Sentimen
Industri Petrokimia Perlu Diperhatikan, Penerapan BMPAD hingga Pemberlakuan Kembali Permendag 36 Diharapkan Jadi Solusi
Beritasatu.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, Beritasatu.com – Para pelaku usaha dan pengamat meminta pemerintah memerhatikan industri petrokimia imbas gempuran impor akibat pemberlakuan Permendag No.8/2024. Penerapan bea masuk antidumping (BMAD) impor produk petrokimia hingga pemberlakuan kembali Permendag No.36/2023 diperlukan untuk menyelamatkan industri dalam negeri dari hulu hingga hilir.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, mengimbau agar pemerintah segera melakukan tindakan pengamanan dan perlindungan terhadap industri petrokimia dalam negeri sehingga tidak semakin tergerus oleh impor.
“Utilisasi petrokimia hilir yang memproduksi barang jadi sudah mendekati 60%, sedangkan di hulunya sudah di bawah 70%. Ini artinya sudah injury,” ujar Fajar, Selasa (16/7/2024).
Sebelumnya, Fajar memperkirakan demand produk petrokimia lokal naik 4,2% per tahun. Namun, prediksi ini terkendala beberapa hal, seperti rendahnya daya beli dan banjir barang-barang impor, terutama barang jadi. Hal ini, lanjut Fajar membuat beberapa pabrik di hilir menurunkan produksi.
Inaplas sebelumnya sudah mengajukan beberapa instrumen perlindungan industri dalam negeri dari serbuan impor, seperti BMAD dan bea masuk tindak pengamanan (BMTP) untuk bahan baku plastik, seperti polipropilena (PP) dan linear low density polythylene (LLDP). Pada 2017, pemerintah pernah mengenakan BMAD impor biaxially oriented polypropylene (BOPP) dalam bentuk film, pelat lembaran, foil, dan lainnya yang berasal dari Thailand dan Vietnam berdasarkan PMK No.1 tahun 2017. Tarif BMAD yang dikenakan sebesar 28,4% terhadap produk BOPP yang diproduksi oleh perusahaan Thailand selain A.J Plast Publick Company Limited dan 3,9% tarif BMAD untuk produk BOPP yang dikenakan perusahaan Vietnam.
Fajar menuturkan penerapan BOPP selama tahun 2017-2019 membuahkan hasil yang baik.
“Artinya, harga di pasar itu tidak terlalu hancur sehingga ongkos produksi yang ada di Indonesia bisa tertutup dan utilitasi naik,” kata dia.
Oleh karena itu, dia menilai, perlu diterapkan lagi BMAD impor BOPP. Inaplas tengah melakukan pengumpulan data terkait pengajuan BMAD kepada pemerintah.
Fajar menilai BMAD memiliki aturan mainnya tersendiri dan harus dibuktikan. Dia berharap Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dan Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) bisa menerapkan instrumen ini secara fleksibel.
“Prinsipnya, kita harus cepat, karena nanti momentumnya akan lewat,” tambah Fajar.
Fajar menjelaskan bahwa industri petrokimia memiliki dampak besar terhadap ekonomi. Berdasarkan studi kasus, investasi naphtha cracker terintegrasi bisa memberikan output langsung pada kontribusi perekonomian sebesar Rp 41,04 triliun, menyerap tenaga kerja hingga 3,22 juta orang, menghasilkan peredaran upah hingga Rp 8,56 triliun, serta memberikan manfaat fiskal berupa pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 2,67 triliun.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan, pangsa pasar industri petrokimia di dalam negeri semakin tergerus barang impor.
“Apalagi, ada free trade agreement (FTA) dengan Uni Emirat Arab, yang membebaskan bea masuk impor petrokimia dari negara itu. Otomatis industri petrokimia semakin tergerus,” terang dia.
Faisal menambahkan, membeludaknya barang impor ini dipicu kurang ketatnya kontrol di kawasan pabean. Bahkan, ada kesan barang impor bebas masuk. Hal ini terjadi karena adanya persaingan dari produk atau barang impor dengan lokal.
Dengan adanya ancaman impor yang berlebih, dia menilai, pemanfaatan kapasitas produksi industri petrokimia domestik mengalami penurunan. Hal ini menjadi diinsentif bagi industri petrokimia untuk bisa terus bertahan. Apalagi, demikian ujar Faisal, saat ini sudah beberapa perusahaan yang mulai menghentikan produksi, karena demand masih rendah akibat meningkatnya jumlah barang impor yang masuk ke Indonesia.
Faisal juga mengatakan, penerapan BMAD perlu bukti terkait praktik dumping. Namun, selama ini, BMAD bersifat temporer. Padahal, yang dibutuhkan dalam menjaga daya saing dan keberlanjutan industri petrokimia adalah pendekatan yang lebih sustainable dan sifatnya jangka panjang atau permanen.
Keluhan Petrokimia Hilir
Sementara itu, Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) menyampaikan perlunya pengetatan impor produk barang jadi plastik dari negara lain untuk memproteksi industri lokal. Dengan begini, sektor ini bisa memberikan kontribusi yang lebih besar bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
Sekretaris Jenderal Aphindo, Henry Chevalier, mengatakan sebenarnya, Permendag 36/2024 adalah salah satu tools yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka proteksi industri dalam negeri. Tetapi, tidak cukup hanya sebatas lartas (larangan dan pembatasan), tapi harus diatur tata impornya.
Dia menambahkan, masifnya impor barang jadi plastik mengganggu kinerja industri petrokimia hilir. Sebab, produk impor lebih diminati karena harganya murah.
Henry mencontohkan, salah satu negara pemasok barang impor yang lebih murah ke Indonesia adalah China. Ini terjadi karena upah pekerja (labour cost) di China lebih rendah dan ketersediaan bahan baku memadai.
"Lantas, kenapa produk kita lebih mahal? Ini karena bahan baku diimpor, kemudian ada biaya listrik, upah buruh, dan biaya birokrasi seperti perizinan, cukai, pajak," ujar dia.
Oleh karenanya, Henry mendorong pemerintah menerapkan pengetatan impor, khususnya untuk barang jadi plastik. Terlebih apabila produk tersebut sudah diproduksi oleh industri domestik. Hal itu bertujuan supaya produk yang dihasilkan di dalam negeri bisa lebih terserap oleh pasar.
"Sebenarnya, Permendag 36/2024 adalah salah satu tools yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka proteksi industri dalam negeri. Tetapi, tidak cukup hanya sebatas lartas (larangan dan pembatasan), tapi harus diatur tata impornya," ujar dia.
Lebih lanjut dia mengatakan, selain menerapkan pengetatan impor, Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mesti menindak tegas dan menolak barang plastik impor yang tidak sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).
Sentimen: positif (98.4%)