Hewan: Anjing
Kab/Kota: bandung, Cirebon, Cimahi, Sumedang, Kalideres
Kasus: mayat
Tokoh Terkait
Kasus Kerangka Ibu dan Anak di Bandung Barat, Mengapa Tak Tercium Bau dan Kapan Waktu Kematiannya? Bandung 3 Agustus 2024
Kompas.com Jenis Media: Regional
3 Agu 2024 : 15.35
Kasus Kerangka Ibu dan Anak di Bandung Barat, Mengapa Tak Tercium Bau dan Kapan Waktu Kematiannya?
Editor
KOMPAS.com
- Temuan dua
kerangka
manusia yang diduga ibu dan anak di dalam rumah di Desa Tanimulya, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten
Bandung Barat
, Jawa Barat, menggegerkan warga setempat.
Mereka tidak menyangka rumah yang dianggap kosong dan dipenuhi semak belukar itu masih berpenghuni. Pasalnya warga terakhir kali melihat kedua penghuni rumah itu, Indah Hayati dan putrinya, pada 2018. Sejak itu tak kelihatan lagi jejak keduanya.
Kapolres Cimahi, Tri Suhartanto, mengatakan dua
kerangka manusia
itu masih diperiksa tim forensik untuk mengungkap penyebab kematian. Tapi berdasarkan tulisan-tulisan di dinding, dia bilang menyiratkan kekecewaan seorang istri dan anak kepada sang suami atau bapak.
BBC News Indonesia
sudah berupaya dan berkali-kali menghubungi suami korban Mudjoyo Tjandra tapi hingga berita ini diterbitkan tidak mendapatkan jawaban atau pesan balasan.
Lantas, kapan waktu kematian para korban dan mengapa tidak tercium bau oleh warga?
Rumah sederhana bercat ungu dan berpagar hitam itu telah dilingkari garis polisi. Siapa pun dilarang masuk, kecuali petugas kepolisian.
Namun warga Perumahan Tanimulya di Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, sesekali masih menyambangi rumah tersebut. Berhenti sebentar dan sekadar melihat-lihat.
Selama beberapa tahun rumah ini seperti tak berpenghuni. Pagar juga temboknya lusuh, gelap, banyak semak belukar.
Spanduk bertuliskan "Dijual cepat hubungi Mudjoyo Tjandra" lengkap dengan nomor telepon, terikat di depan rumah – yang semakin menguatkan dugaan tadi.
Tapi pada Senin (29/07) sekitar pukul 10.00 WIB, seorang warga Ai Suryati dikagetkan oleh kehadiran Mudjoyo Tjandra.
Pria itu dulunya tinggal di Perumahan Tanimulya hingga kemudian menikah dengan Indah Hayati dan memiliki seorang anak bernama Elia Imanuel Putra. Akan tetapi sekitar tahun 2014, Mudjoyo Tjandra disebut pergi meninggalkan rumah tersebut.
Ai bercerita, pagi itu Tjandra – begitu dia disapa – tiba-tiba datang ke rumahnya. Perempuan paruh baya ini mengaku terkejut karena sudah sekitar 10 tahun tidak pernah bertemu.
Kepada dirinya, Tjandra mengaku hendak mengambil dokumen akta kelahiran di rumahnya.
Namun karena rumah itu terkunci, Tjandra berniat membongkarnya.
"Saya kaget lihat Pak Tjandra bilang 'Saya mau bongkar rumah. Mau lapor ke Pak RT tapi beliau tidak ada di rumah. Saya enggak enak meskipun rumah saya, saya mau bongkar...'," ucap Ai menirukan perkataan tetangganya itu yang hanya berselang satu rumah.
"Ya sudah saya saksinya sama tetangga," jawab Ai kepada Tjandra.
Ai dan seorang tetangga lain menyaksikan Tjandra membongkar pagar, hanya saja tak sampai tuntas karena harus memasak.
Tak berselang lama atau dalam hitungan menit, Ai mendengar jeritan Tjandra. Detik itu juga, dia pun langsung menghampiri pria itu.
"[Pak Tjandra] bilang ada tengkorak di kasur atas dan kasur bawah... kayaknya yang di atas kasur istri saya, yang di bawah anak saya," ujar Ai lagi-lagi menirukan perkataan tetangganya itu.
Apa yang disaksikan Ai dan Tjandra cepat-cepat dilaporkan ke Ketua Rukun Tetangga (RT) dan kepolisian sektor Padalarang.
