Sentimen
Positif (94%)
4 Agu 2024 : 10.58
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Kab/Kota: Madura

Tokoh Terkait

Waketum PBNU: Muhammadiyah Ibarat Saudara Tua NU, Puasa dan Lebaran Selalu Duluan

4 Agu 2024 : 17.58 Views 1

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Waketum PBNU: Muhammadiyah Ibarat Saudara Tua NU, Puasa dan Lebaran Selalu Duluan

PIKIRAN RAKYAT - Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Zulfa Mustofa, mengatakan NU dan Muhammadiyah seperti adik dan kakak. Muhammadiyah lahir terlebih dahulu, yakni pada 1912. Sementara NU baru lahir setelahnya, yakni pada 1928.

Meskipun NU lahir belakangan, tetapi ia menyebutkan jamaah NU lebih banyak daripada Muhammadiyah. Oleh sebab itu, NU disebutnya sebagai adik bongsor.

Menurut Zulfa, terdapat perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, yakni di aspek cabang atau furu’. Namun, untuk aspek pokok atau ushul, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Dalam aspek yang berbeda, Zulfa menilai, yang perlu dikedepankan adalah semangat toleransi atau tasamuh.

Zulfa juga menyebut perbedaan lainnya antara Muhammadiyah dan NU, yakni dalam hal berpuasa dan berlebaran. Sebagai saudara tua NU, kata Zulfa, Muhammadiyah biasanya berpuasa dan berlebaran lebih dulu.

“NU tidak pernah puasa duluan. Muhammadiyah puasa duluan karena di mana-mana kakak itu duluan. Adik itu mengalah. Tarawih juga begitu, kakak pulangnya duluan karena rakaatnya lebih sedikit,” katanya saat berpidato dalam kegiatan Silaturahmi Nasional Pokja Majelis Taklim bertemakan ‘Majelis Taklim sebagai Basis untuk Membangun Peradaban Umat Manusia’ di Jakarta, Jumat, 2 Agustus 2024.

Ia bercerita melakukan ceramah di masjid Muhammadiyah selama hampir 20 tahun. Menurutnya, ia sengaja diundang oleh pengurus Muhammadiyah dengan tujuan supaya jamaah Muhammadiyah bisa tahu cara berpikir, beribadah, berfatwa, dan beramaliah seperti NU, langsung dari kiai NU.

“Kalau yang diundang dari Muhammadiyah, ada kekhawatiran dia menyesatkan semua yang dilakukan NU. Saya menghormati Muhammadiyah,” katanya.

Ia mengharapkan ormas lainnya bisa meniru apa yang dilakukan Muhammadiyah untuk meminimalisir kesalahpahaman. Menurutnya masih ada beberapa kesalahpahaman di antara umat Islam. Contohnya seperti ada anggapan di sebagian orang Madura bila Muhammadiyah bukan bagian dari Islam. "Saat ini telah ada silaturahmi, dan mereka memahami," katanya.

Dalam pengkajian kitab juga hal yang sama bisa dilakukan. Menurut Zulfa, gurunya, yakni KH. Sahal Mahfudin, memperbolehkannya membaca kitab apa pun, termasuk kitab karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah. Gurunya itu dikatakannya berpesan supaya bisa mengambil yang jernih dari kitab-kitab yang dikaji. Sementara yang tidak jernih, ditinggalkan.

Zulfa juga menyinggung soal 'monopoli' pengurus masjid dan majelis taklim. Dalam artian, mereka hanya mengundang penceramah dari kelompoknya sendiri, kemudian menyampaikan materi mengenai kelompok lain yang hanya berdasarkan perspektifnya sendiri. Hal seperti itu dinilainya tidak bijaksana dan hanya akan menimbulkan kesalahpahaman di antara umat Islam.

“Seharusnya penceramah bisa diambil dari kelompok lainnya. Ini supaya umat menjadi cerdas,” tuturnya.

Zulfa menyitir ucapan Umar bin Abdul Azis yang menyebutkan bahwa "‘Saya justru tidak senang kalau umat Nabi Muhammad tidak berbeda pendapat". Berbeda pendapat, bagi Umar bin Abdul Azis, membuka pintu pilihan bagi umat.

Zulfa mengatakan, perbedaan, baik di wilayah furu' maupun ushul, seharusnya membuat pengurus majelis taklim, masjid, dan dai menjadi rukun. Meskipun berbeda secara ushul, katanya, umat non-Islam adalah saudara sebangsa dan setanah air.

Ia mengaku menyesalkan para dai yang menyampaikan berbagai narasi kebencian kepada sesama umat Islam. Hal ini bisa terjadi karena dai tersebut dinilainya tidak paham soal isu furu' dan ushul.

Zulfa menuturkan, peradaban manusia berkembang sesuai dengan tantangan yang ada di dalamnya. Indonesia adalah negara yang penuh keragaman di dalamnya. Hal itu juga membuat tantangan yang dihadapi luar biasa karena rentan terjadi pergesekan antara warga berbeda agama, etnis, maupun suku. Namun, ia menilai, Indonesia mampu menjaga keberagaman yang ada karena adanya jembatan sosial untuk mengatasi persoalan itu.

“Silaturahmi seperti sekarang memperkuat umat. Silaturahmi dapat membangun peradaban. Dengan demikian, bumi di mana kita tinggal dapat tetap utuh dan aman,” tuturnya.***

 

Sentimen: positif (94.1%)