Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: covid-19
Tokoh Terkait
Banjir Produk Impor, Industri Petrokimia Butuh Perlindungan
Beritasatu.com Jenis Media: Ekonomi
Jakarta, Beritasatu.com – Industri petrokimia nasional juga membutuhkan perlindungan dari serbuan bahan baku plastik impor seperti halnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) pasca berlakunya Permendag 8/2024. Ini penting demi menjaga keberlangsungan industri dalam negeri dan memberikan kepastian bagi perusahaan yang berencana ekspansi besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan industri ini tengah memikul beban berat karena banjirnya barang-barang impor di pasar petrokimia akibat revisi Permendag No.8/2024.
“Dibutuhkan kepastian berusaha terkait peraturan yang tidak dengan mudah berubah atau direvisi. Hal ini karena karakter industri petrokimia cukup spesifik, butuh bahan baku, teknologi dan SDM dengan skill yang sesuai. Karenanya, industri petrokimia perlu dijaga dan difasilitasi agar ekosistem ini benar-benar bisa terwujud,” ungkap Heri kepada Investor Daily, baru-baru ini.
Heri mengatakan, perubahan Permendag tersebut memberikan keleluasaan yang cukup bebas dalam masuknya barang-barang impor di industri petrokimia, baik dari hulu, menengah hingga hilir. Hal ini karena persyaratan masuknya barang impor berupa pertimbangan teknis dan rekomendasi dari kementerian terkait, dalam hal ini Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sudah ditiadakan.
“Padahal seharusnya, impor yang berhubungan dengan produk industri dan bahan baku perlu adanya pertimbangan teknis dan rekomendasi,” tegasnya.
Menurut Heri, revisi Permendag tersebut tidak hanya akan melemahkan industri petrokimia saja. Tapi juga akan menghambat masuknya potensi investasi yang bisa meningkatkan nilai tambah di mata rantai industri petrokimia. Sebab, jika dilihat dari pohon industri petrokimia, ada beberapa bagian dari pohon industri ini yang belum ada di Indonesia, dan perlu diadakan di Indonesia.
“Namun, dengan revisi Permendag 8/2024 malah memudahkan impor. Hal ini justru bertolak belakang dengan semangat menarik investasi tersebut,” jelas Heri.
Untuk itu, lanjut Heri, perlu ada harmonisasi lagi yang lebih baik dan Permendag 8/2024 juga harus mengacu pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 yang tertuang dalam PP No.14/2025. Jadi, tambah Heri, peraturan yang ada di bawahnya, seperti peraturan menteri yang bersinggungan dengan pembangunan industri nasional itu harus merujuk pada PP tersebut.
Hal ini mengingat, jika melihat isi dari Permendag No 8/2024, tidak ada penyebutan menimbang dari PP No.14/2025 tersebut. “Jadi permendag ini berpotensi melanggar atau mengangkangi PP tentang RIPIN. Ini tentu saja bisa menjadi tidak harmonis. Padahal di RIPIN tersebut sudah jelas bahwa ingin memperkuat struktur industri dan mendatangkan investasi yang banyak. Kalau misalnya tiba-tiba ada peraturan menteri yang justru kontra produktif dan akan sangat berbahaya bagi industri itu,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Pengembangan Bisnis Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas), Budi Susanto Sadiman, mengatakan kelonggaran impor bahan baku membuat utilisasi produksi di industri ini mengalami penurunan signifikan.
“Kondisi ekonomi yang tidak kunjung membaik pasca Covid-19, ditambah lagi adanya ketegangan geopolitik di Eropa hingga Timur Tengah menjadi pukulan besar bagi industri petrokimia di dalam negeri. Pukulan ini terus berlanjut hingga industri petrokimia dari hulu hingga hilir mengirimkan sinyal SOS. Di hulu, dengan adanya kelonggaran impor bahan baku. Sedangkan di hilir, dibanjiri produk impor saat melemahnya permintaan pasar,” ungkapnya. kepada Investor Daily, Selasa (2/7/2024).
Padahal, menurut Budi, hulu industri petrokimia sangat mampu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dalam negeri jika tidak ada impor.
Budi menambahkan, pemerintah bisa melakukan pembatasan impor bahan baku, bukan melarangnya. Misalnya, pemerintah hanya memperbolehkan bahan baku yang memang tidak ada atau diproduksi di dalam negeri. Kalaupun ada, impor baru bisa dilakukan apabila hulu telah mencapai utilisasi di atas 70-80%.
Sentimen: positif (88.9%)