Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: MUI
Kasus: kekerasan seksual, pelecehan seksual
Tokoh Terkait
MUI Sepakat soal Aturan Aborsi yang Diteken Jokowi, Beri Catatan Khusus untuk Korban Rudapaksa
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan sepakat dengan aturan mengenai aborsi yang baru saja disahkan Presiden Jokowi. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Ketua MUI KH Muhammad Cholil Nafis mengatakan bahwa pihaknya sepakat dengan aturan yang berisi ketentuan menggugurkan kandungan hanya boleh pada kasus-kasus tertentu tersebut.
"Kami (MUI) sepakat dengan PP 28, aborsi itu pada dasarnya dilarang. Bukan dianjurkan dan bukan dibolehkan," ujarnya pada Kamis 2 Agustus 2024.
Meski tidak dianjurkan dan dibolehkan, Cholil Nafis menekankan bahwa ada beberapa kasus yang dapat dijadikan sebagai pengecualian. Contohnya jika dokter menyatakan kandungan dapat berdampak pada kematian sang ibu.
Dia juga menambahkan, pihaknya setuju dilakukan aborsi jika anak dalam kandungan tidak dalam keadaan hidup.
"Itu boleh dilakukan," ucap Cholil Nafis.
Aborsi Bagi Korban Pelecehan SeksualAkan tetapi, Cholil Nafis menyoroti aturan aborsi bagi perempuan korban rudapaksa. Sebab, PP tersebut tidak menyebutkan tentang usia janin yang boleh diaborsi.
Menurutnya, seharusnya ada ketentuan jika janin telah berusia lebih dari 40 hari, tidak boleh digugurkan.
"Hamilnya juga harus dipastikan karena korban pemerkosaan, dengan keterangan ditunjukkan oleh ahli dan kesaksian," kata Cholil Nafis.
Aturan soal AborsiPemerintah menetapkan sejumlah ketentuan untuk aborsi yang dilarang, kecuali apabila ada indikasi kedaruratan medis. Aborsi juga boleh jika perempuan menjadi korban pemerkosaan atau kekerasan seksual.
Hal tersebut ada dalam Pasal 116 PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang 17/2023 tentang Kesehatan. PP ini ditandatangani Jokowi dan diundangkan Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada 26 Juli 2024.
Pemerintah Indonesia memperbolehkan korban rudapaksa yang hamil untuk melakukan aborsi. Aturan tersebut juga berlaku untuk korban kekerasan seksual lainnya.
Hal itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 26 Juli 2024.
“Setiap Orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana,” kata keterangan dalam Pasal 116, dikutip pada Rabu, 31 Juli 2024.
Dalam Pasal 117 dijelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan indikasi kedaruratan medis. Salah satunya adalah kehamilan yang bisa mengancam nyawa dan kesehatan ibu.
“Kondisi Kesehatan janin dengan cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki sehingga tidak memungkinkan hidup di luar kandungan,” ujarnya.
Kehamilan akibat tindak kekerasan seksual harus dilengkapi dengan bukti. Dalam Pasal 118, Pemerintah Indonesia menjelaskannya lebih lanjut.
“Dibuktikan dengan: a. surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan; dan b. keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan,” ucapnya.
Hal-Hal yang Diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 2024PP yang baru saja ditandatangani oleh Jokowi tersebut menjadi penguat bagi pemerintah untuk membangun kembali sistem kesehatan yang tangguh. Pernyataan itu disampaikan langsung Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
“Kami menyambut baik terbitnya peraturan ini, yang menjadi pijakan kita untuk bersama-sama mereformasi dan membangun sistem kesehatan sampai ke pelosok negeri,” tuturnya, dikutip dari Situs Kemenkes.
Budi mengungkapkan secara rinci bahwa PP tersebut mengatur berbagai hal. Mulai dari penyelenggaraan upaya kesehatan, aspek teknis pelayanan kesehatan, serta pengelolaan tenaga medis dan tenaga kesehatan.
Kemudian, fasilitas pelayanan kesehatan, teknis perbekalan kesehatan dan ketahanan kefarmasian alat kesehatan.***
Sentimen: negatif (99.9%)