Sentimen
Informasi Tambahan
Hewan: Ayam
Kab/Kota: Sambas
Tokoh Terkait
Bright Institute: Krisis Pangan Mengancam Indonesia
Jurnas.com Jenis Media: News
Aliyudin Sofyan | Selasa, 08/10/2024 23:14 WIB
Ilustrasi varietas padi Inpari yang ditanam di Sambas, Kalimantan Barat siap panen. (Foto: Ist)
JAKARTA – Lembaga riset Bright Institute merilis hasil studi terbaru yang mengungkap kondisi pangan dunia ke depan akan semakin penuh dengan ketidakpastian, bahkan ada gejala akan mengalami krisis bagi Indonesia.
Dalam diskusi webinar yang dilaksanakan pada Selasa (8/10/2024) sore, Bright Institute menilai pemicu krisis pangan ini memang bukan semata persoalan produksi, melainkan juga terhadap kondisi politik regional yang makin panas di beberapa kawasan.
Awalil Rizky, Ekonom Senior Bright Institute, menjelaskan, "Suplai beras dunia sedang terganggu saat ini, sementara permintaan tidak berkurang. Harga beras pun makin melambung. Kekhawatiran akan krisis pangan yang meluas pada tahun-tahun mendatang, membuat beberapa negara mengamankan persediaannya, termasuk membatasi ekspornya."
Awalil menjelaskan selama beberapa tahun terakhir, terjadi perubahan menuju tren proteksionisme di berbagai negara yang menyadari bahwa pangan merupakan salah satu komoditas strategis selain energi dan senjata, sehingga banyak negara produsen pangan dan pupuk lebih cenderung untuk beralih dari orientasi perdagangan menjadi orientasi ketahanan dalam negeri ketika ada guncangan geopolitik.
Konsekuensinya bagi Indonesia yang jumlah penduduknya mencapai 285 juta dan semakin bertambah di atas pertumbuhan produksi pangan dalam negeri, maka kerawanan pangan akan menjadi persoalan yang jauh lebih serius.
"RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015—2019 dan 2020—2024 yang dibuat oleh pemerintahan Presiden Jokowi sendiri sebenarnya sudah menarasikan perhatian pada persoalan ini, namun realisasinya sangat jauh dari yang diharapkan,” papar Awalil.
Ia mencontohkan anjloknya skor Global Food Security Index (GFSI) atau Indeks Ketahanan Pangan Global yang menjadi indikator keberhasilan RPJMN.
Dalam indeks ini, pada era Presiden Jokowi periode pertama nilainya sempat meningkat menyentuh angka 63,60 di tahun 2018. Sehingga RPJMN 2020—2024 pun menargetkan skor 95,20 pada tahun 2024.
Namun ternyata, skor GFSI cenderung berbalik arah sejak tahun 2019, dan alih-alih mendekati 95,20, nilainya terakhir di 2022 lebih rendah dengan skor 60,2. “Target RPJMN 2024 sudah tak mungkin bisa tercapai,” cetusnya.
Keadaan ini diperparah dengan porsi tanaman pangan dalam sektor pertanian cenderung semakin menurun selama era Jokowi. Di tahun 2014, porsi tanaman pangan yang terdiri dari antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau mencapai 24,35 persen dari seluruh sektor pertanian. Namun di 2023, porsinya jatuh ke 18,02%.
Muhammad Andri Perdana, Direktur Riset Bright Institute, mengatakan bahwa turunnya porsi tanaman pangan dalam sektor pertanian ini karena besarnya fokus yang diberikan untuk perkebunan yang ditujukan untuk orientasi ekspor terutama kelapa sawit.
Dalam rinciannya, ia menambahkan, "Produksi padi, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar cenderung menurun pada era Jokowi. Jagung, susu, daging ternak besar produksinya juga cenderung stagnan di level yang sama di sepuluh tahun yang lalu.”
“Program food estate belum bisa memperbaiki keadaan tersebut. Hanya daging ayam dan telur yang meningkat, yang jika diteliti lebih jauh bisa menunjukkan keterbatasan pertumbuhan daya beli masyarakat karena daging ayam dan telur sering kali dianggap sebagai inferior goods dibanding jenis daging lain,” ujarnya.
Dalam kondisi demikian, Bright Institute berkesimpulan bahwa kondisi ketahanan pangan Indonesia tidak bisa dikatakan baik atau kuat, dan bahkan sangat rawan jika terjadi krisis pangan dunia.
“Padahal, penduduk Indonesia sangat banyak. Kelemahan utama kerawanan ini adalah kurangnya produksi, yang sebagian besarnya cenderung menurun. Pada saat bersamaan konsumsi terus meningkat, dan akhirnya menjadi dalih untuk mengandalkan impor,” kata Andri.
“Kebijakan selama sepuluh tahun terakhir tidak menunjukkan perhatian yang mencukupi atas keberlanjutan dari persoalan pangan ini yang mana kondisinya cenderung memburuk. Kerawanan pangan menjadi tantangan serius pada saat ini dan skalanya akan lebih besar di tahun-tahun mendatang,” tutup Andri.
KEYWORD :Krisis pangan Bright Isntitute
Sentimen: negatif (99.7%)