Sentimen
Negatif (100%)
4 Jul 2024 : 09.48
Informasi Tambahan

Institusi: Universitas Jember

Kab/Kota: Jember

Kasus: korupsi, nepotisme

5 Manusia Indonesia dan Hasyim Asy'ari yang Bersyukur Dipecat DKPP Nasional

4 Jul 2024 : 09.48 Views 12

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Regional

Manusia Indonesia dan Hasyim Asyari yang Bersyukur Dipecat DKPP Antropolog, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember DUA puluh tahun lalu, tepatnya 2 Juli 2004, Mochtar Lubis wafat. Pria kelahiran 7 Maret 1922 yang dikenal sebagai jurnalis dan sastrawan itu meninggalkan banyak karya dan pemikiran. Satu di antaranya, yang kini berdengung kencang, adalah kritiknya yang sangat tajam terhadap mental-kultural manusia (bangsa) Indonesia. Saya sebut “kini berdengung kencang” setelah memerhatikan fenomena akhir-akhir ini terkait tindakan sejumlah petinggi negeri ini. Terbaru, pemecatan Hasyim Asy'ari dari jabatan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Hasyim Asy'ari dinilai melanggar etika terkait tindakan asusila terhadap seorang perempuan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda. Sebelumnya, sudah dua petinggi negeri ini diberhentikan lantaran pelanggaran etik. Dalam waktu hampir bersamaan menimpa Anwar Usman yang diberhentikan dari jabatan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan Firli Bahuri yang diberhentikan dari jabatan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah petinggi lain juga diberhentikan karena kasus korupsi. Banyak hal-hal aneh bin ajaib terungkap di persidangan kasus korupsi para petinggi negeri tersebut yang membuat kritik Mochtar Lubis itu kini berdengung kencang kembali. Kekuasaan dimain-mainkan untuk kesenangan dan kemegahannya sendiri seolah-olah sah dan halal. Pelanggaran etik Hasyim Asy'ari bukan yang pertama dilakukan sejak menjabat sebagai ketua KPU pada 2022. Sebelumnya, ia sudah beberapa kali dilaporkan, disidang dan dijatuhi sanksi oleh DKPP. Saya sungguh terpana, tak habis pikir. Bukan mengagumi keberanian DKPP akhirnya memecat Hasyim Asy'ari, melainkan merenungi sikap personal Hasyim Asy'ari, yang – menurut saya – terkesan “enggan bertanggung jawab atas perbuatannya”. Ia justru bersyukur dipecat DKPP, karena terbebas dari tugas-tugas berat sebagai anggota KPU. Bukan menyesal dan meminta maaf, karena telah mengecewakan rakyat Indonesia pada umumnya dan membuat wajah Indonesia semakin bopeng. Bukankah tugas-tugas berat KPU sudah diketahuinya sejak awal? Bukahkah ia juga sudah sering diberi sanksi etik oleh DKPP? Mengapa menunggu dipecat, bukan memilih mengundurkan diri sejak awal ketika merasa tidak mampu menjalankan tugas-tugas yang disebut berat itu, sekaligus kewajiban etiknya? “Dan saya ucapkan terima kasih kepada DKPP yang telah membebaskan saya dari tugas-tugas berat sebagai anggota KPU yang menyelenggarakan pemilu,” kata Hasyim ( Kompas.com , 03/07/2024). Sementara itu, menurut DKPP, tindakan asusila yang dilakukan Hasyim Asy'ari berkaitan dengan perubahan tata kerja KPU. Dijelaskan anggota DKPP, J Kristiadi, Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2022 tentang Tata Kerja KPU mengubah ketentuan Pasal 90 ayat (4) Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2021. Pasal 90 ayat (4) sebelumnya melarang pernikahan, pernikahan siri dan tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dengan sesama penyelenggara pemilu selama masa jabatan. Namun, setelah diubah, larangan hanya berada dalam ikatan perkawinan dengan penyelenggara pemilu saja. Dengan adanya aturan baru tersebut, menurut J Kristiadi, sejak awal bertemu korban, Hasyim langsung berupaya mendekati, dan memberi perlakuan khusus melalui percakapan. Hasyim juga terbukti sudah sejak awal mengincar korban untuk memenuhi hasrat seksualnya. “Bahwa teradu tidak menjaga integritas selaku ketua Komisi Pemilihan Umum,” ucap anggota DKPP, J Kristiadi, dalam sidang putusan pelanggaran etik Hasyim Asy'ari ( Kompas.com , 03/07/2024) Pada 1977, Mochtar Lubis berpidato di