Sentimen
Informasi Tambahan
Grup Musik: APRIL
Kab/Kota: Dubai
Kasus: korupsi
Tokoh Terkait
Ribuan Triliun Dana RI 'Lebih Happy' di Singapura, Yakin Family Office Berhasil?
Bisnis.com Jenis Media: Metropolitan
Bisnis.com, JAKARTA -- Lebih dari Rp3.500 triliun uang asal Indonesia mengalir ke Singapura selama periode Semester 1/2024. Lonjakan transaksi tertinggi terjadi pada bulan April hingga Mei 2024 dengan nominal lebih dari Rp2.000 triliun.
Tidak jelas asal-usul uang tersebut. Pasalnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) enggan menjelaskan secara perinci apakah duit yang ditransfer ke negeri Jiran itu berasal dari proses bisnis biasa atau bagian dari praktik tindak pidana pencucian uang maupun penghindaran pajak.
Namun demikian, dalam catatan Bisnis, Singapura merupakan negara yang telah lama memiliki reputasi sebagai tempat para konglomerat atau pelaku kejahatan keuangan asal Indonesia menyimpan asetnya. "Kami enggak bisa komentar untuk itu," ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana kepada Bisnis, Senin kemarin.
Dalam catatan PPATK, jumlah dana yang ditransfer dari Indonesia ke Singapura selama periode Januari hingga Juni 2024 mencapai Rp3.595,95 triliun. Jumlah itu lebih besar dibandingkan dengan Amerika Serikat dan China yang masing-masing sebanyak Rp781,8 triliun dan China sebesar Rp466,1 triliun.
Selain itu, jika dibandingkan dengan nilai transaksi pada semester 1/2023 yang hanya sebesar Rp1.249,5 triliun, jumlah uang yang ditransfer ke Singapura mengalami lonjakan sebesar 187,7%.
Perinciannya, total transaksi transfer dana ke Singapura selama semester 1/2024 antara lain, Rp221,15 triliun pada Januari, Rp194 triliun pada Februari, dan pada bulan Maret 2024 baik menjadi Rp195 triliun.
Selanjutnya, pada bulan April 2024 terjadi lonjakan transfer dana ke Singapura yang cukup signifikan menjadi Rp923,6 triliun. Lonjakan transfer dana ke Singapura (outgoing) berlanjut pada bulan Mei menjadi 1.792,5 triliun. Sementara pada bulan Juni 2024, terjadi penurunan transaksi ke angka Rp200,6 triliun.
Lonjakan dana yang ditransfer ke Singapura itu pada bulan April dan Mei bertepatan dengan musim pembagian dividen. Pada saat yang sama publik waktu itu sedang dipicu kecemasan menyusul munculnya sengketa hasil pemilihan presiden alias Pilpres 2024.
Dalam catatan Bisnis, Singapura sudah lama dikenal sebagai salah satu negara tujuan dana dari Indonesia. Namun demikian, transfer dana tersebut tidak melulu terkait pencucian uang. Apalagi Singapura merupakan salah satu negara asal investor terbesar di Indonesia.
Hal itu terkonfirmasi dari laporan transfer dana dari luar negeri yang masuk (incoming) ke Indonesia. Hanya saja angkanya tidak sebesar dana yang keluar Indonesia ke Singapura.
Data PPATK mengungkap bahwa selama semester 1/2024, jumlah transfer dana dari Singapura yang masuk ke Indonesia atau incoming mencapai Rp1.313,8 triliun. Peringkat kedua adalah Amerika Serikat sebanyak Rp783,9 triliun. Sedangkan peringkat ketiga justru Hong Kong yang mencapai Rp360,6 triliun.
Adapun data dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) dalam dua kuartal terakhir 2024 mengungkap nilai investasi dari Singapura selama semester 1/2024 mencapai US$4,24 miliar. Peringkat kedua adalah Hong Kong senilai US$1,89 miliar, China Rp1,87 miliar, dan Jepang US$976,5 juta.
Bisa Ditarik Family Office?
Sementara itu, pemerintah tampaknya serius merealisasikan family office atau kantor keluarga. Tidak ada definisi yang jelas. Namun istilah yang dimengerti secara umum family office adalah sebuah layanan untuk mengelola uang atau harta milik keluarga konglomerat.
Di Indonesia, gagasan tentang family office getol disuarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut bahkan mengklaim bahwa konsep ini akan berimplikasi positif terhadap ekonomi Indonesia.
Pasalnya family office akan meningkatkan peredaran modal yang ujung-ujungnya mengerek produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Rencananya Bali akan menjadi proyek utama family office. Nantinya, jika program ini benar-benar terealisasi, Luhut berangan-angan para keluarga konglomerat yang memiliki kantor keluarga di Bali akan memperoleh fasilitas pembebasan pajak.
"Mereka tidak dikenakan pajak, mereka harus investasi dan investasinya itu yang kita pajaki," klaim Luhut dalam penjelasan resminya yang dikutip, Senin (8/7/2024).
