Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Paspampres
Kasus: korupsi
Partai Terkait
Tokoh Terkait
Viral Jet Pribadi, Isu Relasi Bisnis Keluarga Presiden jadi Sorotan, Ubeidillah Badrun Tuntut Transparansi
Fajar.co.id Jenis Media: Nasional
FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Analis sosial politik, Ubeidillah Badrun, mengangkat isu dugaan relasi bisnis keluarga Presiden dengan pengangkatan jabatan strategis di pemerintahan.
"Kita temukan korupsi yang merajalela, lalu ada peristiwa menarik waktu itu dari keluarga yang disebut sebagai Mulyono," ujar Ubeidillah dikutip dari Channel Youtube Abraham Samad, Minggu (15/9/2024).
Ubeidillah menyebut adanya kejanggalan terkait perusahaan milik putra-putra Presiden yang mendapatkan suntikan dana besar dan kaitannya dengan jabatan yang diberikan kepada beberapa tokoh.
"Misalnya, dia itu ada putra mahkotanya, membeli 180 juta lembar saham di pasar saham. Nilainya hampir Rp100 miliar," ucapnya.
Menurut Ubeidillah, salah satu putra Presiden, yang disebut sebagai "putra mahkota kedua", dikabarkan membeli 180 juta lembar saham di pasar saham dengan nilai hampir Rp100 miliar.
"Ini putra mahkota yang kedua Mulyono, yang kemarin naik jet pribadi. Lalu saat itu, saya, para akademisi dan pengamat diskusi," tukasnya.
Ia mempertanyakan bagaimana perusahaan yang baru berdiri dapat dengan cepat memperoleh modal sebesar itu.
"Ini mungkin gak sih kan dia perusahaannya baru berdiri kok bisa sampai beli saham jutaan lembar itu dengan anggaran miliaran," imbuhnya.
'Karena yang bersangkutan ini anak Presiden, maka kita publik berhak untuk mengetahui. Karena anak Presiden kan dapat fasilitas negara juga. Kemarin Kaesang datang ke PSI itu dikawal Paspampres, itu fasilitas negara," tambahnya.
Dikatakan Ubeidillah atas dasar itu kemudian terdorong untuk membuat penelusuran.
"Ternyata kita ketemu perusahaan-perusahaan mereka itu. Ternyata mereka berjejaring dengan, jadi buat perusahaan, ini bareng dengan anak seorang managing direktur perusahaan besar. Jadi ini bekerjasama dengan dua ini, Gibran, Kaesang," Ubeidillah menuturkan.
Blak-blakan, Ubeidillah menuturkan bahwa perusahaan ini kepemilikan sahamnya mayoritas dimiliki Gibran yang saat itu menjadi Walikota.
"Jadi dia Walikota masih menjadi Komisaris utama di sebuah perusahaan. Perusahaan-perusahaan mereka ini tiba-tiba dapat suntikan dua kali jumlahnya kurang ratusan miliar," terangnya.
Ia kemudian mempertanyakan alasan dibalik adanya suntikan dana besar tersebut. Pasalnya, perusahaan putra mahkota masih seumur jagung.
"Pertanyaan saya, sebegitu mudah yah dapat suntikan dana ratusan miliar. Kalau mereka bukan anak Presiden, bagaimana mungkin ini bisa terjadi," bebernya.
Dalam penelusurannya, ia mendapatkan uang masuk sekian miliar itu dari managing direktur yang anaknya satu perusahaan dengan putra mahkota.
"Ini tiba-tiba diangkat menjadi duta besar. Itu bukan diplomat karir kan? Dari swasta tiba-tiba menjadi duta besar. Tentu kita tanda tanya juga seberapa hebat ini orang bisa menjadi duta besar," tukasnya.
Diceritakan Ubeidillah, setelah uang itu masuk, maka perusahaan Ventura tersebut kemudian dianggap sebagai Duta besar.
"Beberapa waktu kemudian dari perusahaan yang sama, jadi wakil otorita IKN. Kelihatan ada relasi antara Presiden dengan perusahaan besar ini," tuturnya.
Selain itu, ia mengkritisi penunjukan salah satu rekan bisnis keluarga tersebut menjadi duta besar dan anggota Wantimpres, menyebutnya bukan sebagai diplomat karier, melainkan seseorang dari sektor swasta.
"Pertanyaannya, Kenapa diangkat menjadi Duta Besar, Wantimpres? Jadi Wantimpres sekarang. Itu tanda tanya besar. Apalagi perusahaan ini juga bermasalah dengan lingkungan," Ubeidillah menekankan.
Ubeidillah juga mengungkapkan adanya potensi masalah terkait lingkungan yang melibatkan perusahaan tersebut, yang pernah terjerat kasus kerusakan lingkungan di Sumatra dan menghadapi tuntutan sebesar Rp70 triliun dari Kementerian Lingkungan Hidup.
"Pernah perusahaan ini tersangkut kerusakan lingkungan di Sumatera lalu dituntut oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Dengan tuntutan lebih dari Rp70 triliun," jelasnya.
Namun, keputusan pengadilan kemudian menurunkan denda tersebut menjadi sekitar Rp80 miliar.
"Tiba-tiba keluar keputusan di pengadilan negeri kalau tidak salah itu tidak membayar Rp70 triliun tapi hanya sekitar Rp80 miliar," kuncinya.
(Muhsin/fajar)
Sentimen: netral (98.3%)