Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Yogyakarta
Kasus: covid-19
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Ganzerlana, Merajut Asa Dengan Denting Dawai Sasando
Detik.com Jenis Media: Metropolitan
Dua belas tahun sudah perjalanan Ganzerlana bermusik dengan sasando. Membidik pasar musik etnik Indonesia, musisi asal Nusa Tenggara Timur ini dikenal ciamik memadukan musik etnik dengan genre musik populer seperti electronic dance music (EDM). Walau kedua genre tersebut dinilai kontras, dari tangannya tercipta karya aransemen musik yang harmoni.
Selain aktif sebagai penampil dan produser musik dengan nama Ganzerlana, ia juga menggawangi dua grup musik etnik SAS (Sasando and Sape), serta Nusa Tuak. Ganzerlana juga mendirikan Ganz Entertainment yang kelak menjadi wadah berkarya dan berkolaborasi musisi-musisi etnik Indonesia.
Namun untuk sampai di titik ini, Ganzerlana menempuh perjalanan panjang. Sebelum namanya ajeg di belantara musik etnik Indonesia, ia pernah mengalami sejumlah pengalaman kurang menyenangkan. Saat mengisi acara, ia kerap dianggap remeh, dinego habis-habisan, hingga tidak dibayar sepeser pun.
"Mereka berkata 'Ya elah, Kamu kan cuman main kayak gini!', di situ kita udah kaya babu. Jadi aku bilang (ke teman aku), Ayolah kita coba dengan musik-musik yang baru, dengan industri musik yang sudah ada ini kita coba masuk dengan nuansa-nuansa etnik lah" ujar Ganzerlana di program Sosok detikcom.
Bersama dengan kawan-kawan sesama musisi etnik, Ganzerlana pun mengikuti ajang pencarian bakat di sebuah stasiun televisi. Perlahan-lahan, pintu ke industri musik pun terbuka. Tawaran tampil baik di dalam negeri maupun di luar negeri mulai berdatangan. Selangkah lagi, mimpinya akan segera terwujud.
Namun, lagi-lagi hambatan menghadang di saat wabah COVID-19 menyerang. Semua rencana Ganzerlana bubar. Kawan-kawannya pulang ke daerah masing-masing, dan tinggal Ganzerlana seorang diri di ibu kota. Kantongnya pun menipis, kemampuan memetik dawai sasando saja ternyata tak cukup untuk menopang hidup.
"Waktu aku dari Jogja aku pikir aku udah punya cukup punya ilmu untuk bekal aku untuk ke Jakarta. Nah ternyata memang masih banyak yang harus aku pelajari," tutur alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Beruntung, ia mendapat ajakan kerja dari musisi elektronik dan produser musik Eka Gustiwana. Bersama Eka, Ganzerlana memulai kembali dari nol. Tidak putus asa, ia menata kembali mimpinya untuk hadir di industri musik tanah air, sembari melestarikan sasando.
"Nah, di situ aku tinggal sama dia (Eka Gustiwana). Jadi, aku ngurusin kantor dia, bersih-bersih, lap kaca semua. Aku pengen belajar dari dia, dan dia ngajarin aku produksi musik. Aku pelajari tentang sound design, kan selama ini aku cuma belajar tentang komposisi. Nah ketemu Bang Eka aku baru tahu tuh, oh, sound design kayak gini nih. (Dia) udah kayak abang sendiri," jelas Ganzerlana.
Terbiasa mengulik musik elektronik sembari tetap mengasah permainan sasando, muncul ide baru di benak Ganzerlana. Ia ingin memadukan musik etnik dengan musik elektronik. Berbekal arahan Eka Gustiwana, ia pun fokus pada genre EDM etnik.
Ganzerlana juga punya alasan lain mengapa ia ingin memadukan kedua genre tersebut. Tujuan utamanya adalah mengenalkan musik etnik, terutama sasando, ke khalayak luas. Dengan menggabungkan genre yang sedang tren kala itu, yaitu EDM, inilah upaya Ganzerlana untuk 'menyuntikkan' nuansa etnik pada dimensi musik Indonesia.
"Kalau untuk perform, kayak lebih asyik aja gitu, hehehe. Auranya lebih 'keluar'," ucap Ganzerlana.
Saat ini, Ganzerlana sedang dalam proses melahirkan tiga karya album baru. Ingin mengulik genre di luar EDM, ia akan mengusung genre City Pop dan RnB pada ketiga album barunya.
Tak hanya itu, untuk semakin melestarikan sasando, Ganzerlana berencana merilis produk sasandonya sendiri. Kemudian, ia akan mengajukan sasando untuk masuk dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
"Tahun depan ini, saya bakalan merilis produk baru saya (berupa) sasando. Standar tata nada Barat itu ada 12 nada, sedangkan sasando itu hanya memiliki 8 nada. Jadi saya lagi kembangkan kayak sasando itu jadi 12 nada. Jadi, genre apapun musik apapun dia bisa masuk. Tapi saya lagi persiapan untuk alat itu karena mau rencananya bakalan saya tawarkan ke Kemendikbud untuk jadi kurikulum di indonesia," terang Ganzerlana.
Tidak ingin sukses sendirian, Ganzerlana kerap mengajak para musisi etnik untuk berkolaborasi. Ia berharap, kawan-kawannya sesama musisi etnik bisa mendapat kesempatan yang sama, bahkan lebih banyak darinya. Sebab, ia percaya musik etnik layak dilestarikan.
"Sudah seharusnya. Sebagai putra daerah, saya memang dilahirkan untuk mengembangkan alat ini," pungkasnya.
(ppy/ppy)Sentimen: positif (99%)