Polisi pun tiba kemudian mengevakuasi dua kerangka manusia yang ditemukan di dalam kamar.
Seperti yang beredar di media sosial terlihat bagaimana kondisi di dalam rumah tersebut sangat kotor, sampah plastik berserak, lantai keramik penuh debu, dan beberapa sisi dinding penuh coretan hingga mengelupas.
Adapun dua kerangka manusia di dalam kamar berada dalam posisi terlentang di atas kasur yang terpisah namun saling berhimpitan.
Meskipun belum ada hasil otopsi, polisi menduga kedua jasad itu Indah Hayati dan Elia Imanuel Putra.
Karena kebetulan, katanya, anaknya juga lahir di tahun yang sama. Bisa dibilang anak mereka tumbuh bersama dan menjadi teman bermain.
Akan tetapi seiring waktu berjalan, kedekatannya dengan Indah semakin renggang. Ai memperhatikan tetangganya itu semakin tertutup, terlebih saat suaminya Mudjoyo Tjandra disebut pergi ke Cirebon pada 2014.
"Makin ke sini, makin tertutup orangnya. [Ibu Indah] orangnya biasa aja, cuma kalau misalnya ada saya di sini, dia mau lewat malah balik lagi... masuk lagi [ke rumahnya]. Anaknya juga begitu, mutar ke jalan lain," imbuh Ai.
Seingat Ai, terakhir kali dia melihat Indah pada 2018.
Setelah itu tak pernah lagi nampak jejak keduanya di sekitar perumahan. Bahkan suara gonggongan anjing peliharaan mereka juga lenyap.
Warga, katanya, mengira Indah dan Elia sudah pindah rumah. Sebab pagar rumah digembok, tidak ada lampu menyala, dan di dinding luar rumah terpampang spanduk bertuliskan bangunan tersebut dijual.
Apalagi sebelumnya kata Ketua RT 10, Bambang Daryanto, warganya itu mengatakan akan pindah ke Sumedang. Hanya saja yang agak aneh, klaimnya, Indah tidak minta dibuatkan surat pindah atau surat kependudukan lainnya.
Sepengetahuannya pula, Indah dan suaminya Tjandra belum bercerai. Pasalnya di kartu keluarga masih terantum status mereka sebagai suami-istri.
"Ke saya bilangnya dia mau pindah dulu. Itu kalau enggak salah pindah ke Sumedang untuk kerja. Ya sudah dari situ saya enggak dapat kabar lagi tentang dia sampai sekarang kejadian [penemuan kerangka]," tuturnya.
Bambang mengaku masih ingat seperti apa kondisi penemuan dua kerangka manusia itu di dalam rumah.
Betul-betul hanya tersisa tulang belulang, sebutnya.
Dia juga sempat masuk ke dalam dan melihat tulisan di dinding – yang diduga wasiat dari Indah berisi agar bangunan ini diwakafkan untuk pembangunan masjid.
Pesan yang diduga ditulis Indah ada dua, pesan pertama bertuliskan:
"Jika kau menikah lagi, aku harap kau jangan menyakiti istri ketigamu nanti. Aku lihat kau sudah meminang istri baru lagi kan? Yang dari Ciamis yang foto bersamamu itu. Dipakai di FB Hendra Setiawan. Di kolom komentar tertulis mengingat karena kau pernah gagal menjalani hubungan pada istri ke-1 mu yang namanya Leony..."
Pesan kedua tertulis:
"Aku minta rumah ini diwakafkan untuk masjid Tanimulya. Kalau Mudjoyo Tjandra tidak menyerahkan untuk didirikan masjid di tempat ini berati sudah menjadi penjahat karena merebut hak saya dan warga Tanimulya untuk warga.... Pak RT tolong tagih rumah ini dan harus jadi masjid atas kematian saja."
Adapun pesan ketiga yang diduga ditulis Elia bertuliskan:
"Aku hanya minta uang sekolah tapi kau seperti ini. Katanya raihlah cita-citamu setinggi langit, tapi kau tidak dukung aku dengan biaya sekolah. Maafkan aku tidak bisa menjadi anak yang sempurna karena manusia tidak ada yang sempurna. Termasuk istrimu aja kau tinggalkan karena kau menuntut dia menjadi sangat sempurna. Tapi ketahuilah, hanya tuhan yang sempurna."
