Sentimen
Negatif (100%)
26 Jun 2024 : 07.31
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Depok, Poso

Kasus: Bom bunuh diri

Korban Terorisme Harus Dapat Perhatian Khusus, Ini Rekomendasi dari Komnas Perempuan

26 Jun 2024 : 07.31 Views 1

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Korban Terorisme Harus Dapat Perhatian Khusus, Ini Rekomendasi dari Komnas Perempuan

PIKIRAN RAKYAT - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis hasil kajian dan hasil pemetaan pengalaman perempuan terdampak terorisme yang disusun pada 2023. Kajian dan pemetaan tersebut dilakukan Komnas Perempuan pada perempuan terdampak aksi terorisme di wilayah Bali, Jawa Timur, Sulawei Tengah (Sulteng), dan Jakarta.

Hasil dari kajian dan pemetaan tersebut, perempuan korban aksi terorisme mengalami penderitaan fisik dan psikis. Tidak hanya itu, mereka juga merasakan dampak di bidang ekonomi dan sosial. Penderitaan fisik di antaranya, yakni menderita luka bakar 70 persen hingga 80 persen, menjadi disabilitas, dan mengalami gangguan kesehatan reproduksi.

“Berdasarkan temuan Komnas Perempuan ada beberapa dampak. Yang pertama, tentu kehilangan nyawa atau kehilangan keluarga. Kemudian, ada korban fisik antara lain menjadi disabilitas permanen akibat tindakan terorisme,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nahei di Depok, Jawa Barat pada Selasa, 25 Juni 2024.

Pada dampak psikis, perempuan korban terorisme mengalami trauma berkepanjangan dan gangguan reproduksi seperti periode menstruasi yang berhenti lebih awal, padahal belum memasuki masa menopause. “Akibat trauma yang mendalam itu dia berhenti dari fungsi reproduksinya,” ujar Imam.

Lebih lanjut Imam memaparkan, dari segi ekonomi, perempuan korban terorisme di Poso, Sulteng, banyak yang kehilangan pekerjaan. Sebab, lahan yang mereka miliki tidak bisa digarap lagi lantaran tidak ada jaminan keamanan.

“Dampak sosialnya juga banyak sekali yang ditemukan. Antara lain dimintai bercerai oleh mertua karena istri ketika mengalami korban itu sudah tidak dianggap layak lagi untuk menjadi istri. Ini juga terkait dengan konsep ketubuhan. Biasanya perempuan itu, cantik itu dipersepsikan oleh laki-laki,” ucap Imam.

Kemudian, Komnas Perempuan juga menemukan bahwa layanan kedaruratan medis untuk para korban bom bunuh diri seringkali menghadapi hambatan birokrasi administrasi. Akibatnya ada penundaan pada kedaruratan keselamatan nyawa dan kesehatan para korban. Layanan pemulihan fisik yang terbatas yang dihadapi oleh para penyintas memaksa korban fokus pada kesembuhan luka fisik yang diderita.

Komnas Perempuan menyebut korban aksi terorisme berupaya secara mandiri, bahkan dengan biaya sendiri untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Selain itu, kesulitan akses karena kondisi fisik yang masih lemah, memberikan beban biaya tambahan untuk perawatan medis lanjutan.

Selanjutnya, layanan pemulihan psikis yang terbatas menyebabkan rasa trauma dan penderitaan psikis yang dialami para penyintas dan keluarga belum benar-benar terpulihkan. Tidak sinerginya pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdampak pada akses layanan terhadap para penyintas. Karena isu terorisme dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah pusat, sehingga kondisi korban menjadi terabaikan pada aspek-aspek kehidupan yang dapat mendukung pemulihan.

“Para penyintas memainkan daya resiliensinya menghadapi penderitaan yang dialami dalam jangka waktu yang lama karena dukungan dari dalam diri, keluarga, dan berbagai pihak seperti lembaga pendamping,” ucap Imam.

“Temuan-temuan hambatan penanganan korban ini berdasarkan pengalaman perempuan dan menjadi hal yang penting juga bagaimana pengalaman-pengalaman perempuan di dalam semuanya itu menjadi catatan penting bagi kita semua,” katanya melanjutkan.

