Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Pilkada Jakarta dan Akrobat Oposisi
Detik.com Jenis Media: News
Setelah Sohibul Iman dicalonkan oleh PKS, rasa-rasanya PKS sudah tidak akan menjadi ekor politik lagi. Memilih sebagai pemain, terutama di Jakarta yang akan disorot oleh media adalah sebuah pertunjukan harga diri PKS. Sudah sejak 2014 beroposisi, mulai dari Koalisi Merah Putih hingga bertahan di luar sendirian sampai saat ini, PKS rasa-rasanya memang perlu menunjukkan akrobat untuk memperlihatkan bahwa meski "sendiri" di luar, secara politik, PKS tetaplah eksis dan juga berani.
Namun, yang harus diperhitungkan, pilkada hari ini tak terpaut jauh dengan pilpres dan pileg. Artinya, "pilpres effect" menurut saya masih relevan, karena pilkada terjadi pada tahun yang sama. Letak strategis Jakarta harus diakui bahwasanya apapun yang terjadi akan disorot oleh media. Tetapi, yang sudah berhasil dengan "Jakarta moment" itu baru Jokowi. Sedangkan Anies, sudah terbukti dengan kalahnya di Pilpres 2024 itu adalah tanda bahwa ia gagal mengikuti jejak Jokowi yang usai di Jakarta langsung menuju pentas politik nasional.
Tetapi, Anies tidaklah menyerah. Kembali bertarung di Jakarta dengan pasangan Anies-Sohibul Iman (AMAN) barangkali adalah sebuah penegasan bahwasanya Anies adalah juga PKS, meski tidak secara eksplisit seperti sebelum-sebelumnya. Jika benar bahwasanya Anies dengan PKS, maka sudah bisa dikatakan bahwa PKS bukan lagi ekor seperti pada Pilpres 2024 kemarin yang hanya sekadar mendukung, melainkan sudah mengesahkan bahwa Anies itu PKS kelak di pilpres selanjutnya.
Maka, kuncinya sekarang ada di Nasdem yang mendeklarasikan Anies ke panggung politik nasional, apakah bersedia seperti yang dilakukan pada Oktober 2022? Jawabannya ada di "pilpres effect", Prabowo-Gibran ditambah dengan Jokowi, bukan "Prabowo effect".
Jika kita berkaca ke pilkada-pilkada sebelumnya yakni pada 2020 ke bawah, bisa dikatakan bahwa tidak semua posisi kepala daerah/gubernur adalah "Jokowi connection" atau orang yang pro terhadap Jokowi secara politik. Yang artinya, ada dominasi oposisi di beberapa kursi gubernur-wakil gubernur. Anies Baswedan, yang baru saja terdepak dari kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 2016, secara otomatis bukan "orangnya Jokowi" lagi, melainkan sudah oposisi, dan akrobat politik momentumnya ada di Anies.
Pada waktu itu, Gerindra, Demokrat, dan PKS masih ada di barisan oposisi. Tentu dengan memilih Anies sebagai calon gubernur untuk menantang Ahok yang jelas merupakan "orangnya Jokowi" adalah sebuah imperatif kategoris, yang artinya mau tidak mau dan suka tidak suka, mencalonkan Anies adalah eksistensi perlawanan terhadap pemerintah. Karena itulah, ini yang disebut sebagai "akrobat oposisi", dan tentu saja ini yang menurut saya dilakukan oleh para oposisi hari ini --siapapun itu, baik Anies, PDIP, ataupun PKS yang secara jelas menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintah.
Tugas yang Berat
Namun, yang harus dipikirkan selanjutnya adalah "pilpres effect". Tak dapat dibayangkan, kemenangan Prabowo-Gibran yang 58% itu tentu sangat berdampak. Mengapa berdampak? Pilpres, pileg, dan pilkada yang berbarengan ini adalah investasi politik lima tahunan yang cukup "lezat" terutama bagi PKS dan Anies; apabila mampu ber-"akrobat" di Jakarta, maka bukan hanya Anies, melainkan PKS juga yang akan diuntungkan.
Maka, tugas yang berat adalah apakah nanti Anies juncto PKS mampu menghadapi itu? Ditambah, "pilpres effect" itu pun dengan syarat: kepuasan terhadap Jokowi. Lagi-lagi memang variabel Jokowi di pilkada patut diperhitungkan juga. Mengapa demikian? Karena, Prabowo-Gibran adalah keberlanjutan. Inilah konsekuensi dari politik keberlanjutan.
Isu Tapera, UKT, dan apapun itu tentu saja memang belum terlihat gelombang kekecewaannya. Tetapi, dalam waktu yang belum dilantik saja, muncul riak-riak kecil yang membuat sedikit sentimen. Ditambah juga, berubah-ubahnya istilah "makan gratis" dari "makan siang" atau apapun itu istilahnya yang mulai perlahan-lahan menimbulkan skeptis di kalangan pendukung Prabowo-Gibran. Ini adalah variabel juga. Belum saja dilantik, kesalahan pemerintahan Jokowi ditumpahkan kepada Prabowo dan Gibran.
Artinya, efek keberlanjutan itu sangat berpengaruh kepada kemenangan Prabowo-Gibran. Tetapi militannya juga mungkin berbeda kalau saja, seandainya, di pilkada calonnya yang tunggal tidak berasal dari usungan empat partai inti yakni Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN. Nah, tentu saja PKS sudah mengambil momentum Anies ketimbang PDIP yang masih memikirkan "kader" ketimbang bermain dengan momentum.
Pilihan yang Realistis
Di sisi lain saya mengatakan bahwa mengusung Anies itu adalah pilihan yang realis secara politik untuk menaruh investasi politik persiapan pada 2029. Tetapi, PKS sudah dengan akrobatnya; tentu saja layak diapresiasi. Sudah 10 tahun di luar pemerintah dan konsisten dengan Anies, maka PKS akan mendapatkan keuntungan itu pada 2029.
Toh di Jakarta, Anies tidak terpuruk. Coba dibandingkan dengan Ganjar yang menelepon Heru Budi, tetap saja Anies lebih dikenal karena sudah pernah menjadi gubernur dan suara Anies di Jakarta juga cukup meyakinkan. Tinggal ditambah lagi kekuatan dan kendaraan untuk meyakinkan itu. Tinggal akrobat politik PKS; apabila Anies terpilih, maka yang penting untuk bisa bermain momentum; dan jika Anies terpilih, maka sejak 2017-2022 dan 2024-2029, Jakarta dipimpin oleh sosok yang merupakan antitesis terhadap pemerintah pusat secara politik.
Ditambah juga, Jakarta adalah pusatnya media-media besar yang tentu saja Anies akan menjadi berita nasional kembali dalam setiap mengimplementasikan kebijakannya. Pengalaman bahwa Jakarta adalah provinsi yang direbut oleh oposisi juga merupakan suatu hal yang menarik. Jokowi-Ahok pun lahir dari antitesis, Anies pun demikian. Namun, Anies tak berhasil. Sandiaga Uno tak berhasil. Anies dan Jokowi punya kemiripan, sama-sama "media darling". Namun, dalam merebut suara politik nasional adalah pekerjaan rumah bagi Anies selanjutnya dan terutama PKS yang pasti akan mendapatkan keuntungan dari sana.
Alit Teja Kepakisan pengamat politik, penulis lepas
Simak juga 'Gerindra soal Erick Thohir di Pilgub Jakarta: Apakah Punya Pengalaman?':
[-]
(mmu/mmu)Sentimen: positif (100%)