Sentimen
Positif (66%)
2 Agu 2024 : 21.20
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Depok

Kasus: penganiayaan

Kemungkinan Meita Irianty Lolos dari Jerat Hukum karena Sedang Hamil, Begini Kata Polisi

2 Agu 2024 : 21.20 Views 1

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Pelaku penganiayaan terhadap anak berusia 2 tahun di sebuah Daycare, Meita Irianty dilaporkan tengah hamil. Lalu, akankah pemilik daycare Wensen School Indonesia itu lolos dari jerat hukum karena kondisinya?

Meita Irianty ditahan sejak Kamis 1 Agustus 2024. Polisi tetap menahannya, meski pelaku tengah mengandung.

Influencer Parenting tersebut ditahan, setelah polisi menetapkannya sebagai tersangka atas kasus penganiayaan dua balita, MK (2) dan HW (9 bulan).

“Ya, kami tahan,” ucap Kapolres Metro Depok Kombes Pol. Arya Perdana dalam jumpa pers di Polres Metro Depok, Kamis 1 Agustus 2024.

Meski dalam kondisi megandung, dia memastikan bahwa Meita Irianty tetap akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut.

“Orang yang mempunyai penyakit khusus atau mungkin dalam kondisi khusus seperti mengandung dan sebagainya, tetap kami lakukan pemeriksaan, tidak ada masalah,” tutur Arya Perdana.

Dia pun menuturkan bahwa jika ada masalah di tengah pemeriksaan dan penahanan, polisi akan membawa Meita Irianty ke Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta Timur.

“Kalau pun harus dibantarkan, ya kami bantarkan. Namun, penahanan tetap kami lakukan,” ujar Arya Perdana.

Secara terpisah, Kasat Reskrim Polres Metro Depok Kompol Suardi Jumaing mengungkapkan bahwa Meita Irianty tengah hamil empat bulan.

“Lagi hamil muda, sudah empat bulan,” katanya.

Meita Irianty Terancam 5 Tahun Penjara

Polres Metro Depok menetapkan pemilik daycare di Depok sebagai tersangka kasus dugaan penganiayaan anak. MI alias Meita Irianty dirilis di hadapan awak media pada Kamis, 1 Agustus 2024.

Meita Irianty dikenakan Pasal UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, Pasal 8 Ayat 1 dan Ayat 2. Atas perbuatannya, Meita Irianty terancam hukuman 5 tahun penjara.

Kapolres Metro Depok, Kombes Pol Arya Perdana mengatakan bahwa tersangka terancam hukuman 5 tahun pencara jika korban mengalami luka berat. Namun apabila korban luka ringan, tersangka dihukum 3 tahun 6 bulan penjara.

"Memang di UU-nya, ancaman maksimalnya itu lima tahun kalau mengakibatkan luka berat. Tapi kalau tidak mengakibatkan luka berat, maka ancaman hukumannya 3 tahun 6 bulan di ayat satu itu," tutur Arya Perdana dalam konferensi pers pada Kamis, 1 Agustus 2024.

Akankah Lolos dari Jerat Hukum?

Sejauh ini, tidak ada aturan yang secara spesifik membahas mengenai lolosnya hukuman bagi wanita yang sedang hamil. Begitu pula mengenai penangguhan penahanannya.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 3, dijelaskan bahwa penangguhan penahanan diberikan terhadap tersangka atau terdakwa. Namun, maksud dari penangguhan penahanan berbeda dengan pembebasan dari tahanan.

Pembebasan tahanan berarti membebaskan seseorang dari masa penahanan karena pemeriksaan telah selesai sehingga tidak diperlukan penahanan. Sementara itu, penangguhan penahanan berarti mengacu pada tindakan membebaskan narapidana setelah penetapan ketentuan penangguhan yang diperlukan, yang harus dipenuhi di bawah kewenangan masing-masing lembaga.

Prosedur penundaan kurungan mengharuskan setiap pihak yang terlibat untuk melaksanakan pencapaian dan mengilustrasikannya. Prestasi yang dilakukan oleh individu di bawah kurungan atau individu yang menjamin kepatuhan terhadap persyaratan yang ditentukan, pihak yang menahan memberi imbalan sebagai tegen prestasi berupa penangguhan penahanan.

Dalam penangguhan penahanan, batas waktu penahanan tetap sah dan dibenarkan menurut hukum. Namun, eksekusi penahanan dihentikan setelah persyaratan penangguhan dipenuhi oleh tersangka, terdakwa, atau individu lain yang bertindak untuk menjamin penangguhan penahanan.

