Sentimen
20 Jul 2024 : 13.35
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Institusi: Universitas Indonesia
Kab/Kota: Nabire
Tokoh Terkait
Fenomena Joki Pantarlih di Tengah Klaim KPU Sistem Coklit Minim Pelanggaran
Kompas.com Jenis Media: Nasional
20 Jul 2024 : 13.35
Fenomena Joki Pantarlih di Tengah Klaim KPU Sistem Coklit Minim Pelanggaran
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
- Temuan Badan Pengawas Pemilu (
Bawaslu
) tentang fenomena joki panitia pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) di Jakarta menjadi alarm untuk proses pemutakhiran daftar pemilih yang sedang ditempuh Komisi Pemilihan Umum (
KPU
) se-Indonesia hingga 24 Juli 2024.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data-Informasi Badan Pengawasn Pemilu (Bawaslu) RI Puadi mengungkapkan, berdasarkan pengawasan di Jakarta saja, ada sedikitnya 42 temuan
joki pantarlih
.
Rinciannya, 41 joki pantarlih ditemukan di Jakarta Selatan dan 1 ditemukan di Jakarta Utara.
"Banyak pantarlih mau potong kompas. Maunya langsung menemui (ketua) RT, jadi semuanya diselesaikan (ketua) RT. Padahal, seharusnya menemui RT hanya minta petunjuk saja, di mana rumah si A, B, C, si fulan (calon pemilih)," kata Puadi ketika dihubungi
Kompas.com
, Jumat (19/7/2024).
Adapun KPU DKI Jakarta sebelumnya telah membantah tudingan ini dan menyebutnya "salah paham belaka".
Pakar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menilai, walaupun temuan ini tak serta-merta menggambarkan secara umum kinerja pantarlih se-Indonesia, tetapi KPU tidak dapat mengabaikan gejala ini.
"KPU tentu saja harus menyikapi dengan responsif dan segera menyelesaikan indikasi atau temuan-temuan seperti ini," ucap dia kepada
Kompas.com
, Jumat, via sambungan telepon.
Mekanisme pemutakhiran daftar pemilih sudah diatur oleh KPU lewat Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2024 tentang Penyusunan Daftar Pemilih dalam Pilkada.
KPU merekrut dan melantik para pantarlih dengan surat keputusan (SK), untuk selanjutnya menugasi mereka menemui langsung pemilih yang namanya masuk di dalam dua daftar tersebut di kediamannya.
"Satu TPS boleh merekrut dua pantarlih jika (jumlah pemilih terdaftar di TPS itu) lebih dari 400 pemilih," kata Koordinator Divisi Data dan Informasi KPU RI, Betty Epsilon Idroos, saat dihubungi
Kompas.com
, Jumat sore.
Saat ini, pemuktahiran daftar pemilih memasuki proses coklit (pencocokan dan penelitian).
Dalam proses ini, KPU memvalidasi langsung Data Penduduk Potensial Pemilih/Pemilihan (DP4) dari Kementerian Dalam Negeri dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 ke lapangan.
Betty meyakini, KPU sudah merancang sistem coklit yang minim potensi pelanggaran dan dapat menjamin para pantarlih betul-betul turun ke lapangan menemui pemilih di kediamannya masing-masing.
Pantarlih dibekali buku kerja coklit yang harus diisi. Sepekan sekali, pantarlih pun akan dievaluasi Panitia Pemungutan Suara (PPS, tingkat kelurahan) terkait hasil kerja coklit berdasarkan laporan pada buku itu.
Evaluasi yang dilakukan seputar siapa saja warga yang berhasil dan ditemui hingga kendala di lapangan.
Hasil evaluasi berkala tersebut akan menjadi bahan penetapan daftar pemilih hasil pemutakhiran (DPHP).
"Ini menjadi mekanisme manual yang dilakukan untuk kroscek apakah pantarlih melakukan kerja coklit selama semingguan," kata Betty.
Ia juga menyinggung aplikasi e-Coklit yang dipasang di gawai setiap pantarlih. Menurut eks Ketua KPU DKI Jakarta tersebut, e-Coklit dilengkapi dengan fitur yang dapat memperlihatkan data titik koordinat
latitude-longitude
saat pantarlih bergerak dari rumah ke rumah.
Walau demikian, Betty tak menampik bisa saja pantarlih meminjamkan gawai itu ke joki yang menggantikan pekerjaannya.
"Yang pasti bekerja itu dengan azas kepercayaan. Ini kan petugas kita semua," ujar Betty.
"Kita punya (jajaran di) kabupaten/kota, PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), PPS, pantarlih, punya mekanisme monitoring. Kalau mereka menyalahgunakan pekerjaannya, kami punya mekanisme sendiri untuk ditegakkan," lanjut dia.
Titi Anggraini mengamini munculnya joki pantarlih merupakan ekses dari celah sistem pemutakhiran daftar pemilih.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu berpendapat, masih ada rekrutmen pantarlih yang mengandalkan kekerabatan.
Situasi ini membuka peluang munculnya kongsi dengan iming-iming bagi hasil dengan si joki, menggunakan bayaran resmi pantarlih.
Praktik serupa juga kerap ditemui di tengah denyut kehidupan perkotaan yang serba-sibuk, di mana pemilih sulit ditemui di kediamannya pada satu waktu.
Ada modus seperti pantarlih menitipkan pekerjaan kepada petugas keamanan setempat.
Warga diminta datang sendiri ke pos keamanan untuk menandatangani formulir bukti coklit dan menerima stiker coklit.
Di Papua, hasil penelitian Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 2014 juga mengungkit kemungkinan sistem noken melalui ketua adat juga dipakai untuk proses coklit dan bukan hanya digunakan sebagai metode pemungutan suara kolektif.
"Itu memang celah yang terbuka ketika masih ada keterlibatan manusia, maka integritas dan profesionalitas selalu jadi tantangan. Kita harus antisipasi dengan pengawasan serta proses terbuka dan akuntabel. Mestinya Bawaslu bisa menjadi faktor penyeimbang," jelas Titi.
Meski demikian, Titi menegaskan, pemutakhiran daftar pemilih di Indonesia masih jadi yang terbaik di dunia karena memadukan basis data nasional dengan verifikasi langsung di lapangan.
Di sisi lain, ia menyoroti bahwa belum ada penelitian yang betul-betul merinci tentang fenomena joki pantarlih ini, sehingga belum dapat dikonfirmasi apakah gejala joki yang muncul sporadis ini telah menjadi fenomena sistemik.
Sementara itu, Puadi mengingatkan bahwa proses coklit yang tidak akuntabel bakal berpengaruh terhadap kredibilitas daftar pemilih.
Pilkada Nabire pada 2020, misalnya, sampai harus diulang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena DPT yang ditetapkan KPU justru 6.355 orang lebih banyak ketimbang jumlah penduduk Kabupaten Nabire waktu itu.
Di sisi lain, Puadi menegaskan terdapat konsekuensi pidana yang menghantui di balik proses coklit yang tidak akuntabel.
"Kami bisa merekomendasi kepada jajaran KPU sesuai levelnya untuk dilakukan perbaikan. Jika saran perbaikan diabaikan oleh KPU, kalau merujuk UU 10/2016 (tentang Pilkada) pada pasal 177b, PPS dan PPK yang tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi daftar pemilih dengan benar dapat dipidana," ujar dia.
Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (99.9%)