Sentimen
Positif (99%)
24 Agu 2024 : 09.40
Informasi Tambahan

Kasus: mayat

Tokoh Terkait
Arifin

Arifin

Tangsi Belanda Siak, dari Bangunan Tua jadi Tempat Wisata

24 Agu 2024 : 16.40 Views 1

Medcom.id Medcom.id Jenis Media: News

Tangsi Belanda Siak, dari Bangunan Tua jadi Tempat Wisata

Siak: Tangsi Belanda yang berada di tepian Sungai Siak, Kampung Benteng Hulu, Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, merupakan bangunan sejak zaman Kolonial Belanda. Bangunan itu termasuk bangunan yang terabaikan selama berpuluh-puluh tahun. Sebelum 2018, bangunan itu hanyalah bangunan tua yang menyeramkan. Warna putih gedung itu memudar dan beberapa sisi ada yang menghitam ditambah dengan lumut-lumut hijau yang bergantungan. Padahal, bangunan itu bukti sejarah Kolonial Belanda yang bisa dijadikan objek studi sejarah, studi teknik arsitektur dan destinasi wisata. Dari sisi sejarah, Tangsi Belanda berfungsi sebagai zona perlindungan dan pertahanan bagi tentara Belanda pada zaman kolonial. Dalam kompleks dengan luas sekitar 2.710 meter persegi itu terdapat 6 unit bangunan yang membentuk formasi melingkar, sehingga terdapat halaman di bagian dalam dengan beragam fungsi. Seperti sebagai penjara, asrama, kantor, gudang senjata dan gudang logistik. Bangunan Tangsi Belanda ini diperkirakan dibangun pada abad ke-19 pada masa berlangsungnya Kesultanan Siak. Terutama setelah ditandatanganinya Traktat Siak pada masa Sultan Siak ke-9, Sultan Asy-Syaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin yang memerintah pada 1827-1864. Kadis PU Tarukim Siak Irving Kahar Arifin berada di dalam Bangunan Tangsi Belanda di Kabupaten Siak, Riau, usai direvitalisasi tahun 2018-2019. (ANTARA/HO-Dinas PU Tarukim Siak) Bangunan I berada di sebelah timur. Bangunan itu terdiri dari 2 lantai, panjang 18 meter dan lebar 9,6 meter. Lantai bawah terdiri dari bangunan sayap utara yang berfungsi sebagai ruang jaga, kantor dan ruang tahanan. Pada bangunan sayap selatan terdapat empat ruangan yang dahulu pernah dipergunakan sebagai kamar mayat dan rumah sakit. Sementara dua unit bangunan yang berada di belakang (bangunan II dan III), merupakan bangunan dua lantai yang sama bentuknya dan berukuran 155 x 11 meter. Lantai bawah pernah difungsikan sebagai kantor dan lantai atas diperuntukkan sebagai asrama dan tempat tinggal para tentara kolonial. Di sebelah ujung selatan halaman dalam terdapat sisa-sisa bangunan (bangunan IV). Di sebelah utara bangunan utama terdapat bangunan bekas gudang senjata (bangunan V) berukuran 6,7 x 6 meter. Pada ujung barat halaman, juga terdapat sisa bangunan WC dan kamar mandi berukuran 6 meter persegi yang terdiri dari tiga ruangan.   Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tata Ruang dan Permukiman Siak Irving Kahar Arifin mengatakan hal yang sangat unik dan khas dari Tangsi Belanda adalah struktur fondasi yang berbentuk setengah lingkaran dengan peletakan tiga sendi. Teknologi arsitektural pada pondasi tangsi ternyata sangat mendekati bangunan kolonial di negara asalnya di Eropa. "Asumsi kami struktur fondasi seperti ini diaplikasikan pada kondisi air tanah yang tinggi dan pada struktur tanah gambut," kata Irving. Bentuk fondasi tersebut sempat diasumsikan masyarakat sebagai terowongan rahasia. Hal tersebut menjadi salah satu keistimewaan situs cagar budaya yang satu ini. Secara bentuk menunjukkan bangunan itu sangat fungsional dan identik dengan bangunan yang ada di Eropa. Keunikan lainnya terdapat pada tata letak bangunan yang menghadap ke sungai dan menerapkan konsep water front city. Besar kemungkinan Kolonial Belanda pada waktu itu mengintai kapal yang masuk dari muara Sungai Siak.   