Kendati demikian, harapan Luhut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi saingan Indonesia, seperti Singapura dan Hong Kong, telah jauh lebih berpengalaman dalam pengembangan family office.
Singapura dan Hong Kong telah memiliki reputasi sebagai pusat keuangan global, jadi para investor atau keluarga konglomerat merasa aman menyimpan atau menginvestasikan uang mereka di negara tersebut. Dana atau investasi asing yang masuk ke Indonesia mayoritas juga berasal dari Singapura.
Saat ini ada sekitar 1.500 family office di Singapura dan sekitar 1.400 di Hong Kong. Kendati demikian, kebijakan-kebijakan ramah pajak tersebut, membuat Singapura maupun Hong Kong telah lama memiliki reputasi sebagai suaka pajak alias tax haven. Ada ratusan triliun harta milik warga negara Indonesia (WNI) yang disimpan di negeri Jiran tersebut, khususnya Singapura.
Para buronan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias BLBI sebagian juga tercatat memiliki aset atau tempat tinggal di Singapura. Bisnis juga mencatat beberapa perusahaan asal Indonesia memiliki anak usaha di Singapura (sebagian omsetnya lebih tinggi dibanding induknya di Indonesia), yang diduga dibentuk untuk melakukan penghindaran pajak.
Sementara itu Indonesia, kendati berangsur positif, tetapi reputasi pasar keuangan di Indonesia juga masih jauh panggang dari api dibandingkan dengan Singapura dan Hong Kong.
Belum lagi, ada persoalan yang cukup pelik jika family office itu benar-benar terealisasi. Bagaimana pemerintah bisa menjamin jika harta atau uang milik keluarga crazy rich murni dari proses bisnis. Alih-alih mendatangkan modal, uang atau harta yang ditempatkan atau dikelola family office di Indonesia itu berasal dari hasil kejahatan entah itu pengemplang pajak, korupsi, atau kejahatan keuangan lainnya.
Selain itu, Indonesia juga memiliki persoalan klasik tentang kepastian hukum. Penegakan hukum kerap menimbulkan ketidakpastian. Padahal, orang berinvestasi atau mau menempatkan uangnya butuh kepastian baik dari sisi regulasi dan kepastian hukum terkait aset-aset yang nantinya mereka akan simpan.
Pengalaman tax amnesty jilid 1, dimana hasilnya tidak terlalu berpengaruh terhadap struktur penerimaan pajak dan perekonomian secara umumnya, perlu menjadi warning bagi pemerintah. Jangan sampai family office mengulangi kesalahan tax amnesty jilid 1 yang yang direpatriasi masih sangat minim.
Adapun Luhut cukup pede, bahwa family office mampu menarik dana global dan mengambil celah dari ketidakpastian yang sedang dihadapi oleh Singapura dan Hong Kong. Di sisi lain, bekas Jenderal Komando Pasukan Khusus alias Kopassus itu juga menekankan perlunya kerja sama antar semua lembaga.
Luhut berujar untuk menghindari uang yang dibawa merupakan hasil dari tindak kejahatan misalnya pencucian uang, pemerintah akan melibatkan aparat penegak hukum di antaranya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan.
“Semua kami libatkan nanti kami pergi, saya ajak mereka untuk melihat. Kami semua kerja tim jadi bukan satu aspek saja. Kalau tadi ada di Dubai, Singapura kenapa tidak bisa (Indonesia) kita jangan jadi alien, jangan pikir terus takut,” ucapnya dilansir dari Antara.
Kadin Mendukung
Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai rencana pemerintah terkait pemberlakuan insentif pembebasan pajak bagi para orang kaya melalui kebijakan family office perlu dikaji lebih lanjut.
Ketua Kadin Arsjad Rasjid mengatakan, ide tersebut menjadi salah satu 'produk' negara yang dikeluarkan untuk membuat Indonesia kompetitif dengan negara lain, seperti halnya Singapura.
"Jangan ambil segala sesuatu karena berpikiran negatif. Pertama, bahwa ide ini dikeluarkan untuk dieksplorasi dulu," kata Arsjad di Menara Kadin, Senin (15/7/2024).
Menurut Arsjad, family office dapat menjadi produk unggulan yang juga bisa dibuat Indonesia. Namun, dia mendorong pengkajian lebih dalam terkait dampak dan positif, serta efektivitas di negara-negara yang lebih dulu menerapkan.
Lebih lanjut, dia menilai ide tersebut layak untuk dipertimbangkan agar dapat mendorong investasi masuk ke Indonesia sehingga dapat menambah lapangan pekerjaan.
"Jangan dulu dimatikan family office ini, biarkanlah nanti berkembang, kita lihat dulu, kita pelajari positifnya bagaimana, negatifnya bagaimana, nanti untuk Indonesia mana yang terbaik. Kalau nggak berkompetisi, produk-produk kita nggak dikeluarin, Indonesia kalah," tuturnya.
Sentimen: positif (98.5%)