Pasalnya, selama ini dia maupun keluarganya tidak pernah mencium bau. Padahal jarak antara rumahnya dengan kediaman Indah hanya 10 meter.
"Kami enggak pernah mencium bau... mungkin karena saat itu pandemi, warga semuanya di dalam rumah. Itu baru dugaan kami saja."
Keheranan yang sama juga diutarakan Ibu Muryanto yang tinggal di belakang rumah Indah. Perempuan 76 tahun ini mengaku tidak pernah mencium bau tidak sedap.
"Enggak ada sama sekali bau... jangankan ibu yang rumahnya di belakang, yang di pinggir juga enggak ada bau," ungkapnya.
Dokter Spesialis Patologi Forensik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Ade Firmansyah, mengatakan proses pembusukan mayat hingga menjadi skeletonisasi bergantung pada keberadaannya apakah di dalam ruangan atau luar ruangan.
Kemudian juga bergantung pada lingkungan, suhu, kelembapan, termasuk hewan-hewan pengerat yang membantu proses pembusukan tersebut.
Termasuk kondisi si jenazah apakah memiliki riwayat penyakit atau tidak, berpakaian atau tidak, berlemak atau tidak.
Namun jika keberadaan mayat berada di luar ruangan, ujarnya, setidaknya butuh waktu 1-3 bulan hingga menjadi rangka atau tulang belulang.
"Pembusukan pada mayat itu dimulai dari sel-sel tubuh yang terurai, mencair, dan menimbulkan gas... yang membantu proses itu semua adalah hewan-hewan pengerat seperti tikus, cacing, lalat..."
"Lalat akan bertelur di sana dan larva-larvanya menggerogoti jenazah."
"Kalau di luar ruangan mungkin ada hewan anjing akan mempercepat proses itu," imbuhnya kepada
BBC News Indonesia
, Jumat (02/08).
Tetapi apabila mayat tersebut berada di dalam ruangan tertutup, maka butuh waktu lebih dari tiga bulan.
Sebab pembusukan akan berjalan lebih lambat lantaran hewan-hewan yang mempercepat proses itu lebih sedikit atau mungkin tidak ada.
Dia mencontohkan kasus serupa yang terjadi di Kalideres, Jakarta Barat, pada 2022 lalu.
Kasus sekeluarga ditemukan tewas di dalam rumah dalam kondisi 'mengering' atau tinggal tulang dan kulit itu diperkirakan telah berlangsung selama sembilan bulan.
"Jadi tidak ada di literatur forensik manapun yang dalam ruangan [proses pembusukan hingga menjadi skeletonisasi] berapa lama."
"Tapi kalau gambaran mayat [di Bandung] seperti Kalideres bisa ditarik kesamaan," ungkapnya.
"Cuma harus dipahami skeletonisasi itu bukan berarti hanya tinggal satu tulang bersih, mungkin gambarannya beberapa jaringan lunak seperti otot-otot masih menempel... itu sudah disebut skeletonisasi dalam ilmu forensik."
"Makanya dilihat dulu tempat kejadian perkara, apakah betul-betul tertutup rapat atau tidak? Kalau ruangannya tertutup, pasti tidak tercium."
Adapun untuk mengungkap penyebab kematian dari mayat berupa rangka, dokter forensik biasanya akan terlebih dahulu mencari apakah ada tanda-tanda kekerasan tumpul atau tajam pada tulang belulang tersebut.
Kalau ada, maka bakal didalami apakah tanda-tanda kekerasan itu terjadi sebelum kematian atau akibat dari hewan-hewan pengerat tadi.
Namun jika tidak ditemukan indikasi kekerasan atau trauma, hasil otopsi atau penyebab kematian akan menyatakan "tidak dapat ditentukan".
"Lalu bagaimana kalau dia diracun? Yasudah enggak akan ketemu, karena parameter racun itu akan tersimpan di hati. Kalau hati sudah terurai, enggak bisa diperiksa juga."
"Apalagi kalau akibat penyakit, susah sekali... organ-organ sudah tidak ketemu, kecuali penyakit tulang bisa."
Itu mengapa, dia menyarankan polisi agar memeriksa dengan teliti tempat kejadian perkara untuk membantu proses pengungkapan penyebab kematian.
Apabila kedua korban diduga bunuh diri dengan menenggak racun, maka setidaknya ada bahan minuman racun yang tersisa.
