Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Kristen
Grup Musik: APRIL
Hewan: Ayam
Institusi: Universitas Cambridge
Kab/Kota: Mataram, Wamena
Kasus: HAM, pembunuhan
Kau Harus Jadi Saksi Hidup Kami
Kompas.com Jenis Media: Nasional
KOMPAS.com - Berbagai pihak mengupayakan pembebasan eks pilot Susi Air asal Selandia Baru, Philip Mehrtens, yang disandera milisi pro-kemerdekaan Papua selama 1,5 tahun hingga akhirnya dibebaskan pada Sabtu (21/09) silam.
Terjadi pertemuan di Port Moresby, Papua Nugini, hingga Singapura, yang melibatkan sejumlah delegasi dan juga mediator. Namun pihak yang memiliki kedekatan keluarga dengan Egianus Kogoya yang akhirnya melapangkan jalan Philip keluar Papua.
Siapa saja yang terlibat dalam negosiasi? Apa saja kesepakatan yang mereka ambil?
BBC News Indonesia berbincang dengan para pihak yang turut dalam pembebasan Philip Mehrtens.
Baca juga: Kata Kapolri soal Klaim KKB Terkait Pembebasan Pilot Susi Air
Seremoni bakar batuSeremoni bakar batu berlangsung, Sabtu (21/09), di Kampung Yuguru, Distrik Maibarok, Kabupaten Nduga.
Seluruh penghuni Yuguru hadir, termasuk mereka yang mengungsi ke kampung itu akibat konflik bersenjata antara militer Indonesia dan kelompok milisi pro-kemerdekaan Papua.
Namun, prosesi kultural warga pegunungan di Papua yang disebut antropolog sebagai penyambung solidaritas dan persekutuan itu digelar tidak seperti biasanya.
Hari itu warga Yuguru berkumpul dan secara bersama-sama memasak daging, umbi-umbian, serta sayur-mayur untuk seseorang yang mungkin tidak akan pernah lagi datang ke kampung mereka: Philip Mehrtens.
Pilot asal Selandia Baru itu yang telah 593 hari menjadi sandera kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)—sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Baca juga: Mantan Pj Bupati Nduga yang Jadi Negosiator Pembebasan Pilot Susi Air Temui Kasum TNI
KOMPAS.com/RACHMAWATI Yordan bersama wawrga Yuguru menjalankan prosesi bakar batu, dalam rangka pembukaan Sekolah Rakyat Nuwi Nindi.Bakar batu akhir pekan lalu menandai hari terakhirnya di Yuguru.“Kami tangkap pilot Mehrtens bukan karena apa, tapi agar kami menjadi keluarga,” kata Sabilik Karunggu usai makan bersama usai.
Sabilik adalah pria paruh baya yang memanggul status Ketua Klasis Gereja Kristen Injili di kampung itu. Dia adalah pengurus gereja.
Selama beberapa bulan terakhir, Philip makan dan tidur—hidup bersama—keluarga Sabilik di pusat Yuguru.
“Kami tangkap pilot ini bukan karena masalah lain, tapi karena kami mau merdeka,” ujar Sabilik dalam bahasa Nduga.
Saat menuturkan itu, Philip berada di hadapan Sabilik—duduk di atas bangku, bersebelahan dengan Edison Gwijangge, mantan penjabat Bupati Nduga.
Di belakang keduanya, warga Yuguru—termasuk anak-anak dan perempuan—duduk di atas tanah dengan rumput yang mengering.
Baca juga: Kapolri Mengaku Berwenang Tindak KKB Saat Pilot Susi Air Disandera, tapi Tak Digunakan
“Atas dasar itu, pilot Marthen ini kami jaga baik. Tidak ada luka. Tidak ada gangguan psikologis,” kata Sabilik.
“Dia adalah manusia. Sebagai teman, dia harus menjadi saksi hidup kami di Selandia Baru,” ujar Sabilik.
Sekitar tujuh menit setelah Sabilik memulai pidatonya, seluruh prosesi bakar batu dan perpisahan itu usai.
Warga lantas berdiri dan mengelilingi Philip. Satu per satu, mereka menjabat tangan kanan Philip dengan erat.
Di tangan kirinya, Philip mendekap dua ekor ayam yang diberikan warga. "Simbol kasih sayang mendalam” dalam budaya Nduga, kata seorang pemuda kelahiran Yuguru, Yordan Karunggu.
Philip meneruskan langkahnya ke arah tanah lapang yang membukit. Di sana mesin helikopter Dimonim Air yang datang untuk menjemput Philip telah dipanaskan.
