Sentimen
20 Jul 2024 : 07.17
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Gunung, Bogor, Kudus
Kasus: covid-19, kecelakaan
Tokoh Terkait
2 Soal Kakek Nenek Ditemukan Meninggal di Rumah, Mengapa Menempatkan Lansia di Panti Jompo Jadi Perdebatan? Regional
Kompas.com Jenis Media: Metropolitan
20 Jul 2024 : 07.17
Soal Kakek Nenek Ditemukan Meninggal di Rumah, Mengapa Menempatkan Lansia di Panti Jompo Jadi Perdebatan?
Editor
KOMPAS.com
- Kematian pasangan suami istri Hans Tomasoa (83 tahun) dan Rita Tomasoa (73 tahun) di kediamannya di Desa Singajaya, Kecamatan
Jonggol
, Kabupaten
Bogor
, heboh di media sosial setelah video viral yang memperlihatkan beberapa warga membuka paksa rumah tersebut karena curiga tak ada respons apa pun dari dalam dan tercium bau yang sangat menyengat.
Saat masuk ke kamar barulah ketahuan pasangan
lansia
itu tak lagi bernyawa dengan jasad nyaris membusuk.
Menurut pihak gereja yang mengutip pernyataan pihak RSUD Cileungsi, Hans dan Rita diperkirakan meninggal seminggu sebelum ditemukan. Tidak ditemukan luka akibat kekerasan atau lainnya.
Kejadian ini mengundang beragam tanggapan dari publik.
Ada yang menyatakan keprihatinan, tapi ada juga yang berkomentar menyalahkan anak-anak mereka karena dianggap tak memedulikan orang tua serta dituduh tidak tahu cara membalas budi.
Warganet lain menilai kejadian ini semestinya bisa dihindari jika pasangan suami istri tersebut dititipkan ke panti jompo atau rumah lansia.
BBC News Indonesia
sudah mencoba berulang kali mengontak anak Hans Tomasoa, namun tidak bisa dihubungi dan pesan singkat yang tidak dibalas.
Dalam video yang viral berdurasi 01:37 detik itu, tiga pria nampak mencongkel kunci pintu dengan linggis.
Pintu bercat putih yang sudah tampak kusam itu pun akhirnya terbuka.
Beberapa warga kemudian masuk sambil menutup hidup karena mencium bau busuk. Mereka lantas menuju sebuah kamar yang terbuka lebar.
Mulanya mereka seperti tak menyadari ada jasad manusia di dalamnya, dan mencoba menelusuri asal bau tersebut. Sampai beberapa waktu kemudian, seorang perempuan menangis.
Si perekam video lantas mengarahkan kameranya pada dua jasad yang terlihat mulai menghitam dan mengering berbaring di atas kasur yang berantakan.
Pengurus Rukun Tetangga (RT) di Perumahan Citra Indah, Jonathan Tobing, menceritakan apa yang terjadi pada Jumat (12/07) pagi itu.
Kecurigaan ada yang tak beres dengan Opa Hans dan Oma Rita dimulai pada Kamis (11/07).
Beberapa warga mengadu kepada sekuriti kompleks bahwa mereka tak pernah melihat pasangan lansia itu keluar rumah sejak Senin (08/07).
"Laporan itu masuk Kamis sore atau malam, kemudian pengecekan di hari Jumat pagi diketok [pintu rumah] tidak ada respons, tidak ada jawaban. Sekuriti melaporkan kembali ke kami kondisinya seperti itu," ungkap Jonathan.
Sopir tersebut biasa mengantar pria sepuh itu untuk kontrol kesehatan dan mengambil dan pensiun.
Akan tetapi, si sopir menjawab tidak tahu dan sudah tidak berkontak sejak lama. Belakangan ketahuan ponsel milik Opa Hans sudah tidak aktif.
"Sudah tidak ada kontak sejak lama kata [si sopir], karena biasanya dia suka mengantar tiap awal bulan."
