Kisah Munir yang Terpaksa Jual Rumah dan Tinggal di Gubuk Kecil Demi Biaya Berobat Anak
Beritasatu.com Jenis Media: Regional
Polewali Mandar, Beritasatu.com - Di sebuah gubuk sederhana di Desa Banato Rejo, Kecamatan Tapango, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Munir (41) bersama istrinya, Lilis (27), dan tiga anak mereka, Nur Azizah (10), Muh Iksan (7), dan Sri Wulandari (4), menjalani hidup dengan penuh keterbatasan.
Munir dan keluarganya tinggal di gubuk berukuran 3x4 meter yang berdiri di atas lahan milik orang lain. Dindingnya hanya terbuat dari terpal, atapnya dari daun rumbia, dan lantainya beralaskan batu bata yang dilapisi tikar. Tidak ada barang berharga di dalam gubuk itu, hanya ada karpet usang sebagai alas tidur.
Dua tahun sudah Munir dan keluarganya tinggal di gubuk kecil ini. Gubuk tersebut dipetak menjadi dua bagian. Satu sebagai tempat tidur bagi keempat anggota keluarga, dan satu lagi sebagai dapur dan ruang santai. Kondisi ini mereka jalani setelah Munir menjual rumah mereka demi biaya pengobatan Azizah dan Wulandari, dua anaknya yang menderita penyakit tulang rapuh sejak lahir.
Meskipun Munir dan Lilis telah berupaya keras untuk mendapatkan pengobatan bagi kedua anak mereka, dana yang ada tidak pernah cukup. Bahkan setelah rumah mereka di Kuajang Lemo dijual, hasilnya masih tidak mencukupi. Munir mengaku tidak bisa berbuat banyak karena pendapatan sebagai buruh pembuat batu bata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi biaya pengobatan.
"Kami sudah upayakan, tetapi dananya belum cukup, jadi kami setop (pengobatan). Bahkan kami sudah jual rumah yang ada di Kuajang Lemo untuk pengobatan, tetapi tidak mencukupi juga, jadi sekarang sudah mundur, pasrah saja," ujar Munir dengan nada sedih, Sabtu (6/7/2024).
Uang hasil penjualan rumah sudah habis untuk pengobatan anak-anaknya, dan sebagian kecil disisihkan untuk membeli sepetak lahan yang hingga kini belum lunas. Agar dekat dengan tempat kerjanya, Munir membangun gubuk di lahan orang lain yang kini menjadi tempat tinggal mereka.
"Sekarang saya hanya bekerja jadi tukang batu untuk kebutuhan sehari-hari. Saya pindah ke sini agar dekat dengan tempat pekerjaan. Karena kalau jauh, saya jadi tidak bisa kerja," tuturnya.
Munir sengaja belum memindahkan status kependudukannya dari Desa Kuajang ke Desa Banato Rejo karena khawatir kehilangan bantuan sosial. Ia menjelaskan, meskipun ada bantuan dari pemerintah seperti beras 10 kilogram dan bantuan pangan nontunai, pengajuan bantuan untuk pengobatan anak-anaknya kurang ditanggapi.
"Saya pernah bertanya apakah ada bantuan untuk anak cacat seperti ini. Kata mereka ada, tetapi tidak ada juga sampai sekarang," kata Munir dengan harapan yang nyaris pupus.
Sentimen: negatif (80%)