Syarat Objektif Penangguhan Penahanan

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa jika penyidik atau hakim atau pun penuntut umum diberikan hak untuk memberikan dan mengabulkan permohonan penangguhan penahanan atas diri seorang tersangka adalah hak dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada penyidik di persidangan pengadilan yang terhitung sejak saat permohonannya dikabulkan.

Kemudian Pasal 21 ayat (4) KUHAP mengatur bahwa Penahanan semacam ini hanya dapat dilaksanakan dengan syarat bahwa:

Orang yang bersangkutan dicurigai atau dituduh melakukan pelanggaran pidana atau membantu dan bersekongkol dengan pelanggaran tersebut, dengan ketentuan bahwa: Pelanggaran tersebut memiliki potensi hukuman penjara lima tahun atau lebih; Tindak pidana tersebut memiliki potensi hukuman kurang dari lima tahun, tetapi dimaksudkan seperti itu.

Adapun kriteria yang digunakan pejabat berwenang dalam menetapkan pertimbangan, yakni syarat penangguhan penahanan dengan jaminan uang didasarkan atas:

Berat ringannya tindak pidana yang dilakukan terdakwa, Dalam konteks ini, penyidik seringkali bekerja sama dengan pejabat yang berwenang, tidak membedakan tindak pidana berdasarkan sifat spesifik kejahatan yang dilakukan. Jika kejahatan sengaja dilakukan, jaminan yang ditetapkan oleh penyidik atau pejabat yang berwenang akan ditetapkan pada jumlah yang tinggi. Namun, jika pelanggaran tersebut adalah hasil dari kelalaian, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 359 hingga Pasal 361 KUHP, jaminan biasanya tidak diperlukan. Kapasitas ekonomi terdakwa atau penjamin dapat mempengaruhi penentuan jaminan oleh penyidik atau pejabat. Namun dalam kasus dimana kapasitas ekonomi terdakwa kurang, jumlah jaminan dapat ditingkatkan. Keputusan ini didasarkan pada fakta bahwa terdakwa memiliki riwayat kambuh atau residivis, yang menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan mereka mengulangi tindakan kriminal mereka.

Penahanan tersangka atau terdakwa berpotensi dihentikan sementara dari pelaksanaannya atas kebijakan Penyidik, Jaksa Penuntut Umum, atau Hakim yang bertanggung jawab untuk menahan individu tersebut sesuai dengan yurisdiksi masing-masing. Untuk itu ditentukan syarat-syarat seperti:

Wajib lapor Tidak boleh keluar rumah Tidak boleh keluar kota.

Syarat Subjektif Penangguhan Penahanan

Mantan hakim, M. Yahya Harahap mengemukakan pendapat bahwa kondisi jaminan selama pembebasan sementara dari tahanan tidak mutlak. Bahkan tanpa adanya jaminan, tindakan pemberian pembebasan sementara dari tahanan sesuai dengan hukum masih akan mempertahankan validitasnya.

Akan tetapi, agar kondisi pembebasan sementara dari tahanan harus dipatuhi secara ketat, disarankan agar pembebasan disertai dengan penentuan jaminan. Maka dari itu, dapat lebih dipertanggung jawabkan supaya memperkecil tahanan melarikan diri. Penangguhan penahanan dapat diberikan dengan jaminan uang, jaminan orang.

Jaminan dalam bentuk uang, akan terus dimiliki oleh tersangka atau terdakwa, atau pihak yang berperan sebagai penjamin pembebasan sementara dari tahanan (pemohon), terlepas dari putusan bersalah atau tidak bersalah, selama kondisi yang diuraikan dalam pembebasan sementara dari tahanan tidak dilanggar (dipenuhi).

Akan tetapi, dalam hal pemohon gagal memenuhi persyaratan yang ditentukan maka, jaminan berupa uang itu akan menjadi milik negara, Dalam hal tersangka atau terdakwa memutuskan untuk melarikan diri dan tetap tidak dapat dilacak selama tiga bulan, uang jaminan yang awalnya ditempatkan di daftar pengadilan distrik, sebagai akibat dari keputusan pengadilan, dipindahkan ke kepemilikan negara.

Selanjutnya, petugas melanjutkan untuk menyetor jumlah tersebut ke Perbendaharaan Negara. Perlu dicatat bahwa ketentuan khusus ini menyimpang dari prinsip dasar memiliki jaminan uang untuk pembebasan sementara dari tahanan. Dalam hal pelarian oleh tersangka atau terdakwa, jumlah jaminan diserahkan kepada korban sebagai kompensasi atas kerusakan yang ditimbulkan oleh mereka.

Jaminan penangguhan penahanan dalam bentuk individu pada dasarnya adalah kesepakatan bersama dimana seseorang dengan sukarela menawarkan diri mereka sebagai jaminan. Dalam hal jaminan diberikan untuk individu yang ditahan, penjamin dalam skenario ini mungkin penasihat hukum mereka, keluarga dekat, atau individu lain yang tidak berbagi afiliasi dengan tahanan.