Pengurus RT lantas berinisiatif menghubungi anak bungsu Opa Hans dan Oma Rita. Kata Jonathan, "tak ada jawaban dari anak bungsu itu".
Sampai akhirnya mereka mengontak adik Opa Hans. Tapi rupanya adik Opa Hans tidak punya informasi apa pun.
"Kami lalu minta izin kalau sampai besok pagi tidak mendapatkan kabar keberadaan Opa dan Oma, kami minta izin membongkar paksa pintu rumah, supaya semuanya clear [jelas]."
Warga kemudian berupaya masuk rumah, pada Jumat (12/07) pagi, sebagaimana terekam dalam video yang viral di media sosial. Beberapa warga yakni pengurus RT dan sekuriti kompleks membuka paksa pintu rumah.
Jonathan berkata saat membuka paksa itu, orang-orang di sana samar-samar sudah mencium bau menyengat dari dalam.
"Dari sekuriti menginfokan ke saya, 'Pak izin kami mau eksekusi sekarang [buka paksa pintu] soalnya sudah ada bau dari dalam'. Ya sudah tapi saya bilang harus ada yang mendampingi," tuturnya.
"Setelah dibuka, seperti yang video beredar itu... saya bilang tutup semua akses jangan ada yang masuk."
"Baunya sangat menyengat."
Hans Tomasoa dan istrinya tinggal di Perumahan Citra Indah sejak 2017.
Hans Tomasoa diketahui oleh warga adalah dosen di salah satu sekolah pelayaran di daerah Jakarta Timur. Namun saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia, mantan pelaut ini tak lagi mengajar. Kondisi fisiknya pun kian lemah.
Adapun Rita disebut warga sebagai mantan penyiar radio dan pensiunan pegawai negeri.
Di lingkungan kompleks, Hans Tomasoa dan istri cukup akrab dengan tetangga, kata Jonathan. Dari obrolan itu lah warga tahu keseharian pasangan lansia tersebut.
Sewaktu masih menjadi dosen, warga sekitar beberapa kali mengantarnya pergi mengajar.
Tapi sepanjang menetap di sana, Jonathan mengeklaim tidak pernah melihat melihat anak-anak kedua suami istri tersebut berkunjung.
Jonathan juga mengaku pernah menawarkan kepada Hans dan Rita agar masuk ke panti jompo atau rumah lansia milik dinas sosial. Hanya saja, klaim Jonathan, keduanya keberatan.
Namun karena keterbatasan fisik, mereka hanya sesekali beribadah ke gereja.
Jika ada perayaan ibadah khusus, pengurus gereja yang datang ke rumah Hans dan Rita Tomasoa.
"Biasanya kalau gereja ada perjamuan kudus, yang sakit-sakit itu atau orang-orang tua yang tidak bisa ke gereja, dikunjungi," ujar Ezra Sudarsono kepada
BBC News Indonesia.
"Seperti diketahui Oma Rita sudah tidak bisa berjalan, Opa masih bisa jalan... jadi opa dan oma sudah jarang bahkan hampir tidak pernah gereja."
Pada Minggu (14/07) rencananya GPIB Cipeucang akan mengadakan ibadah perjamuan kudus.
Untuk mempersiapkan opa serta oma ikut dalam kegiatan itu, presbiter atau penatua di sektor pelayanan 3 mendatangi rumah mereka pada Jumat (12/07) pagi.
Pelayan gereja juga hendak memberi tahu rencana ibadah keluarga yang akan digelar di kediaman itu pada Rabu (17/07).
"Jadi pada Jumat pagi, presbiter datang mau minta izin menentukan waktu kapan bersih-bersih dan menyiapkan makanan."
Pendeta Ezra bercerita pada Jumat pagi itu, dia sedang dalam perjalanan dengan sepeda motor untuk keperluan pelayanan ibadah ke daerah Gunung Batu, Kabupaten Bogor.
