PM Jepang Tiba-Tiba Menunduk Minta Maaf ke Warga, Kenapa?
CNBCindonesia.com Jenis Media: News
Jakarta, CNBC Indonesia - Perdana Menteri Jepang tiba-tiba meminta maaf, Rabu (17/5/2024). Ini terkait sterilisasi paksa yang dilakukan pemerintah kepada para korban undang-undang eugenika tahun 1948 dan 1996.
"Tanggung jawab pemerintah sebagai penegak hukum eugenika sangatlah berat," tegas Fumio Kishida di kantornya di Tokyo, sebagaimana dimuat AFP.
"Saya menyampaikan permintaan maaf yang tulus, mewakili pemerintah," ujarnya sambil membungkuk kepada sekelompok korban.
Ia pun berjanji untuk mengambil langkah-langkah baru untuk memastikan para korban menerima kompensasi baru, selain pembayaran tahun 2019 sebesar 3,2 juta yen (Rp 324 juta). Para korban merasa ganti rugi itu terlalu kecil.
Permintaan maaf ini menyusul keputusan pengadilan tinggi pada tanggal 3 Juli yang memutuskan bahwa undang-undang tersebut inkonstitusional. Diputuskan pula bahwa undang-undang pembatasan selama 20 tahun untuk mencegah beberapa korban menerima kompensasi tidak dapat diterapkan.
Sebelumnya, sebanyak 16.500 orang termasuk mereka yang memiliki disabilitas mental dan fisik disterilkan secara paksa berdasarkan undang-undang eugenetika. Ini bertujuan untuk "mencegah generasi keturunan berkualitas buruk".
Sebanyak 8.500 orang lainnya disterilkan atas persetujuan mereka, meskipun para pengacara mengatakan mereka kemungkinan besar "dipaksa secara de facto" karena tekanan yang dihadapi individu. Pemberitahuan pemerintah tahun 1953 mengatakan pengekangan fisik, anestesi, dan bahkan "penipuan" dapat digunakan untuk operasi tersebut.
UU ini kemudian menjadi sorotan tahun 2018. Kala itu seorang wanita berusia 60-an tahun menggugat pemerintah atas prosedur yang dia jalani pada usia 15 tahun, yang membuka pintu bagi tuntutan hukum serupa.
Menyusul keputusan pengadilan tinggi tersebut, sekelompok anggota parlemen non-partisan juga telah mulai mempelajari kemungkinan dikeluarkannya kompensasi baru. Undang-undangnya akan diberikan ke parlemen pada akhir tahun ini.
"Saya telah menghabiskan 66 tahun yang penuh penderitaan karena operasi pemerintah," kata seorang korban steril, Saburo Kita, yang menggunakan nama samaran, dikutip AFP lagi.
"Saya ingin hidup saya kembali setelah saya dirampok," ujarnya yang menjalani vasektomi ketika berumur 14 tahun di sebuah fasilitas penampungan anak-anak bermasalah.
"Hanya ketika pemerintah mau menerima perbuatannya dan mengambil tanggung jawab barulah saya bisa menerima hidup saya, meski hanya sedikit," kata Kita, yang kini berusia 81 tahun.
(sef/sef)
Sentimen: positif (72.7%)