Akan tetapi, sangat penting bahwa penjamin adalah kerabat dekat tersangka/terdakwa itu sendiri, seperti orang tua, anak-anak, pasangan, atau kerabat lainnya. Langkah ini dilaksanakan untuk menghindari konsekuensi potensial yang diuraikan dalam Pasal 211 KUHP, jika kemudian diungkapkan bahwa tersangka atau terdakwa telah melarikan diri (sesuai Pasal 221, ayat 2 KUHP).

Setelah adanya putusan hakim yang diucapkan untuk memidana seseorang, maka hakim ketua sidang akam memberitahukan pada terdakwanya tentang semua terdakwanya tentang semua yang menjadi haknya. Salah satu dari hak tersebut adalah meminta untuk mengguhkan pelaksanaan putusan yang mana tenggang waktunya telah ditentukan oleh Undang-Undang agar bisa mengajukan grasi. Hal tersebut diatur dalam Pasal 196 KUHAP.

Mesikpun putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), tetapi yang dimaksud dengan hal tersebut yaitu:

Putusan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasidalam kurun waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang atau Putusan Kasasi itu sendiri. Perlindungan Hukum pada Narapidana Wanita Hamil

Kedudukan wanita dalam hukum Indonesia sudah dijelaskan secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 27 UUD 1945 telah ditentukan bahwa semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan bahwa setiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Tidak ada satu kata pun yang bersifat diskriminatif terhadap wanita, hal ini bawah para founding father Negara ini sejak awal meyadari benar bahwa tidak ada perbedaan dalam memperlakukan warga Negara-nya antara laki-laki dan perempuan.

Ketentuan Hukum di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Dalam system Pemasyarakatan, instrument hukum terkait dengan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia mengacu pada:

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP; Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan; Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara.

Maka, sistem pemasyarakatan di Indonesia merupakan suatu proses pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat.

Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Adanya hubungan keterkaitan dan saling mempengaruhi antara berbagai komponen narapidana, alat penegak hukum (pembina) dan masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan dalam menjalankan sistem pemasyarakatan tersebut. Adapun komponen-komponen yang saling mempengaruhi dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan meliputi:

Narapidana Alat Negara penegak hukum beserta masyarakat Lingkungan hidup sosial dengan segala aspeknya.

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 memuat tentang Prinsip pelaksanaan pemasyarakatan di Indonesia berdasarkan terdiri dari:

Pengayoman; Dimaksudkan sebagai perlakuan kepada warga binaan pemasyarakaatn dalam kerangka melindungi masyarakat dari pengulangan perbuatan pidana oleh warga binaan dengan cara memberikan bekal hidup berupa pemberian ketrampilan, pendidikan, pembinaan jasmani, rohani dan keagamaan selama menjalani proses pemasyarakatan. Persamaan perlakuan dan pelayanan; Seluruh warga binaan diperlakukan dan dilayani sama tanpa membeda-bedakan latar belakang orang (Non Diskriminasi). Pendidikan dan bimbingan; Pelayanan ini dilandasi dengan penanaman jiwa kekeluargaan, budi pekerti, pendidikan rohani, kesempatan menunaikan ibadah dan ketrampilan dengan berlandaskan Pancasila. Penghormatan harkat dan martabat manusia; Asas ini dijelaskan sebagai bentuk perlakuan kepada warga binaan harus diperlakukan sebagai manusia. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; Memiliki maksud, bahwa warga binaan hanya ditempatkan sementara waktu di dalam lembaga pemasyarakatan untuk mendapat rehabilitasi dari negara. Seorang Narapidana hanya kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi hak-hak perdatanya seperti perawatan kesehatan, makan dan minum, pakaian, olah raga, rekreasi, istirahat dan hak untuk tidak disiksa/dianiaya tetap dilindungi dan dipenuhi. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan terpidana yang didasarkan atas asas Pancasila, yaitu memandang terpidana sebagai makhluk Tuhan, individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat. Dalam membina terpidana dikembangkan hidup kejiwaan, jasmaniahnya, pribadi serta kemasyarakatannya dan didalam penyelenggaraannya mengikutsertakan secara langsung dan tidak melepaskan hubungan dengan masyarakat.

Perlakuan terhadap Narapidana merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan pembinaan pada seseorang. Situasi (lingkungan sekitar) cara pembinaan terpidana dalam semua aspek kehidupannya, dan pembatasan kebebasan bergerak serta pergaulannya dengan masyarakat di luar lembaga disesuaikan dengan kemajuan sikap dan tingkah lakunya serta lama pidana yang wajib dijalankan.