Dimulainya Pemugaran Tangsi Belanda merupakan situs cagar budaya Kabupaten Siak berdasarkan SK Bupati Siak Nomor 436.a/HK/KPTS/2017. Karena itu perlu dilakukan upaya pelestarian dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya. Pelestarian dimaksud juga berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Menyadari hal tersebutlah, Dinas PU Tarukim Siak mengusulkan melakukan pemugaran terhadap bangunan itu pada 2018 dan 2019 lalu. Sebelum itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama Tim Arkeolog dan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) membuat kajian akademiknya terlebih dahulu dengan menggunakan metode teknologi mutakhir untuk mengetahui struktur asli bangunan. Pada 2018, Kementerian PUPR menyetujui melaksanakan revitalisasi pada bangunan itu senilai Rp5,2 miliar. Revitalisasi itu dilakukan pada Gedung I dan Gedung VI, yang berada paling depan dan belakang kompleks tangsi. Gedung VI yang paling belakang tersebut berfungsi sebagai tempat makan para tentara Belanda. Sebenarnya bangunan itu ada dua dan hanya tersisa tapak fondasinya saja. Akhirnya, satu dibangun kembali dan lainnya dikemas Dinas PU Tarukim Siak sebagai objek tapak situs.   Tujuannya menceritakan bahwa dahulu pernah ada bangunan yang identik dengan bangunan di sebelahnya. Bangunan itu dimodifikasi dengan pencahayaan agar terlihat estetik. Begitu pemugaran selesai, warga Kampung Benteng Hulu terpesona melihatnya. Bangunan yang sebelumnya memberikan kesan menyeramkan kini berubah drastis menjadi bangunan yang layak dikunjungi. Kepala Dinas PU Tarukim Siak Irving Kahar Arifin menyebutnya dengan istilah Tangsi Belanda Reborn. Istilah itu tepat sekali untuk menggambarkan bangunan itu selama ini terbiarkan sehingga suasananya mati, dan saat ini seakan-akan hidup kembali. "Jadi generasi muda kita dapat merasakan kembali betapa masyhur bangunan itu. Pada zaman dahulu saja Belanda sudah membangun bangunan semegah yang terlihat sekarang," kata Irving. Akhir-akhir ini banyak wisatawan berdatangan ke sana. Apalagi menjelang Maghrib, matahari yang memancarkan sinarnya di permukaan Sungai Siak membentuk pemandangan yang sangat eksotik pada senja hari.   Fenomena Maghrib itu memberikan kesan tersendiri bagi para pemburu senja. Pancaran cahaya matahari senja seakan-akan mengantarkan pengunjung mengikuti jejak kolonial yang ada di bibir Sungai Siak ini. Setiap senja tiba, matahari jatuh tepat di sebelah water front city Tepian Bandar Sungai Jantan (TBSJ) dan Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah (TASL) Siak. Onggokan bangunan Belanda ini seakan menjadi altar saat menikmati fenomena senja di Siak. Tokoh masyarakat Benteng Hulu Iskandar mengaku banyak manfaat dipugarnya bangunan Tangsi Belanda tersebut. Misalnya mengundang orang untuk datang yang memberikan dampak ekonomi bagi warga sekitar. Kemudian munculnya rasa ingin tahu tentang sejarah kenapa ada bangunan Belanda di Kampung Benteng Hulu tersebut. Setidaknya pengetahuan tentang sejarah itu bisa diwariskan kepada generasi muda Benteng hulu secara khusus, dan Kecamatan Mempura bahkan Siak secara umum. “Tentu juga ini menjadi situs cagar budaya yang mesti dijaga dan dimanfaatkan untuk penambahan destinasi wisata di Siak. Untuk bangunan kolonial saat ini di Riau, mungkin Tangsi Belanda kita ini yang paling baik dan menarik dan lestari," katanya pula.