Warga Yuguru, termasuk para kombatanTPNPB-OPM, melambaikan tangan mereka. Philip kemudian lepas landas, meninggalkan orang-orang yang menitipkan harapan kepadanya.
Baca juga: Kapolri Mengaku Berwenang Tindak KKB Saat Pilot Susi Air Disandera, tapi Tak Digunakan
Yuguru dan segala keterbatasannya Istimewa via BBC Indonesia Sabilik Karunggu, Ketua Klasis GKI di Yuguru, dipotret bersama anak-anak yang mengikuti pendidikan swadaya di Sekolah Rakyat Nuwi Nindi.Sejak Mei 2024, Yordan Karunggu secara berkala menempuh rute panjang untuk datang dan pergi menuju Yuguru, kampung kelahirannya.Berangkat dari Wamena di Kabupaten Jayawijaya, Yordan harus lebih dulu singgah ke sebuah kampung di Distrik Kuyawage, Lanny Jaya. Dari situ, dia melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Yuguru.
Yordan kerap menghabiskan tiga malam sebelum tiba ke Yuguru. Waktu tempuh ini bisa berkali lipat jika dijalani mereka yang tak biasa melintasi hutan hujan tropis di pegunungan Papua.
Kurang dari setahun sebelumnya, Yordan menamatkan pendidikan tinggi di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Dia menjadi satu dari sedikit anak Yuguru yang bisa mendapat pencapaian itu.
Baca juga: Upacara Bakar Batu di Kampung Yuguru, Nduga, Papua Pegunungan untuk Membebaskan Pilot Susi Air
Tak sekedar untuk melepas rindu, Yordan pulang ke Yuguru dengan tujuan lain. Bersama orang-orang muda Yuguru lainnya, Yordan menginisiasi apa yang mereka sebut sebagai sekolah rakyat.
Mereka mengumpulkan donasi buku dari sejumlah kelompok literasi yang berbasis di daerah lain di Papua. Proses belajar mengajar mereka lakukan di sebuah pondok kecil terbuat dari kayu.
Sabilik Karunggu, sebagai pengurus gereja dan orang tua yang dihormati di Yuguru, mendukung gerakan belajar bernama Sekolah Rakyat Nuwi Nindi ini.
Ruang belajar itu dibentuk bukan semata sebagai solusi tidak beroperasinya sekolah-sekolah di hampir seluruh Nduga sejak 2018.
Yordan berkata, mereka membuka ruang belajar untuk mewujudkan pemikiran filsuf Paulo Freire, bahwa “setiap orang harus mendidik diri agar bisa terbebas dari ketidakadilan”.
“Hampir semua anak di Yuguru tidak sekolah, terutama sejak 2017,” kata Yordan.
“Mereka tidak bisa baca-tulis. Padahal ada yang sudah berumur 14, bahkan 19 tahun,” ujarnya.
Baca juga: Dugaan Keberadaan Philip dari Foto Terbarunya bersama Egianus, Satgas Cartenz: Daerah Yuguru
Istimewa via BBC Indonesia Hampir seluruh sekolah di Nduga tak beroperasi, termsauk di Yuguru. Anak-anak tak memiliki akses untuk mengeyam pendidikan.Nduga adalah kabupaten dengan indeks pembangunan manusia paling rendah di Indonesia. Indeks ini mengukur seberapa jauh warga dapat mengakses hasil pembangunan, terutama dalam konteks pendidikan, kesehatan, dan pendapatan.Sejak integrasi Nugini Belanda ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang kontroversial pada 1969, konflik bersenjata serta eksesnya telah berkecamuk di Nduga.
Sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), sejak Pepera 1969, telah beberapa kali melakukan penyanderaan. Philip Mehrtens bukan pilot pertama yang mereka sandera.
Pada 26 Maret 1984, milisi OPM di bawah pimpinan James Nyaro menyandera pilot asal Swiss yang bekerja untuk maskapai AMA, Werner Wyder, di dekat perbatasan Papua Nugini.
James awalnya dikabarkan menuntut bayaran sebesar US$1,6 juta (setara Rp24,1 miliar dalam nilai tukar saat ini) untuk pembebasan Werner. Namun tuntutan itu berubah menjadi desakan agar pemerintah Swiss bersedia menjadi mediator bagi Indonesia dan OPM untuk membahas kemerdekakan Papua.
