Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Washington, London
Kasus: pembunuhan, HAM
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Arab Saudi Disebut Tak Senang Kalau Kamala Harris Jadi Presiden AS
CNBCindonesia.com Jenis Media: News
Jakarta, CNBC Indonesia - Arab Saudi disebut mungkin tak akan senang jika Kamala Harris, Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) saat ini, benar-benar menjadi presiden Paman Sam. Hal ini setidaknya diyakini sejumlah pengamat merujuk Putra Mahkota Arab Saudi sekaligus Perdana Menteri (PM) Mohammed bin Salman (MBS).
Sosoknya yang dekat dengan aktivis hak asasi manusia (HAM) menjadi penyebab. Harris bisa mengulik-ulik catatan buruk Arab Saudi yang suram soal HAM, salah satunya mengungkit kematian kontributor Washington Post, Jamal Khashoggi, yang kerap dikaitkan dengan MBS.
"Kandidat presiden liberal seperti Kamala Harris, yang dekat dengan aktivis hak asasi manusia juga akan mengkhawatirkan," katanya pengamat lembaga penelitian Stimson Center, Mathew Burrows, dalam sebuah wawancara dimuat Business Insider, dikutip Jumat (26/7/2024).
"Putra Mahkota Mohammed khawatir bahwa, di bawah pemerintahan Harris yang liberal, Partai Demokrat akan lebih vokal mengenai catatan hak asasi manusia Saudi yang suram," tambahnya.
Sebenarnya saat berkampanye dulu, petahanan Presiden AS Biden sempat menyinggung soal kematian Khashoggi di Turki tahun 2018. Bahkan ia berjanji mengambil tindakan keras terhadap Arab Saudi.
Harris, juga dalam kampanyenya pada tahun 2020, pun vokal tentang pembunuhan tersebut. Ia bahkan menyebut "serangan terhadap jurnalis di mana pun" tak dibenarkan dan mendukung undang-undang di Senat untuk mempublikasikan lebih banyak informasi tentang kematian warga Arab Saudi itu.
Harris mengatakan AS perlu secara mendasar mengevaluasi kembali hubungan dengan Arab Saudi. Ia pun menekankan bagaimana AS seharusnya menanamkan pengaruh sesuai nilai-nilanya dan kepentingan Amerika.
Hal ini pun sempat membuat tegang hubungan kedua sekutu di awal Biden memimpin Gedung Putih. Namun kesepakatan akhirnya terjalin dengan fokus menentang Iran dan mencari stabilitas di Timur Tengah.
"Harris dapat memperumit hal ini," tambah Burrows.
"Calon presiden yang lebih konfrontatif dapat menjadi hambatan bagi tujuan AS dalam menormalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel, sekutu penting AS di kawasan lainnya," katanya merujuk upaya AS beberapa tahun terakhir yang menjadi perantara normalisasi negara-negara Arab dan Israel, guna penyeimbang pengaruh regional Iran.
Harris juga merupakan pendukung utama hak-hak perempuan dan kelompok LGBTQ+. Ini semua, kata Burrows, secara hukum sangat rendah dalam hukum Arab Saudi di mana perempuan harus memiliki wali laki-laki dan hubungan sesama jenis adalah ilegal.
Sementara itu, Profesor Hubungan Internasional di London School of Economics, Fawaz Gerges, juga menyampaikan sentimen serupa. Menurutnya mundurnya Biden mungkin merupakan kejutan bagi para penguasa Timur Tengah yang tidak terbiasa menyerahkan kekuasaan dengan mudah.
"Motto mereka adalah 'sampai maut memisahkan kita," kelakarnya merujuk kekuasaan penguasa kawasan itu.
Meski begitu, kedua pakar yakin para pejabat Arab Saudi mungkin akan mengharapkan banyak kesinambungan dari kepresidenan Harris. Sehingga memperluas pendekatan Biden terhadap Timur Tengah.
Harris kini mendapat dukungan mayoritas Demokrat setelah Biden mundur dari pemilu presiden (pilpres) AS. Namun keputusan resmi partai belum diambil, kemungkinan Agustus.
Mengungguli Donald TrumpDi sisi lain, Harris bisa menang mengalahkan mantan Presiden ke-45 AS, Donald Trump dalam bursa pilpres. Bukti terbaru menunjukkan Harris unggul dalam poling nasional.
Menurut jajak pendapat Reuters/Ipsos, Harris unggul dua poin di atas Trump, 44% berbanding 42%. Survei dilakukan dua hari setelah Biden mengumumkan mundur dari pencalonan presiden dan mendukung Harris.
Padahal sebelumnya, baik Harris (59) dan Trump (78) mendapatkan suara sama. Di mana suara keduanya mentok 44%.
Mengutip AFP, kinerja Harris di jajak pendapat menunjukkan ia berhasil menetralisir lonjakan suara Trump pasca pengumuman Partai Republik pekan lalu. Tapi Harris sendiri belum resmi dimajukan Partai Demokrat sebagai capres, di mana sebagian sumber mengatakan keputusan baru akan dibuat Rabu ini.
Dalam jajak pendapat PBS News/NPR/Marist yang dilakukan Senin, Trump masih mengungguli Harris namun sangat tipis yakni 46% dengan 45%. Terdapat 9% pemilih masih ragu-ragu.
Jika kandidat dari pihak ketiga atau kandidat independen diikutsertakan dalam kontestasi tersebut, Trump dan Harris memiliki perolehan suara yang sama sebesar 4%. Sedangkan kandidat lainnya tertinggal jauh.
"Survei PBS News menemukan bahwa 87% warga AS menganggap keputusan Biden untuk mundur dari jabatannya adalah langkah yang tepat, sebuah pandangan yang melanggar batas partisan dan generasi," tulis AFP memuat hasil survei.
"Sejumlah besar responden (41%) mengatakan keputusan Biden meningkatkan peluang Partai Demokrat untuk menang pada bulan November, dibandingkan dengan 24% yang mengatakan keputusan tersebut mengurangi peluang partai dan 34 persen yang mengatakan hal itu tidak ada bedanya," tambahnya.
Kedua survei tersebut dilakukan setelah Trump selamat dari upaya pembunuhan yang mengejutkan di rapat umum di Pennsylvania pada 13 Juli. Trump mempertahankan keunggulan yang sangat tipis yaitu 1,6 poin persentase terhadap Harris, menurut rata-rata jajak pendapat yang dikumpulkan oleh RealClearPolitics.
(sef/sef)
Sentimen: negatif (66.6%)