Taman Ismail Marzuki. Pidato itu dibukukan oleh Yayasan Obor Indonesia dengan judul "Manusia Indonesia (2001)". Mochtar Lubis mengkritik mental-kultural manusia Indonesia. Sastrawan yang juga jurnalis itu menjelaskan enam sifat manusia Indonesia yang umumnya negatif. Keenam sifat tersebut adalah: hipokrit atau munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, bersifat dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik, dan bermental (karakter) lemah. Ketika pada 1982, Mochtar Lubis diminta merefleksikan kembali ”manusia Indonesia”, menurut catatan ST Sularto ( Kompas , 21 Juli 2008), dengan tegas Mochtar Lubis mengatakan tidak ada perubahan. Bahkan, menurut Mochtar Lubis, makin parah. Jauh sebelum kritik Mochtar Lubis, pada 1956, Bung Karno dengan bahasa berbeda juga sudah mengingatkan. Melalui pidato pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1956, Bung Karno menegaskan bahwa kolonialisme Hindia-Belanda telah membentuk mentalitas pecundang, rendah diri, penuh perasaan tak berdaya, tak percaya diri. Karena itu, Bung Karno menyerukan revolusi mental. Tanpa kekayaan mental, pembangunan ekonomi tak akan mendatangkan kesejahteraan bersama. Kala itu, dekade 1950-an, korupsi, kolusi dan nepotisme belum menggejala. Bangsa Indonesia kala itu dihadapkan perbedaan kepentingan dan pertikaian antarkelompok politik secara tajam. Pemilu 1955 memang berhasil membentuk Konstituante, badan atau dewan yang bertugas membentuk konstitusi baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Konstituante mulai bersidang pada November 1956. Namun, hingga 1958, Konstituante tidak berhasil menjalankan tugasnya. Perdebatan tak kunjung menemukan kesepakatan. Bung Karno lalu mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, yang memberlakukan kembali UUD 1945. Investasi mental disebut Bung Karno sebagai bagian dari investasi dalam arti seluas-luasnya. Investasi mental harus beriringan dengan investasi keahlian/kecakapan ( investment of human skill ) dan investasi ekonomi ( material investment ). Mengapa investasi mental? Menurut Bung Karno, tanpa kekayaan mental, pembangunan ekonomi tak akan membuahkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama rakyat Indonesia. Lalu, isu mentalitas itu juga diusung Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Kompetitornya saat itu adalah Prabowo Subianto berpasangan dengan Hatta Rajasa. Banyak kalangan menaruh hormat terhadap retorika dan tampilan Jokowi saat itu. Seorang warga negara biasa, bukan turunan pembesar, tapi berhasil memperoleh kepercayaan politik tertinggi sebagai presiden. Menurut Jokowi, revolusi mental harus dimulai dari mengenal karakter orisinal. Di mata Jokowi, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan suka bergotong royong. Karakter tersebut diyakini Jokowi sebagai modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera. Namun, ternyata telah berubah sedemikian rupa. Menurut Jokowi, perubahan karakter bangsa itu berakar pada masalah korupsi, kolusi, nepotisme. Lalu, etos kerja tidak baik, birokrasi bobrok, hingga ketidaksiplinan. Kondisi semacam itu dibiarkan selama bertahun-tahun, sehingga menjadi semacam “budaya” bangsa ( Kompas.com , 17/10/2014). Melihat fenomena akhir-akhir ini dari tindakan sejumlah petinggi negeri, saya berkesimpulan negeri ini miskin keteladanan. Sikap hipokrit, keengganan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, sikap feodalistik, masih sangat menonjol mewarnai kepemimpinan Indonesia. Boleh jadi arwah Mochtar Lubis akan menangis melihat bangsa yang pernah dikritiknya secara tajam pada 1977, tak juga berubah lebih baik. Presiden telah berganti-ganti, tapi penyakit mentalitas tersebut (kemiskinan mental) ternyata tak kunjung sembuh. Hanya satu cara revolusioner, menurut saya, keteladanan pemimpin. Manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis tak akan berubah tanpa keberanian pemimpin memberikan teladan . Copyright 2008 - 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: negatif (100%)