Siak: Tangsi Belanda yang berada di tepian Sungai Siak, Kampung Benteng Hulu, Kecamatan Mempura, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, merupakan bangunan sejak zaman Kolonial Belanda. Bangunan itu termasuk bangunan yang terabaikan selama berpuluh-puluh tahun.
 
Sebelum 2018, bangunan itu hanyalah bangunan tua yang menyeramkan. Warna putih gedung itu memudar dan beberapa sisi ada yang menghitam ditambah dengan lumut-lumut hijau yang bergantungan.
 
Padahal, bangunan itu bukti sejarah Kolonial Belanda yang bisa dijadikan objek studi sejarah, studi teknik arsitektur dan destinasi wisata. Dari sisi sejarah, Tangsi Belanda berfungsi sebagai zona perlindungan dan pertahanan bagi tentara Belanda pada zaman kolonial.
Dalam kompleks dengan luas sekitar 2.710 meter persegi itu terdapat 6 unit bangunan yang membentuk formasi melingkar, sehingga terdapat halaman di bagian dalam dengan beragam fungsi. Seperti sebagai penjara, asrama, kantor, gudang senjata dan gudang logistik.
 
Bangunan Tangsi Belanda ini diperkirakan dibangun pada abad ke-19 pada masa berlangsungnya Kesultanan Siak. Terutama setelah ditandatanganinya Traktat Siak pada masa Sultan Siak ke-9, Sultan Asy-Syaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin yang memerintah pada 1827-1864.
 

Kadis PU Tarukim Siak Irving Kahar Arifin berada di dalam Bangunan Tangsi Belanda di Kabupaten Siak, Riau, usai direvitalisasi tahun 2018-2019. (ANTARA/HO-Dinas PU Tarukim Siak)
 
Bangunan I berada di sebelah timur. Bangunan itu terdiri dari 2 lantai, panjang 18 meter dan lebar 9,6 meter. Lantai bawah terdiri dari bangunan sayap utara yang berfungsi sebagai ruang jaga, kantor dan ruang tahanan. Pada bangunan sayap selatan terdapat empat ruangan yang dahulu pernah dipergunakan sebagai kamar mayat dan rumah sakit.
 
Sementara dua unit bangunan yang berada di belakang (bangunan II dan III), merupakan bangunan dua lantai yang sama bentuknya dan berukuran 155 x 11 meter. Lantai bawah pernah difungsikan sebagai kantor dan lantai atas diperuntukkan sebagai asrama dan tempat tinggal para tentara kolonial.
 
Di sebelah ujung selatan halaman dalam terdapat sisa-sisa bangunan (bangunan IV). Di sebelah utara bangunan utama terdapat bangunan bekas gudang senjata (bangunan V) berukuran 6,7 x 6 meter. Pada ujung barat halaman, juga terdapat sisa bangunan WC dan kamar mandi berukuran 6 meter persegi yang terdiri dari tiga ruangan.
 
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tata Ruang dan Permukiman Siak Irving Kahar Arifin mengatakan hal yang sangat unik dan khas dari Tangsi Belanda adalah struktur fondasi yang berbentuk setengah lingkaran dengan peletakan tiga sendi. Teknologi arsitektural pada pondasi tangsi ternyata sangat mendekati bangunan kolonial di negara asalnya di Eropa.
 
"Asumsi kami struktur fondasi seperti ini diaplikasikan pada kondisi air tanah yang tinggi dan pada struktur tanah gambut," kata Irving.
 
Bentuk fondasi tersebut sempat diasumsikan masyarakat sebagai terowongan rahasia. Hal tersebut menjadi salah satu keistimewaan situs cagar budaya yang satu ini. Secara bentuk menunjukkan bangunan itu sangat fungsional dan identik dengan bangunan yang ada di Eropa.
 
