Mampukah Kamala Harris Dobrak Sejarah Seksisme-Rasisme AS?
Detik.com Jenis Media: Internasional
Kendati demikian, banyak anggota Partai Demokrat yang gembira dengan peluang yang kini dimiliki Harris.
Harris yang berusia 59 tahun, atau dua dekade lebih muda dari Trump, merupakan sosok vokal soal hak aborsi -- isu yang menarik perhatian para pemilih muda dan basis progresif Partai Demokrat. Para pendukungnya berargumentasi bahwa Harris akan meraup dukungan dari kalangan pemilih itu, mengkonsolidasikan dukungan dari pemilih kulit hitam, dan memberikan penampilan debat yang tajam untuk mengungkit kasus pidana Trump.
Brown menilai bahwa pencalonan Harris akan menawarkan hal yang kontras dengan Trump dan calon wapresnya, Senator JD Vance -- keduanya merupakan pria kulit putih dari Partai Republik.
"Bagi saya, hal itu mencerminkan masa lalu Amerika. Dia (Harris-red) mencerminkan masa kini dan masa depan Amerika," cetusnya.
Terlepas dari itu, meskipun menuai pujian beberapa pekan terakhir karena teguh membela Biden, sejumlah anggota Partai Demokrat merasa khawatir dengan goyahnya dua tahun pertama Harris menjabat, kampanye singkatnya saat pencapresan tahun 2020, dan -- mungkin yang paling penting -- beban sejarah panjang diskriminasi ras dan gender di AS.
"AS Enggan Jadikan Wanita sebagai Pemimpinnya"
Rakyat AS memilih Barack Obama, presiden kulit hitam pertama dan satu-satunya, dalam pilpres tahun 2008. Satu-satunya wanita yang menjadi capres dari sebuah partai besar di AS, Hillary Clinton, kalah mengejutkan dari Trump dalam pilpres tahun 2016.
"Amerika memiliki sejarah rasisme, seksisme, jadi saya meyakini hal itu akan menjadi faktor dalam pembicaraan ini, faktor dalam kampanyenya," sebut mantan ajudan Harris, Jamal Simmons.
Namun, lanjut Simmons, ada sisi lainnya yang bisa menguntungkan, ketika para pemilih kulit hitam terdorong jika Harris ditempatkan sebagai kandidat teratas dalam pencapresan Partai Demokrat, dan kalangan pemilih perempuan yang beberapa menyesal tidak memilih Clinton tahun 2016 lalu akan mendukungnya juga.
"Benar juga bahwa dia akan mendapatkan keuntungan dari ras dan gendernya, sehingga banyak warga Amerika keturunan Afrika yang mendukung pencalonannya," cetusnya.
Kendati demikian, Direktur Program Studi Wanita dan Gender pada Georgetown University, Nadia Brown, mengingatkan bahwa meskipun semakin banyak pemimpin politik kulit hitam, masih ada keengganan untuk menerima perempuan atau wanita dalam peran kepemimpinan utama di AS.
"Patriarki adalah obat yang sangat mematikan. Dengan rasisme, kita mengetahuinya, kita bisa menghentikannya. Suasana hati yang tidak kita lihat diekspresikan secara jelas adalah keengganan nyata untuk menjadikan seorang wanita kulit hitam khususnya sebagai seorang pemimpin," sebutnya.
(nvc/ita)
Sentimen: negatif (66.6%)