Sentimen
Positif (100%)
17 Sep 2024 : 19.40
Informasi Tambahan

Hewan: Gajah

Institusi: Universitas Indonesia, UNAIR, Universitas Airlangga, Universitas Gajah Mada

Partai Terkait

AHY, Politisi, dan Akademisi

17 Sep 2024 : 19.40 Views 27

Detik.com Detik.com Jenis Media: News

AHY, Politisi, dan Akademisi

Jakarta -

Perbincangan mengenai zaken kabinet, sedang mengemuka di publik. Bermunculan aspirasi kabinet diisi juga oleh kalangan profesional, para ahli di bidangnya. Dengan demikian, kinerja para menteri di kabinet diprediksi akan lebih baik dan optimal. Di sinilah poin utama pembahasan zaken kabinet ini memenuhi ruang-ruang publik. Adanya harapan pemerintahan ke depan bisa menghasilkan kebijakan yang benar-benar efektif dan berdampak nyata pada masyarakat.

Sejalan dengan ini, Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat, salah satu partai politik pengusung presiden terpilih, berharap ke depan politikus tidak boleh berjarak dari akademisi. Begitu pula sebaliknya. Akademisi pun tidak boleh berjarak dari politisi. AHY yang juga Menteri ATR/Kepala BPN menyampaikan hal ini, ketika ditanya awak media pasca lulus ujian tertutup doktoral di Universitas Airlangga, beberapa waktu lalu.

Kedekatan Politisi-Akademisi

Politisi dan akademisi memang sering kali berinteraksi dalam proses pembuatan kebijakan, meskipun peran dan pendekatan mereka berbeda. Akademisi biasanya berfokus pada penelitian, analisis data, dan pengembangan teori berbasis bukti, sebagai think tank, penasihat, dalam pembuatan kebijakan maupun perumusan regulasi (Pujirahayu & Permana, 2019). Sementara politikus sering harus menyeimbangkan antara bukti ilmiah dan kepentingan konstituen mereka (Taufik, 2020).

-

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika politikus bekerja sama erat dengan akademisi, kebijakan yang dihasilkan sering kali lebih berbasis bukti, sementara politisi yang tidak dekat dengan akademisi cenderung menghasilkan kebijakan yang lebih populis atau pragmatis tanpa dasar ilmiah yang kuat.

AHY sendiri meyakini, politikus harus tetap terhubung dengan dunia akademik. Politisi yang jauh dari akademisi, menurut AHY, akan menghasilkan kebijakan yang tidak atau kurang rasional. Kurang berbasis data dan ilmu pengetahuan. Hal ini berpotensi menimbulkan keputusan yang tidak tepat sasaran.

Sedangkan akademisi yang tidak dekat dengan politikus, biasanya akan mengambang dalam tataran wacana. Harus diimplementasikan dalam tataran kebijakan atau strategi yang bisa dijalankan di tataran pemerintahan atau politik di Indonesia.

Pandangan ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Profesor Emil Salim, seorang ekonom terkemuka di negeri ini dari Universitas Indonesia, yang juga pernah mengemban amanah sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Emil Salim (2014) mengingatkan kalau kebijakan publik yang diambil tanpa kajian mendalam dan ilmu pengetahuan hanya akan menghasilkan kebijakan yang salah kaprah dan bisa merugikan masyarakat. Pendalaman ilmu menjadi penting agar kebijakan yang dibuat sesuai dengan realitas di lapangan dan memperhatikan keberlanjutan.

Sebelumnya, Wakil Presiden Republik Indonesia 2009-2014 yang juga guru besar Universitas Gajah Mada, Boediono, pernah menyampaikan hal serupa. Menurut Profesor Boediono (2012), kebijakan yang baik adalah kebijakan yang diambil berdasarkan data, penelitian, dan ilmu pengetahuan. Tanpa landasan ilmiah, sebuah kebijakan akan cenderung tidak efektif dan bahkan bisa menimbulkan dampak yang lebih buruk dari yang diperkirakan.