Narapidana sebagai subyek, diberikan dan dilindungi hak-haknya secara hukum, yakni hak-hak untuk Cuti Mengunjungi Keluarga (CMK), Cuti Menjelang Bebas (CMB), Pembebasan Bersyarat (PB), Asimilasi, hak untuk mendapat remisi dan hak-hak lain, meskipun dalam praktiknya tidak semua hak-hak tersebut dapat diterima oleh seorang Narapidana karena berbagai sebab.

Dalam hal perlakuan Narapidana sebagai subyek, adalah tidak adanya perbedaan perlakuan (dalam masalah pembinaan) antara Narapidana pemula dengan narapidana residivist. Ini adalah sebagai akibat tahapan proses pembinaan yang telah ditentukan secara baku.

Meski demikian, perlakuan terhadap Narapidana pemula dengan narapidana residivist, ada perbedaan dalam masalah pengawasan (keamanannya). Jika melahirkan di rutan, dia akan mendapatkan perlindungan kesehatan.

Hal tersebut diungkapkan di dalam pasal 20 ayat (3) PP No. 32/1999 sebagai berikut:

"Anak dari Narapidana wanita yang dibawa ke dalam LAPAS ataupun yang lahir di LAPAS dapat diberi makanan tambahan atas petunjuk dokter, paling lama sampai anak berumur 2 (dua) tahun Pihak Rutan sendiri sebenarnya memiliki kewajiban melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala".

Sehingga, kedaan warga binaan menjadi terkontrol dan terpantau dengan baik. Hal tersebut diatur di dalam pasal 23 PP No. 58/1999 berikut:

Pemeriksaan kesehatan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan dan dicatat dalam kartu kesehatan. Dalam hal ada keluhan mengenai kesehatan, maka dokter atau tenaga kesehatan RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS wajib melakukan pemeriksaan terhadap tahanan Dalam hal hasil pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditemukan adanya penyakit menular atau yang membahayakan, maka tahanan tersebut wajib dirawat secara khusus. Hak Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan serta Upaya-Upaya Perlindungan yang telah dilakukan

Sudah menjadi kodrat wanita mengalami siklus menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui yang tidak dipunyai oleh narapidana lain, sehingga sudah menjadi suatu kewajaran bahwa narapidana wanita mempunyai hak-hak istimewa dibandingkan dengan narapidana laki-laki.

Dalam Undang-undang pemasyarakatan tidak diatur tentang perlindungan hukum terhadap narapidana wanita padahal karakter narapidana wanita dan laki-laki sungguh berbeda baik dari segi psikologis maupun dari segi pisik idealnya penempatan antara narapidana laki-laki dan wanita harus dipisahkan.

Tujuan didirikan lembaga pemasyarakatan wanita adalah untuk memisahkan antara narapidana wanita dengan narapidana laki-laki demi faktor keamanan dan faktor psikologis. Pada dasarnya, hak antara narapidana wanita dan narapidana pria adalah sama, hanya dalam hal ini karena narapidananya adalah wanita maka ada beberapa hak yang mendapat perlakuan khusus dari narapidana pria yang berbeda dalam beberapa hal, di antaranya karena wanita mempunyai kodrat yang tidak dipunyai oleh narapidana pria yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui maka dalam hal ini hak-hak narapidana wanita perlu mendapat perhatian yang khusus baik menurut Undang-Undang maupun oleh petugas lembaga pemasyarakatan.

Pengaturan mengenai pelaksanaan hak narapidana wanita tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Pasal 20 mengatur perlindungan terhadap narapidana wanita yaitu narapidana dan Anak didik pemasyarakatan yang sakit, hamil dan menyusui berhak mendapat makanan tambahan sesuai dengan petunjuk dokter.

Makanan tambahan juga diberikan kepada narapidana yang melakukan jenis pekerjaan tertentu. Anak dari narapidana wanita yang dibawa kedalam LAPAS ataupun yang lahir di LAPAS dapat diberi makanan tambahan atas petunjuk dokter, paling lama sampai berumur 2 (dua) tahun.

Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 telah mencapai umur 2 (dua) tahun, harus diserahkan kepada bapaknya atau sanak keluarga, atau pihak lain atas persetujuan ibunya dan dibuat dalam satu berita acara.

Untuk kepentingan kesehatan anak, Kepala LAPAS dapat menentukan makanan tambahan. Anak yang lahir di Lembaga Pemasyarakatan telah mencapai 2 tahun harus diserahkan kepada bapaknya atau sanak keluarga atau pihak lain atas persetujuan ibunya.***

Sentimen: positif (66.7%)