Seorang presbiter atau penatua di sektor pelayanan 3 tiba-tiba meneleponnya dan dengan suara seperti menangis kemudian menyampaikan kabar kalau "opa dan oma sudah meninggal".
"Ini jenazahnya ditemukan di kamar, Pak Pendeta..." sambung suara yang berasal dari telepon genggamnya sambil terisak.
Tak pikir panjang, ia pun langsung balik arah ke lokasi kejadian.
Begitu sampai, Ezra Sudarsono menyaksikan di depan rumah itu sudah banyak orang berkerubung, termasuk ketua RT, polisi, dan tim dari RSUD Cileungsi.
Bapak dua anak ini mengaku sangat sedih melihat kondisi jenazah keduanya.
Dia masih ingat bagaimana tubuh Oma Rita yang telah menciut dalam posisi tidur di kasur. Sedangkan Opa Hans nampak kepalanya seperti bersandar di sandaran dipan kayu.
Dari keterangan petugas yang membawa jenazah diperkirakan Oma Rita meninggal terlebih dulu - merujuk pada jasadnya yang sudah mengering. Adapun jasad Opa Hans dikatakan masih cukup berat - yang artinya cairan tubuhnya masih cukup banyak.
"Dugaan saya oma meninggal duluan, jadi opa sedih dan akhirnya meninggal dalam diam," ungkapnya.
Di tengah situasi yang disebutnya penuh haru itu, pihak gereja dan ketua RT lantas menghubungi anak-anak mendiang Opa Hans serta kerabat lainnya.
Tujuannya tak lain ingin memberi tahu soal kematian orang tua mereka dan menanyakan perihal prosesi pemakamannya.
"Dari majelis gereja bertanya, 'kapan datang?' Dijawab oleh salah satu anak, 'belum tahu...'"
Karena tak ada kejelasan tentang kehadiran anak-anak Opa Hans, pihak gereja dan RT setempat sepakat memutuskan untuk melangsungkan prosesi pemakaman pada sore hari.
Toh, berdasarkan keterangan RSUD Cileungsi kepadanya, penyebab kematian pasangan lansia tersebut akibat kekurangan asupan makanan.
Tidak ada unsur kriminal, kecelakaan, atau hal-hal yang memicu trauma. Disebutkan pula keduanya diperkirakan telah meninggal sekitar 4-5 hari sebelum ditemukan.
"Hasil pemeriksaan menurut rumah sakit, kematiannya normal," kata Ezra Sudarsono.
Kira-kira pukul 16.30 Wib, Opa Hans dan Oma Rita dimakamkan.
Keluarga Opa Hans yang pertama datang, kata Ezra Sudarsono, adalah keponakan almarhum beserta sang istri, kemudian disusul anak ketiga mereka.
Tak ada asisten rumah tangga apalagi perawat.
Opa Hans yang berusia 83 tahun masih bisa beraktivitas, meski terbatas sekali, ungkapnya.
Sedangkan Oma Rita hanya bisa berbaring atau duduk di kursi roda akibat stroke. Karenanya ibu tiga anak ini sangat bergantung pada sang suami.
Melihat kondisi itu, pihak gereja berinisiatif untuk melakukan kerja bakti membersihkan rumah tersebut.
"Walaupun tidak rapi-rapi banget, tapi paling tidak membereskan. Tapi untuk pekerjaan rutin, enggak," tuturnya.
Selain membantu bersih-bersih rumah, presbiter di sektor pelayanan 3 juga sempat rutin secara bergantian memberikan makanan kepada pasangan suami istri itu.
Kendati belakangan bantuan makanan itu mulai dikurangi lantaran ada informasi bahwa tetangga Opa Hans telah menyediakan makanan.
Namun, pihak gereja tetap mengingatkan orang tua itu jika ada keperluan apa pun agar menghubungi jemaat atau majelis.
"Jadi kalau mati kampu, atau kesulitan beli sesuatu, pasti kami ditelepon. Saat itu, Opa tidak menghubungi kami, jadi kami tidak tahu..."