Brian W Head, seorang profesor dari University of Queensland, Australia, dalam tulisannya berjudul Policy analysis: evidence based policy-making di International Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences pada tahun 2015, juga menegaskan hal yang sama. Penggunaan secara sistematis bukti ilmiah dalam proses kebijakan diyakini dapat menghasilkan saran kebijakan yang lebih akurat. Penggunaan data empiris membuat para pembuat kebijakan bisa merancang solusi yang berpotensi besar sukses dan memiliki dampak nyata untuk masyarakat.

Tantangan

Hanya saja, relasi antara politisi dan akademisi ini memiliki sejumlah tantangan. Pertama, analis kebijakan di lembaga pemerintah akan selalu berupaya memanfaatkan penelitian dan bukti empiris yang relevan dengan kelayakan dan efektivitas program saat ini maupun yang sedang dalam proses perumusan. Namun, aspirasi berbasis ilmiah ini akan selalu dibatasi oleh perdebatan dan pertarungan kepentingan antar kekuatan politik terkait, lobi pemangku kepentingan, dan opini publik (Head, 2015).

Kedua, hubungan antara politisi dan akademisi di Indonesia dapat produktif jika didasarkan pada kepercayaan dan kerjasama yang baik. Tetapi, ada juga kendala berupa upaya intervensi politik dalam proses akademik (Pujirahayu & Permana, 2019). Sejalan dengan penelitian S. Dewi (2017), yang menyoroti tantangan akademisi dalam menjaga integritas ilmiah mereka di tengah tekanan politik. Akademisi di Indonesia pun sering kali terjebak dalam dilema antara mengadvokasi perubahan sosial yang berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah dan keharusan untuk menyesuaikan diri dengan kepentingan politik penguasa (Nugroho, 2011).

Ketiga, akademisi memang sering diundang untuk memberikan masukan dalam proses perumusan kebijakan, bahkan menjadi bagian dalam tim. Tetapi, hasil akhir kebijakan sering kali dimodifikasi oleh politisi agar sesuai dengan kepentingan politik. Seperti diingatkan M. Taufik (2020), politisi yang memiliki kekuasaan final dalam menentukan arah kebijakan, terkadang mengabaikan masukan akademik demi keuntungan politik jangka pendek.

Keempat, dalam banyak kasus, akademisi digunakan oleh politisi untuk memberikan legitimasi pada kebijakan yang kontroversial (Indrayana, 2012). Bahkan, dalam tulisan di tahun 2017, kami pernah mengutip kritik keras Profesor Mahfud MD mengenai intelektual tukang. Intelektual atau akademisi yang tugasnya menjadi tukang stempel kebijakan penguasa.

Padahal, sebenarnya, akademisi sering kali dianggap sebagai "penjaga moral" yang mengingatkan politisi tentang pentingnya kebijakan yang etis dan berbasis bukti. Namun, politisi tidak selalu mendengarkan nasihat akademisi, terutama jika bertentangan dengan kepentingan politik mereka, seperti yang dijelaskan Profesor Suteki (2015) dalam tulisannya bertajuk Peran Intelektual Akademisi dalam Dinamika Politik di Indonesia.

Peluang

Dengan sejumlah tantangan yang dijelaskan di atas, tentu kita masih bisa berharap pada pemerintahan Prabowo-Gibran. Saat kampanye lalu, Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran juga memiliki Dewan Pakar yang beranggotakan para akademisi senior, pakar dan berpengalaman di bidangnya. Mereka secara proaktif bukan saja berupa menawarkan solusi berbasis penelitian kepada pasangan calon dan tim kampanye nasional untuk dijadikan usulan program, melainkan memang bagian penting dalam proses penyusunan program. Bahkan, para pakar ini seringkali diajak diskusi dan diminta masukan selama proses kampanye.

Tak hanya sampai di situ. Kini sudah ada bagian dari Dewan Pakar yang menduduki jabatan publik selaku Kepala Badan sebagai bagian dari upaya transisi untuk menyiapkan program pemerintahan Prabowo-Gibran ke depannya. Kita pun melihat titik cerah di sini.

Semoga komitmen pemerintahan ke depan untuk mengedepankan evidence based policy bisa terus terjaga, sehingga kebijakan yang efektif dan berdampak nyata untuk rakyat benar-benar terwujud.

Herzaky Mahendra Putra
Mahasiswa S3 Program PSDM Universitas Airlangga

(dnu/dnu)

Sentimen: positif (100%)