Sentimen
Negatif (97%)
14 Jul 2024 : 09.51
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Event: Pilkada Serentak

Institusi: UIN

Kab/Kota: Guntur, Senayan

Kasus: HAM

Lawan Putusan MA, Mahasiswa Gugat Penetapan Batas Usia Calon Kepala Daerah ke MK

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

14 Jul 2024 : 09.51
Lawan Putusan MA, Mahasiswa Gugat Penetapan Batas Usia Calon Kepala Daerah ke MK

PIKIRAN RAKYAT - Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta atas nama A. Fahrur Rozi menggugat ketentuan penetapan syarat usia calon kepala daerah dalam Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tak sendiri, gugatan itu dia ajukan bersama mahasiswa Podomoro University, Anthony Lee.

Permohonan A. Fahrur Rozi dan Anthony Lee teregistrasi sebagai Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024. Sidang perdana dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Arsul Sani dan M. Guntur Hamzah.

Keduanya mengajukan permohonan uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, lantaran dinilai ambigu dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Mereka ingin, syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon.

“Para Pemohon dalam hal ini jelas dirugikan secara konstitusional dengan berlakunya ketentuan dalam pasal a quo karena menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak sesuai dengan prinsip negara hukum,” kata kuasa hukum pemohon, Moh. Qusyairi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Jumat 12 Juli 2024.

Pasal yang digugat oleh dua mahasiswa itu pada intinya mengatur mekanisme pencalonan dan syarat usia calon kepala daerah. Pasal 7 ayat (2) huruf e itu berbunyi:

"Calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: e. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 (dua puluh lima) untuk calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota".

Pasal tersebut dinilai memiliki penafsiran berbeda antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Agung (MA). KPU dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020, menafsirkan syarat usia minimal itu terhitung sejak penetapan pasangan calon, sementara MA menafsirkan persyaratan usia tersebut terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.

Oleh karena itu, dalam permohonannya, para mahasiswa meyakini penafsiran KPU telah benar. Menurut mereka, Pasal 7 ayat (2) huruf e berada dalam satu tarikan napas dengan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Pilkada, yang menekankan bahwa setiap warga negara berhak mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai kepala daerah.

Sehingga, demi menjamin kepastian hukum, para pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Pilkada dimaknai menjadi:

"Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak penetapan pasangan calon".

Pada akhir sidang, majelis hakim panel memberikan nasihat atas permohonan para pemohon. Mereka diberi kesempatan untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari.

Putusan Kontroversial MA

Putusan MA soal syarat usia calon kepala daerah disebut sarat kepentingan politik demi memuluskan langkah putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta.

MA mengubah ketentuan syarat calon kepala daerah dari yang berusia paling rendah 30 tahun untuk tingkat provinsi dan 25 tahun tingkat kota/kabupaten "terhitung sejak penetapan pasangan calon" pada 22 September 2024 menjadi "terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih" yang kemungkinan akan berlangsung pada awal tahun 2025.

Peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti mengatakan bahwa putusan MA itu membuka pintu bagi anak Jokowi yang baru akan berumur 30 tahun pada Desember 2024 mendatang, untuk mencalonkan diri dalam pilkada tingkat provinsi.

“Selain karena umur, alasan kecurigaan lain adalah kenapa harus direvisi saat ini? Saat proses (pemenuhan persyaratan dukungan calon perseorangan) tengah berlangsung dan kenapa perubahannya lewat jalur-jalur potong kompas?“ tuturnya.

Aisah Putri Budiarti menyebut, terdapat beberapa kecurigaan yang menguatkan dugaan kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu dalam putusan MA tentang syarat usia calon kepala daerah.

Pertama, putusan MA ini membuka pintu bagi Kaesang Pangarep untuk maju pilkada 2024. Situasi ini serupa dengan fenomena yang terjadi pada saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat batas usai capres dan cawapres yang memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri.

“Otomatis ketika ada kasus yang serupa, terkait dengan dinasti politiknya Jokowi, dan syarat usia berbasis aturan hukum untuk pemilu maka jadi sangat wajar ketika kemudian terbangun asumsi adanya kepentingan politik ini (membuka pintu Kaesang),” kata Aisah Putri Budiarti.