Tapi terlepas dari itu, kata Ezra Sudarsono, gereja sebetulnya sangat khawatir dengan kondisi keduanya - yang tanpa ditemani kerabat lain di rumah mereka.
Itu mengapa beberapa tahun lalu, klaimnya, pihak gereja sempat menawarkan kepada Opa Hans dan Oma Rita agar tinggal di rumah lansia atau panti jompo dengan biaya gereja. Akan tetapi, menurut Ezra, Opa Hans dan Oma Rita menolak.
"Opa dan Oma enggak mau, karena beliau tidak mau keluar dari rumah yang mereka tempati sekarang... Mereka merasa itu rumah mereka, istana mereka."
Peristiwa ini pun, sambungnya, menjadi pukulan berat bagi GPIB Cipeucang. Ia sendiri sebagai pendeta, mengaku gagal lantaran tak mengetahui dengan cepat ada jemaatnya yang meninggal.
Karenanya ke depan gereja akan membenahi standar pelayanan mereka.
"Peristiwa ini pukulan bagi kami semua, dan saya sebagai pendeta merasa gagal... ada warga jemaat meninggal tanpa sepengetahuan kami..."
"Jadi ini duka kami bersama."
Ada yang menyatakan keprihatinan dan ungkapan terima kasih kepada warga dan jemaat gereja karena sudah mendampingi orang tua tersebut.
Tapi ada juga yang berkomentar menyalahkan anak-anaknya karena dianggap tak mempedulikan orang tua mereka sendiri serta dituduh tidak tahu cara membalas budi.
Warganet lain menilai kejadian ini semestinya bisa dihindari jika pasangan suami istri tersebut dititipkan ke panti jompo atau rumah lansia.
Akan tetapi, psikolog Evita Djaman mengatakan dalam kasus orang tua lansia yang meninggal sendirian seperti ini ada banyak "kerumitan" yang mesti ditelisik lebih dalam.
Mulai dari bagaimana hubungan kedua pasangan suami istri ini dengan anak-anak mereka, apakah terdapat hubungan emosional yang erat atau tidak, serta bagaimana pola asuh yang terjadi di antara mereka.
Karenanya, menurut dia, publik tidak bisa langsung menyalahkan si anak tanpa mengetahui persoalan di baliknya.
"Memang kenyataan meninggal sendirian. Tapi harus dilihat hubungan [orang tua] dengan anak-anaknya seperti apa? Jadi tidak bisa satu sudut pandang saja," jelas Evita Djaman kepada
BBC News Indonesia.
Tapi terlepas dari itu, dia menilai meninggalkan orang tua atau lansia sendirian di rumah tanpa ada yang menjaga atau mengawasi sebetulnya berbahaya.
Sebab mereka membutuhkan perlakuan khusus.
Bagi yang kondisinya baik-baik saja, mereka membutuhkan teman untuk bersosialisasi atau bercerita. Sementara yang kondisinya kurang sehat, memerlukan caregiver atau pengasuh.
Dalam beberapa kasus yang ia temui, ada anak yang ingin tetap bisa merawat orang tua mereka sebagai bentuk tanggung jawab.
Namun di beberapa kasus pula, menempatkan orang tua ke rumah lansia adalah solusi terbaik, kata Evita.
"Kenapa anak sampai memasukkan orang tuanya ke rumah lansia? Karena ada situasi misalnya rumah anaknya kecil, anak ada tiga ditambah istri dan suami. Ibunya taruh di mana?"
"Sedangkan lansia ada yang butuh kamar mandi khusus, kursi roda, tapi rumahnya sempit.. atau si anak disabilitas dan tidak bisa mengurus orang tuanya, atau keluarga anaknya tinggal di luar negeri sementara orang tuanya tidak mau ikut."
"Kalau si anak ingin orang tuanya dititipkan ke rumah lansia apakah kualat?"
