Rencana Batas Defisit APBN 3% Dihapus, Faisal Basri: Siap-Siap Stabilitas Makro Goyang
Bisnis.com Jenis Media: Ekonomi
Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Senior Faisal Basri menilai rencana penghapusan batas maksimal defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 3% dari produk domestik bruto (PDB) oleh pemerintahan mendatang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi makro Indonesia.
Menurutnya, pelebaran defisit hingga di atas 3% dari PDB membutuhkan ongkos yang sangat mahal, jika pendapatan negara tidak mampu dikerek lebih tinggi untuk mengimbangi besarnya pengeluaran belanja pemerintah.
“Kalau dipaksakan ya siap-siap saja makro stability-nya goyang. Ongkosnya mahal,” katanya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Rabu (10/7/2024).
Menurutnya, kondisi ini justru akan memicu penarikan utang pemerintah yang lebih tinggi. Hal ini mengakibatkan tidak adanya disiplin fiskal bagi pemerintah dalam mengelola keuangan negara.
“Artinya arogan sekali generasi sekarang, ingin mewujudkan keinginan mereka sekarang, tapi yang membiayai melalui utang,” jelasnya.
Dia juga menyoroti target ambisius pemerintahan mendatang yang akan menaikkan tax ratio menjadi sebesar 23%. Menurutnya, hal ini sangat berat untuk dilakukan.
Pasalnya, tidak ada negara manapun yang berhasil meningkatkan tax ratio dua kali lipat dalam waktu yang sangat singkat. Untuk menaikkan tax ratio dalam jangka pendek, Faisal memperkirakan, pemerintah akan kembali menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).
“Mana ada sih di dunia [tax ratio] yang naik dua kali lipat lebih, enggak ada. Artinya yang akan dinaikkan apa? PPN biasanya yang dinaikkan, kan [rencana tahun 2025] akan jadi 12% dan efeknya ke rakyat,” tutur Faisal.
Pada kesempatan yang sama, Ekonom Institute for Development Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai bahwa defisit fiskal maksimal 3% dari PDB saat ini merupakan batas yang paling ideal bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Menurutnya, aturan mengenai defisit APBN dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara memang bisa diubah oleh pemerintah. Namun, menjaga defisit di bawah batas maksimal 3% saat ini memang perlu untuk dijaga dan dilanjutkan.
“UU itu bisa diubah oleh pemerintah. Tetapi untuk negara berkembang seperti kita, bukan negara maju, itu batas yang paling rasional dengan kemampuan ekonomi untuk membayar utang,” katanya.
Tauhid menjelaskan hal ini dikarenakan rasio pajak terhadap PDB di dalam negeri masih sangat rendah, di bawah 11%.
Dengan defisit APBN yang diperlebar, maka pemerintah ke depan dikhawatirkan akan membayar pokok dan bunga utang dengan menambah pokok dan bunga utang lagi.
Kemudian, pelebaran defisit fiskal yang tidak diiringi dengan peningkatan tax ratio akan menyebabkan terjadinya lonjakan penarikan utang pemerintah.
“Boleh [defisit] nambah di atas 3%, tapi tax ratio bisa nambah tidak? Jangan sampai tax ratio-nya tetap, defisit ditambah, ya jebol lah [rasio utang]. Mungkin 1-2 tahun [rasio utang] sudah di atas 40% PDB, 60% dalam 5 tahun bisa lewat karena tax ratio enggak ada upaya [ditingkatkan],” jelasnya.
Sentimen: positif (99.9%)