Langkah lain biasanya tim laboratorium forensik akan memeriksa lokasi kejadian untuk memastikan ada atau tidaknya keterlibatan orang lain.
"Apakah ada DNA-DNA orang lain di sana? Tim Inafis kemudian memeriksa sidik jari di sekitar TKP."
Psikolog Retno Lelyani Dewi menduga kuat korban ibu dan anak yang ditemukan meninggal di dalam rumah itu "telah menyiapkan diri mati" di sana.
Dugaannya merujuk pada kondisi tempat tinggal yang terkunci dari dalam dan pesan yang diduga ditinggalkan korban bernama Indah Hayati di dinding.
Pesan tersebut berisi:
"Jika kau menikah lagi, aku harap kau jangan menyakiti istri ketigamu nanti. Aku lihat kau sudah meminang istri baru lagi kan? Yang dari Ciamis yang foto bersamamu itu. Dipakai di FB Hendra Setiawan. Di kolom komentar tertulis mengingat karena kau pernah gagal menjalani hubungan pada istri ke-1 mu yang namanya Leony..."
Pesan lainnya tertulis:
"Aku minta rumah ini diwakafkan untuk masjid Tanimulya. Kalau Mudjoyo Tjandra tidak menyerahkan untuk didirikan masjid di tempat ini berati sudah menjadi penjahat karena merebut hak saya dan warga Tanimulya untuk warga.... Pak RT tolong tagih rumah ini dan harus jadi masjid atas kematian saja."
Dalam pesan tersebut, Retno menduga korban sedang merasakan kekecewaan, kemarahan, dan kesedihan yang harus ditanggungnya sendiri.
Entah akibat dikhianati, merasa tidak dipedulikan lagi oleh suaminya, atau ditinggalkan, klaim Retno.
Hal lain yang menguatkan dugaannya bahwa korban bernama Indah "telah menyiapkan diri meninggal" adalah di pesan tersebut dia berharap kematiannya bisa diimbangi atau dimaafkan dengan mendapatkan pahala wakaf.
"Dari tulisan itu tersirat dia menyiapkan diri untuk meninggal dan dia tahu implikasi meninggal kalau di ajaran Islam enggak boleh bunuh diri, karena tidak akan diterima di akhirat..." ujar Retno kepada
BBC News Indonesia,
Kamis (01/08).
"Ketika berwakaf atas namanya, dia harap kematiannya bisa diimbangi dengan pahala wakaf."
Retno mengatakan dalam beberapa kasus dugaan bunuh diri yang ia ketahui, ada pesan yang ditinggalkan korban. Mediumnya bisa kertas atau tulisan di dinding.
Beberapa korban yang disebutnya penuh kemarahan, meninggalkan pesan dengan tulisan tinta berwarna merah dan ditambahkan gambar menyerupai darah atau air mata.
Namun jika pesannya di dinding, perkiraannya, tujuan korban adalah untuk menyampaikan apa yang tak tersampaikan selama ini dan agar orang-orang mengetahui penderitaan yang dialaminya.
"Kita bayangkan seseorang mengakhiri hidup, tapi sebelumnya dia sempat menulis itu. Berarti itu adalah pesan yang tidak tersampaikan, atau pesan yang sudah tersampaikan tapi tidak digubris oleh suaminya," imbuh Retno.
"Dan kenapa dia tulis di tembok? Kenapa tidak di kertas? Artinya dia ingin orang langsung membaca dan tahu penderitaan dia. [Orang yang menulis di tembok] adalah orang-orang yang saat hidupnya tidak punya kemampuan menyampaikan [isi hati dan pikirannya], jadi disimpan saja..."
"Jadi ketika mengakhiri hidup, yang paling gampang ditulis di tembok."
Adapun mengenai anak korban, Retno menduga emosionalnya terganggu akibat ketidakharmonisan orang tua serta kekecewaan pada sang ayah.
Perasaan itu tertangkap dari pesan ketiga yang tertulis di dinding: "Aku hanya minta uang sekolah tapi kau seperti ini. Katanya raihlah cita-citamu setinggi langit, tapi kau tidak dukung aku dengan biaya sekolah. Maafkan aku tidak bisa menjadi anak yang sempurna karena manusia tidak ada yang sempurna. Termasuk istrimu aja kau tinggalkan karena kau menuntut dia menjadi sangat sempurna. Tapi ketahuilah, hanya tuhan yang sempurna."