Padahal rumah lansia yang dikelola pemerintah maupun milik swasta sangat bagus.
Sebab di sana tersedia fasilitas kesehatan dan obat-obatan; makanan; senam; ibadah; bahkan hiburan -yang dibutuhkan para lansia.
"Kadang kalau saya berkunjung ke aula rumah lansia, ada yang bermain angklung, gamelan, atau membuat kerajinan tangan."
"Jadi kita jangan menghakimi kalau rumah lansia artinya tempat buangan. Lihat dulu panti jompo itu kadang lebih nyaman dari rumah anak."
"Karena di sana [lansia] tidak disia-siakan, tapi diurus oleh orang-orang yang dedikatif, relawan yang baik hati."
Kendati demikian, klaimnya, mengajak orang tua untuk tinggal bersama anak-anaknya atau menempatkan mereka ke rumah lansia juga bukan perkara sederhana.
Sering kali dibutuhkan komunikasi yang tepat antara anak dengan orang tua untuk menjelaskan kebutuhan mereka.
Pasalnya para orang tua ini merasa lebih nyaman berada di rumah sendiri.
"Sebagai orang tua kadang perlu memikirkan bahwa sudah saatnya kita menjadi ladang pahala untuk anak, bagaimana caranya? Ketika diajak ke rumah dan disediakan keperluan mereka... itu kan sesuatu yang tidak selalu ada pada anak dan kita harusnya bersyukur."
"Jadi jangan terlalu egois, itu sama saja kita menghambat anak berbuat baik."
Ia bilang, kalau saja pengurus gereja atau RT menghubungi dinas sosial di wilayah setempat untuk melaporkan kondisi mereka mungkin kejadian ini bisa dihindari.
Sebab Kemensos sebetulnya memiliki gugus tugas reaksi cepat yang menjangkau laporan masyarakat.
"Kemensos terbuka pada pelibatan masyarakat, sampaikan pada kami dan kami akan tindaklanjuti," jelasnya kepada
BBC News Indonesia
.
"Kalau dilaporkan, kami akan turunkan tim asesmen untuk melihat bagaimana kebutuhan lansia tersebut, seperti apa kondisinya, dan kami akan berhitung kelayakan tempat tinggalnya."
"Apakah dia lansia yang termasuk
bedridden
dalam artian makan, tidur, dan memakai baju di tempat tidur atau tidak bisa kemana-mana... ataukah lansia yang masih produktif."
Jika dalam penilaian tim pekerja sosial kecamatan (PSK) atau tenaga kesehatan sosial kecamatan (TKSK) menyatakan lansia tersebut termasuk bedridden maka dinas sosial atau Kemensos akan merawatnya di sentra lansia milik pemerintah.
Namun jika penilaian tim menyebutkan lansia ini masih bisa beraktivitas, maka akan disiapkan program pendampingan yang datang ke rumah.
"Semacam pelayanan lansia di rumah ketika anggota keluarga sudah tidak mampu melayani, kami akan membantu pendampingan."
Benny mengaku program Kemensos ini memang kurang diketahui masyarakat. Tapi belajar dari kasus tersebut dia berharap publik jadi tahu dan mengerti bagaimana menangani peristiwa serupa di kemudian hari.
Caranya, kata dia, warga atau perwakilan RT cukup menghubungi dinas sosial di tingkat kecamatan atau kelurahan kemudian melaporan lansia di sekitar mereka yang dinilai membutuhkan bantuan.
Setelah itu tim dari dinas sosial akan mendatangi lokasi dan mengecek kondisi lansia tersebut apakah layak dibantu negara.
Kalau penilaian tim layak dibantu, maka akan diboyong ke sentra lansia tanpa membayar sepeserpun alias gratis.
"Jadi kami jemput bola dan itu gratis. Kemensos punya 32 panti dan semua sentra multi layanan."
Wartawan Rafik Meliala di Bogor, Jawa Barat, turut berkontribusi pada laporan ini.
Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (100%)