Keunikan lainnya terdapat pada tata letak bangunan yang menghadap ke sungai dan menerapkan konsep water front city. Besar kemungkinan Kolonial Belanda pada waktu itu mengintai kapal yang masuk dari muara Sungai Siak.
  Dimulainya Pemugaran
Tangsi Belanda merupakan situs cagar budaya Kabupaten Siak berdasarkan SK Bupati Siak Nomor 436.a/HK/KPTS/2017. Karena itu perlu dilakukan upaya pelestarian dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya. Pelestarian dimaksud juga berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
 
Menyadari hal tersebutlah, Dinas PU Tarukim Siak mengusulkan melakukan pemugaran terhadap bangunan itu pada 2018 dan 2019 lalu.
 
Sebelum itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama Tim Arkeolog dan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) membuat kajian akademiknya terlebih dahulu dengan menggunakan metode teknologi mutakhir untuk mengetahui struktur asli bangunan.
 
Pada 2018, Kementerian PUPR menyetujui melaksanakan revitalisasi pada bangunan itu senilai Rp5,2 miliar. Revitalisasi itu dilakukan pada Gedung I dan Gedung VI, yang berada paling depan dan belakang kompleks tangsi.
 
Gedung VI yang paling belakang tersebut berfungsi sebagai tempat makan para tentara Belanda. Sebenarnya bangunan itu ada dua dan hanya tersisa tapak fondasinya saja. Akhirnya, satu dibangun kembali dan lainnya dikemas Dinas PU Tarukim Siak sebagai objek tapak situs.
 
Tujuannya menceritakan bahwa dahulu pernah ada bangunan yang identik dengan bangunan di sebelahnya. Bangunan itu dimodifikasi dengan pencahayaan agar terlihat estetik.
 
Begitu pemugaran selesai, warga Kampung Benteng Hulu terpesona melihatnya. Bangunan yang sebelumnya memberikan kesan menyeramkan kini berubah drastis menjadi bangunan yang layak dikunjungi.
 
Kepala Dinas PU Tarukim Siak Irving Kahar Arifin menyebutnya dengan istilah Tangsi Belanda Reborn. Istilah itu tepat sekali untuk menggambarkan bangunan itu selama ini terbiarkan sehingga suasananya mati, dan saat ini seakan-akan hidup kembali.
 
"Jadi generasi muda kita dapat merasakan kembali betapa masyhur bangunan itu. Pada zaman dahulu saja Belanda sudah membangun bangunan semegah yang terlihat sekarang," kata Irving.
 
Akhir-akhir ini banyak wisatawan berdatangan ke sana. Apalagi menjelang Maghrib, matahari yang memancarkan sinarnya di permukaan Sungai Siak membentuk pemandangan yang sangat eksotik pada senja hari.
 
Fenomena Maghrib itu memberikan kesan tersendiri bagi para pemburu senja. Pancaran cahaya matahari senja seakan-akan mengantarkan pengunjung mengikuti jejak kolonial yang ada di bibir Sungai Siak ini.
 
Setiap senja tiba, matahari jatuh tepat di sebelah water front city Tepian Bandar Sungai Jantan (TBSJ) dan Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah (TASL) Siak. Onggokan bangunan Belanda ini seakan menjadi altar saat menikmati fenomena senja di Siak.
 
Tokoh masyarakat Benteng Hulu Iskandar mengaku banyak manfaat dipugarnya bangunan Tangsi Belanda tersebut. Misalnya mengundang orang untuk datang yang memberikan dampak ekonomi bagi warga sekitar.
 
Kemudian munculnya rasa ingin tahu tentang sejarah kenapa ada bangunan Belanda di Kampung Benteng Hulu tersebut. Setidaknya pengetahuan tentang sejarah itu bisa diwariskan kepada generasi muda Benteng hulu secara khusus, dan Kecamatan Mempura bahkan Siak secara umum.
 
“Tentu juga ini menjadi situs cagar budaya yang mesti dijaga dan dimanfaatkan untuk penambahan destinasi wisata di Siak. Untuk bangunan kolonial saat ini di Riau, mungkin Tangsi Belanda kita ini yang paling baik dan menarik dan lestari," katanya pula.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(MEL)

Sentimen: positif (99.8%)