Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Institusi: MUI
Kab/Kota: Yogyakarta
Tokoh Terkait
MK Tolak Gugatan soal Jaminan Produk Halal dalam UU Cipta Kerja
Kompas.com Jenis Media: Nasional
JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
Pasal yang diuji kali ini terkait dengan jaminan produk halal yang ada dalam Undang-Undang tersebut di atas.
Ketua MK Suhartoyo mengatakan, dalil-dalil permohonan yang diajukan advokat bernama Rega Felix sekaligus pemilik usaha kuliner dengan nama dagang “Felix Burger” selaku Pemohon, adalah tidak beralasan menurut hukum.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 58/PUU-XXI/2023 pada Kamis (29/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Baca juga: Jokowi Ajak Singapura Kembangkan Industri Produk Halal di Tiga Lokasi RI
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut ketentuan soal produk halal dalam UU Cipta Kerja tidak menimbulkan ketidaksejahteraan, ketidakpastian hukum, dan tidak terlindunginya umat Islam sebagaimana dijamin dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon.
Dijelaskan juga, pemohon mempertanyakan tidak adanya kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa kehalalan produk yang dilakukan oleh keputusan Komite Fatwa Produk Halal.
Hakim Konstitusi Arsul Sani mengatakan, UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 menentukan keberadaan Komite Fatwa Produk Halal yang dipersoalkan oleh pemohon karena adanya berbagai lembaga yang turut menetapkan kehalalan produk.
Baca juga: Tiga Sektor Penopang Industri Halal di Indonesia
Namun, Mahkamah menilai, ketentuan norma Pasal 33 UU 33/2014 tidak berbeda jauh dengan perubahannya dalam UU 6/2023 karena norma yang diubah hanya terkait dengan penentuan batasan waktu.
Sedangkan, untuk penetapan produk halal tidak berubah dan memang diberikan kepada Komite Fatwa Produk Halal.
“Terhadap petitum Pemohon demikian sama sekali tidak berkorespondensi dengan keseluruhan substansi norma Pasal 33 UU 33/2014 yang telah diubah dengan UU 6/2023. Sebab, Komite Fatwa Produk Halal dalam memutus penetapan kehalalan produk didasarkan pada ketentuan fatwa halal yang telah melalui proses pemeriksaan dan pengujian produk halal sebagaimana telah dipertimbangkan di atas,” jelas Arsul.
Selain itu, Mahkamah juga menegaskan penerbitan sertifikat halal bukan objek dari sengketa Tata Usaha Negara (TUN).
Dalam kaitan ini, Pasal 48 angka 1 Lampiran UU 6/2023 yang memuat perubahan atas norma Pasal 1 UU 33/2014 memberikan definisi sertifikat halal yaitu pengakuan kehalalan suatu produk yang diterbitkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) berdasarkan fatwa halal tertulis atau penetapan kehalalan produk oleh MUI, MUI provinsi, MUI kabupaten/kota, MPU Aceh, atau Komite Fatwa Produk Halal.
Baca juga: MUI DIY Usulkan Penertiban Indekos untuk Wujudkan Wisata Halal Yogyakarta
Berdasarkan definisi tersebut, sertifikasi halal yang diterbitkan oleh BPJPH merupakan keputusan yang bersifat deklaratif.
Sementara, penetapan kehalalan produk, baik oleh MUI atau Komite Fatwa Produk Halal, merupakan keputusan yang bersifat konstitutif yang tidak termasuk atau yang dikecualikan dari keputusan tata usaha negara.
Dengan demikian, baik sertifikat halal maupun penetapan kehalalan produk tidak dapat dijadikan objek sengketa tata usaha negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Sentimen: positif (100%)