Inflasi Medis Tinggi, Premi Asuransi Bakal Naik?
Detik.com Jenis Media: Ekonomi
Tingginya klaim yang diakibatkan oleh inflasi medis membuat industri asuransi kesehatan tertekan. Ini karena naiknya biaya medis dari tahun ke tahun.
Dari catatan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat periode Januari-Maret 2024, industri asuransi jiwa telah membayar klaim kesehatan sebesar Rp 5,96 triliun.
Ketua Bidang Ketua Bidang Produk Manajemen Risiko GCG AAJI Fauzi Arfan mengungkapkan pada awal tahun 2024 secara umum total klaim yang dibayarkan industri asuransi jiwa cenderung menurun. Namun hal tersebut berbanding terbalik dengan klaim asuransi kesehatan yang terus mengalami peningkatan.
Dia menyebutkan pada periode Januari hingga Maret 2024 ini industri asuransi jiwa telah membayarkan total klaim sebesar Rp 42,93 triliun. Hasil tersebut tercatat menurun 5,8% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2023.
Penurunan total klaim ini disebabkan oleh menurunnya pembayaran untuk klaim meninggal dunia, nilai tebus (surrender) dan klaim lainnya.
"Sementara untuk klaim asuransi kesehatan justru mengalami peningkatan yang cukup tinggi yakni 29,4% dengan total nilai sebesar Rp 5,96 triliun," ungkap Fauzi dalam keterangannya, dikutip Kamis (25/7/2024).
Secara lebih rinci dari total Rp 5,96 triliun tersebut porsi terbesar dari klaim asuransi kesehatan terdapat pada jenis produk individu di mana total klaimnya mencapai Rp 3,89 triliun, meningkat 34% jika dibandingkan dengan periode Januari - Maret 2023. Sementara untuk klaim asuransi kesehatan kumpulan juga tercatat naik 21% dengan total nilai sebesar Rp 2,07 triliun.
"Saat ini rasio klaim asuransi kesehatan terhadap pendapatan premi untuk produk tersebut sudah mencapai 97%. Rasio ini cenderung terus meningkat seiring dengan makin tingginya angka klaim kesehatan. Ada margin yang cukup besar antara pembayaran klaim dengan pendapatan preminya," tambah Fauzi.
Menurut dia untuk mengatasi tantangan ini, industri asuransi jiwa mengambil langkah-langkah seperti meninjau kerja sama dengan rumah sakit, mengevaluasi produk dan premi berdasarkan pengalaman klaim, serta memfasilitasi diskusi antar perusahaan anggota AAJI.
Terpisah Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu, mengungkapkan bahwa tingginya klaim kesehatan salah satunya diakibatkan oleh inflasi biaya medis yang terus meningkat signifikan dari tahun ke tahun.
Dampak inflasi biaya medis ini juga ikut dirasakan oleh industri asuransi kesehatan. Hal ini membuat perusahaan asuransi lebih berhati-hati dalam menjalankan bisnis asuransi kesehatan, antara lain dengan penetapan syarat ketentuan yang lebih ketat hingga menyasar segmen pasar yang minim risiko.
Togar menjelaskan, tidak dapat dipungkiri bahwa inflasi medis berdampak terhadap penyesuaian harga premi oleh perusahaan asuransi. Kendati demikian, AAJI merekomendasikan daftar rumah sakit kepada nasabah yang telah bekerja sama dengan perusahaan asuransi guna meminimalkan dampak penyesuaian tersebut.
Hasil laporan Mercer Marsh Benefit (MMB) Health Trends 2024 memprediksi inflasi medis tahun ini berada di angka 13%. Hal ini sangat jomplang bila dibandingkan inflasi nasional yang 2,61% di 2023 dan inflasi tahun 2024 yang ditargetkan sebesar 2,5±1%.
Dengan masih tingginya inflasi biaya medis, Dia memprediksi, angka klaim kesehatan tidak berbeda jauh dengan tahun 2023. "Diperkirakan masih tidak berbeda jauh dibandingkan realisasi tahun 2023, yaitu sekitar Rp20 triliun," katanya.
Selain inflasi biaya medis, peningkatan rawat inap dan over treatment juga berkontribusi besar terhadap meningkatnya klaim kesehatan.
Oleh sebab itu, Kementerian kesehatan (Kemenkes) mendorong masyarakat untuk menerapkan quality spending atau belanja yang berkualitas dalam menghadapi tingginya klaim kesehatan. Dengan quality spending maka pengeluaran yang digunakan akan sesuai dengan standar dan kebutuhan.
"Jadi bagaimana mengatasi biaya yang tinggi yaitu quality spending. Dengan spending berkualitas. Artinya kita harus tahu ada standard, kita harus tahu apakah ini necessary, apakah ini medical needs atau unnecessary dan seterusnya," kata Staff Khusus Menteri di bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Dr. Prastuti Soewondo belum lama ini.
Lebih jauh, Dia membeberkan bahwa banyaknya masyarakat yang berobat ke rumah sakit dibandingkan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) juga menyebabkan tingginya klaim kesehatan. Jika dibedah, belanja asuransi kesehatan sosial di tahun 2023 sebesar Rp167 triliun. Dari total itu, sebanyak 84% dibelanjakan ke rumah sakit baru sisanya ke FKTP.
"Ini yang menjadi mahal, kita sudah tahu literatur manapun ke rumah sakit pasti mahal jadi bagaimana caranya kita tidak ke rumah sakit. Negara-negara yang sustain adalah betul-betul merancang agar spendingnya proporsional yakni 25% ke FKTP sisanya 75% ke rumah sakit," ujar Dr. Prastuti.
Untuk itu, pemerintah dalam hal ini Kemenkes mendorong penguatan pelayanan FKTP sehingga bisa melayani 144 penyakit. "Kalau tidak ada nakes ditambah, tidak ada dokternya ditambah, kalau tidak ada alatnya ditambah dan seterusnya. Supaya mereka (masyarakat) bisa diobati di FKTP dan tidak langsung ke rumah sakit karena ke rumah sakit pasti mahal," jelas dia.
"Untuk rawat jalan yang kebanyakan penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, jantung dan lain, kalau sudah stabil turunkan ke FKTP. Kenapa sekarang tidak bisa diturunkan? Karena obatnya tidak ada karena dokternya tidak ada di bawah (FKTP). Nah pak Menteri (Menkes) mau supaya dipastikan obat itu ada dan semua dirujuk balik ke FKTP kalau sudah stabil," tambah Dr. Prastuti.
Selain itu, lanjutnya, kita harus mengedukasi masyarakat untuk hidup sehat lalu kita juga memastikan agar masyarakat ini tidak jatuh sakit yang parah. "Makanya dilakukan screening secara masif supaya mereka menjaga dirinya lebih baik. Jika dia saat screening berisiko dia diobati di FKTP," ujar dia.
(kil/kil)Sentimen: positif (61.5%)