Baca juga: Kapuspen TNI Sebut Soft Approach Digunakan untuk Pembebasan Pilot Susi Air
Semua tuntutan James itu tak terwujud. OPM melepas Werner pada 8 April 1984, dalam kondisi sehat.
Sebelum pergantian milenium, kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua memusatkan aksi pada persoalan ketidakadilan akibat tambang emas yang dioperasikan Freeport-McMoran—kini PT. Freeport Indonesia.
Atas persoalan itu pula, pada 8 Januari 1996, mereka menyandera 26 peneliti yang tergabung dalam Tim Ekspedisi Lorentz 1995. Peristiwa itu terjadi di Mapenduma, distrik yang sejak pemekaran tahun 2008 masuk wilayah Nduga.
Penyanderaan dengan tuntutan kemerdekaan Papua itu dimotori Kelly Kwalik, mantan guru yang pada dekade 1970-an memutuskan untuk mengangkat senjata. Belakangan dia menjadi “pemimpin besar” OPM.
Dalam penyanderaan tahun 1996 itu, Kelly disokong sejumlah figur lain di OPM, salah satunya Daniel Yudas Kogoya.
Daniel adalah ayah kandung Egianus, pimpinan Komando Daerah III TPNPB yang menculik dan menyandera Philip Mehrtens.
Baca juga: Bertemu Tim Pembebasan Pilot Susi Air, Kapolri: Keselamatan Sandera adalah Prioritas Utama
“Saya itu ambil sandera tapi selalu kembalikan mereka,” ujar Daniel kepada Mark Davies, jurnalis Australian Broadcasting Corporation yang menemuinya sekitar tahun 1999.
“Saya tangkap, saya kembalikan. Kasih makan, pelihara, lalu kasih kembali,” kata Daniel.
Operasi militer pembebasan sandera saat itu dipimpin Prabowo Subianto. Mantan Atase Militer di Kedutaan Inggris sekaligus eks perwira Pasukan Khusus Inggris, Ivor Helberg, turut menjadi penasehat dalam operasi ini.
Babak akhir pembebasan para sandera itu berakhir dengan kegagalan perundingan yang dijembatani Palang Merah Internasional.
Melalui operasi pembebasan bersenjata oleh Kopassus, sembilan peneliti—dua di antaranya warga Belanda dan empat warga Inggris—lepas dari penyanderaan. Mereka menyusul 15 kolega yang lebih dulu dilepaskan oleh OPM.
Namun dua peneliti berkewarganegaraan Indonesia dari Universitas Nasional Jakarta tewas, yakni Navy Panekanan dan Yosias Lasamahu.
Baca juga: Perang Narasi TPNPB Vs Aparat soal Pembebasan Pilot Susi Air
Dokumentasi via A Sasako, dalam buku Indonesia's Secret War, The Guerilla Struggle in Irian Jaya Pilot berkewarganegaraan Swiss, Werner Wyder, dipotret bersama pimpinan OPM, James Nyaro (kiri)Daniel Start, peneliti biologi lulusan Universitas Cambridge yang saat itu juga disandera, belakangan menyebut bukan OPM yang membunuh keduanya.Start berkata kepada jurnalis Mark Davies yang melaporkan untuk ABC Australia, keduanya tewas di tangan warga sipil yang mengamuk. Pemicunya, kata dia, operasi bersenjata TNI menewaskan warga yang tak terlibat dalam penyanderaan.
Hingga saat ini, tidak pernah ada investigasi independen yang memverifikasi siapa pelaku pembunuhan Navy dan Yosias.
Lebih dari itu, menurut dokumentasi Elsham yang disusun pegiat HAM, John Rumbiak, sejumlah warga sipil juga mengalami luka, bahkan tewas, ditembak tentara pada hari terakhir operasi pembebasan.
Seluruh tudingan ini dibantah oleh para pihak yang terlibat dalam pembebasan sandera—para pejabat Palang Merah Indonesia, Ivor Helberg, dan juga militer Indonesia.
Baca juga: Perang Narasi TPNPB Vs Aparat soal Pembebasan Pilot Susi Air
Selain kematian, peristiwa penyanderaan itu juga memicu gelombang pengungsian warga Nduga.
Dan pada Desember 2018—sekitar 22 tahun setelah penyanderaan Mapenduma—gelombang pengungsian dan kematian kembali terjadi di Nduga.
Eskalasi konflik kala itu kembali melonjak setelah milisi di bawah komando Egianus Kogoya membunuh belasan orang yang mengerjakan proyek jalan Trans Papua untuk PT Istaka Karya di Distrik Yigi.
Sentimen: negatif (99.6%)