Di kasus-kasus yang suami dan istri tidak harmonis, katanya, anak berada dalam posisi terjepit. Cara anak menangkap perselisihan orang tuanya pun sering kali tidak utuh.
Jika si anak melihat ibunya tersakiti, maka dia akan memandang ayahnya sebagai pihak yang jahat.
"Apalagi ketika si ibu menceritakan keluh kesahnya secara berulang-ulang dan melihat perilaku ayahnya, maka itu akan tersimpan oleh si anak."
"Efeknya ke anak, anak akan melihat ayahnya jahat."
"Sehingga dugaan saya, si ibu meluapkan kemarahannya kemudian si anak mendukung dengan cara yang tidak tepat."
Karenanya Retno menilai kepolisian harus mengungkap secara terang apa yang melatari kematian dua orang tersebut.
Penyidik, katanya, bisa mulai dengan menelusuri orang-orang terdekat, dan lingkungan sekitar. Selain mengandalkan hasil otopsi jika dimungkinkan.
Pengungkapan fakta, menurutnya, penting sebagai upaya pencegahan di masa mendatang.
Apabila benar kedua korban meninggal akibat bunuh diri, maka bisa menjadi pembelajaran bagaimana lingkungan sekitar menghadapi tetangganya yang tiba-tiba menutup diri atau menarik diri dari dunia luar.
"Bisa jadi
awareness
bagaimana membantu orang yang tidak punya keluarga, ini jadi faktor penting... ketika seseorang berpisah dia harus
survive
sementara kita hidup bermasyarakat."
"Apalagi ini kasusnya tidak sedikit, mulai muncul... kok sering dijumpai orang terkunci di rumah kondisinya meninggal tidak diketahui."
"Jadi ada pencegahan, saling menjaga dengan lingkungan sekitar."
Diharapkan dari kerangka itu bisa diketahui identitas sesungguhnya dari kerangka tersebut.
"Kami masih menunggu dari tim forensik untuk melaksanakan kegiatan tes DNA apakah betul kedua kerangka itu yang diduga ibu dan anak," ujarnya saat ditemui di Mapolres Cimahi, Kamis (01/08).
Tri bilang sejauh ini kendala yang ditemui adalah belum ditemukannya keluarga atau kerabat Indah Hayati.
Sebab berdasarkan keterangan Tjandra – suami korban – Indah diketahui sebatang kara dan tidak ada informasi mengenai asal usulnya.
"Saat proses pernikahan saja yang diduga korban ibu [Indah] ini tidak dihadiri oleh keluarganya karena yang bersangkutan tinggal sebatang kara dan tidak ada keluarga. Jadi tidak secara pasti dia tinggal di mana dan asalnya dari mana."
Mengenai penyebab kematian, dia belum bisa menentukan.
Sementara dugaan yang beredar bahwa keduanya bunuh diri – merujuk pada wasiat berupa tulisan di dinding – Tri mengaku tak mau gegabah menyimpulkan
Ini karena di tempat kejadian, polisi belum menemukan senjata atau bahan kimia apa pun yang diduga digunakan korban untuk mengakhiri hidupnya.
"Namun kami sudah mengambil beberapa sampel tanah atau sampel air yang ada di sana untuk dilakukan proses penyelidikan."
Adapun soal tulisan di tembok, Tri mengatakan itu bisa menjadi salah satu petunjuk dugaan adanya ketidakharmonisan dalam keluarga tersebut.
Tapi sekali lagi, untuk memastikan apakah pesan itu betul ditulis oleh Indah dan anaknya, polisi memerlukan bukti pembanding.
Hingga sekarang, polisi telah memeriksa belasan saksi, termasuk Mudjoyo Tjandra. Dari hasil pemeriksaan diketahui dia pergi dari rumah itu antara tahun 2014 sampai 2015.
Usia Indah Hayati, istrinya, kala itu 45 tahun dan anaknya Elia 14 tahun.
Menurut Tri, Tjandra mengaku beberapa kali berkomunikasi dengan keluarganya dan terakhir melakukan percakapan melalui WhatsApp dengan anaknya pada 1 November 2018.
"Tapi pada Desember 2018 itu WhatsApp-nya hanya centang satu atau sudah tidak aktif," ujar Tri.
Wartawan Yuli Saputra di Bandung berkontribusi untuk laporan ini.
Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (100%)