Faktor selanjutnya adalah revisi aturan terjadi saat proses pilkada tengah berlangsung. Pada saat ini, penyelenggaran pilkada 2024 telah memasuki tahapan pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan hingga Agustus mendatang.

“Apakah memang mendesak untuk dilakukan perubahan saat proses pilkada tengah berlangsung? Ini kan jadi terlihat tanpa dasar, tanpa riset mendalam kenapa harus berubah sekarang. Akhirnya memunculkan kembali dugaan kepentingan politik di dalamnya,” ujar Aisah Putri Budiarti.

“Lalu, kenapa perubahannya harus lewat jalur-jalur potong kompas di MK misalnya untuk konteks pilpres dan MA untuk pilkada sekarang? Kenapa tidak lewat proses pembuatan undang-undang yang dipikirkan secara serius dan matang oleh pembuat kebijakan?” ucapnya menambahkan.

Menurut Aisah Putri Budiarti, langkah yang tepat adalah dengan melakukan evaluasi secara menyeluruh dan komperhensif melalui jalur legislatif terkait aturan teknis pelaksanaan pemilu, yang tidak hanya kriteria tentang usia namun juga syarat pengalaman politik yang memadai.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) diperintahkan mencabut aturan batas usia calon kepala daerah oleh Mahkamah Agung (MA). Selain itu, badan penyelenggara Pemilu itu juga harus membayar biaya perkara sebesar Rp1 juta.

MA menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan atau Wali kota dan Wakil Wali kota bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Aturan lebih tinggi itu adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi Undang-Undang.

Selain itu, aturan PKPU tersebut dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih".

"Sehingga Pasal a quo selengkapnya berbunyi, Pasal 4 ayat (1) huruf d: 'berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih'," tutur putusan MA pada Rabu 29 Mei 2024 itu.

Oleh karena itu, MA memerintahkan KPU untuk mencabut aturan mengenai batas usia calon kepala daerah tersebut.

"Memerintahkan kepada KPU RI untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan atau Wali kota dan Wakil Wali kota," katanya.

Selain itu, MA juga memerintahkan kepada panitera untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara.

"Menghukum Termohon (KPU) untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1 juta," ucapnya.

Langkah KPU Sikapi Putusan MA

Terlepas dari kisruh putusan Mahkamah Agung (MA) dan reaksi kontra masyarakat mengenai hal itu, Hasyim Asy'ari mengatakan akan menyikapinya menggunakan perspektif KPU.

"Cara pandang kami (KPU), sebetulnya yang bisa digunakan untuk memastikan ada kepastian hukum tentang seseorang itu umurnya genap 25 tahun untuk calon bupati, wali kota, atau genap 30 tahun calon gubernur, itu sebetulnya yang ada kepastiannya itu adalah ketika penetapan pasangan calon, 22 September 2024," kata Hasyim di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 10 Juni 2024.

Dengan kata lain, ia mengisyaratkan kemungkinan besar KPU RI akan mengabaikan putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai batas usia calon kepala daerah.

Hasyim menjelaskan KPU hanya memiliki kewenangan sampai penetapan pasangan calon terpilih untuk Pilkada 2024. Artinya, pelantikan pasangan calon kepala daerah bukan lagi ranah KPU untuk menginterupsi.

"Setelah itu kan prosesnya disampaikan kepada pemerintah pusat, seperti bupati, wali kota atas nama presiden yang menerbitkan SK Mendagri (Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri). Untuk gubernur, yang menerbitkan SK Presiden atau Keppres (Keputusan Presiden)," ucap Hasyim.

Meski begitu, dia menegaskan bahwa bahwa lembaga tersebut tengah menyelaraskan Peraturan KPU (PKPU) bersama terbitnya putusan MA, mengenai Pencalonan Kepala Daerah.

"Sedang dibahas dan harmonisasi dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)," kata dia lagi.***

Sentimen: negatif (97%)