Kesimpulan Komnas Perempuan Tentang Kondisi Korban

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Salampessy menyebut pihaknya menarik kesimpulan besar dari hasil kajian dan pemetaan tersebut, yakni kesimpulan tentang kondisi korban.

Untuk kesimpulan tentang kondisi korban, kata Olivia, kehilangan nyawa bagi para korban bom terorisme, sangat berdampak pada keluarga korban yang ditinggalkan.

Penderitaan trauma bahkan penderitaan psikis yang berat bagi keluarga yang ditinggalkan juga dapat menjadi pemicu penderitaan fisik dan psikis bahkan juga kematian bagi keluarga yang ditinggalkan.

“Para korban langsung bukan saja mengalami penderitaan luka fisik yang dihadapi saat peristiwa, tetapi juga membutuhkan proses penyembuhan dan perawatan luka fisik dengan waktu yang lama. Sebagian besar penyintas yang mengalami luka bakar, atau terluka parah bahkan mengalami disabilitas secara permanen karena kondisi kerusakan tubuh dan fungsinya tidak dapat pulih kembali,” ucap Olivia.

Rekomendasi Komnas Perempuan

Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang menyebut pihaknya memberikan dua rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh pihak terkait. Rekomendasi itu terbagi dalam rekomendasi umum dan khusus. Pada rekomendasi umum, Komnas Perempuan meminta agar ada kepastian dalam pemenuhan hak korban dan keluarganya, khususnya pada aspek pemulihan sesuai dengan kebutuhan.

“Rekomendasi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Berkoordinasi dengan kementerian sosial melakukan langkah-langkah strategis memastikan langkah-langkah pemenuhan hak korban dengan perspektif gender,” ujar Veryanto.

“Membangun mekanisme referral yang secara khusus untuk pendampingan dan pemulihan perempuan korban aksi terorisme, karena pola kekerasan dan penangananya sangat berbeda dengan GBV (gender based violence) pada umumnya,” ucapnya melanjutkan.

Selain itu, lanjut Veryanto, melakukan langkah-langkah kerja sama dengan LPSK dan BNPT serta organisasi/paguyuban korban untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam menindak lanjuti akses layanan pemenuhan hak korban terutama pada aspek kesehatan, pemulihan dari trauma secara berkelanjutan (psikis dan psikososial, ekonomi, pendidikan keluarga, kesejahteraan sosial,dan lainnya)

“Rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan. Memberikan fasilitas kesehatan dan jaminan pemeriksaan dan perawatan medis secara berkelanjutan terhadap korban aksiterorisme khususnya perempuan dengan memperhatikan kebutuhan korban. Memberikan akses pemulihan khususnya pemulihan dari trauma pada korban dan keluarganya secara berkelanjutan,” kata Veryanto.

Lalu, rekomendasi untuk BNPT adalah Komnas Perempuan meminta agar BNPT mempertimbangkan secara cermat strategi dan tahapan dalam mempertemukan korban dan kelompok derad, yang mempertimbangkan aspek-aspek kesiapan pada penyintas dan keluarganya.

“Berkoordinasi dengan Kementerian terkait, LPSK dan pemerintah daerah pada pemenuhan segera bantuan yang tertunda pada kompensasi dan penggantian rugi atas kepemilikan yang terampas, hilang, hancur dan berkurang karena adanya aksi terorisme,” ujar Veryanto.

“Membangun koordinasi sinkronisasi RAN-PE dan RAD PE yang telah di susun di beberapa daerah sehingga juga dapat menjembatani dalam penanganan pemenuhan hak-hak korban, yang melibatkan Pemerintah Daerah serta organisasi/paguyuban korban di daerah masing-masing,” katanya melanjutkan.

Selanjutnya, LPSK diminta berkoordinasi dengan BNPT, serta KPPPA dan pemerintah daerah untuk membangun mekanisme pemulihan psikis dan psikososial yang berkelanjutan bagi korban dan keluarganya.

“Pemenuhan hak kompensasi yang tertunda bagi korban dan keluarganya dari hasil assesmen yang pernah dilakukan LPSK sebelumnya,” ucap Veryanto.***

Sentimen: negatif (100%)