Sentimen
Negatif (66%)
18 Jun 2024 : 19.40
Informasi Tambahan

Hewan: Ayam, Domba

Institusi: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Kasus: Narkoba

Tokoh Terkait

Transaksi Judi Online Tembus Rp600 Triliun, Bansos bagi Pecandu Bukan Solusi yang Tepat

18 Jun 2024 : 19.40 Views 3

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Transaksi Judi Online Tembus Rp600 Triliun, Bansos bagi Pecandu Bukan Solusi yang Tepat

PIKIRAN RAKYAT - Belum lama ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap fakta mencengangkan soal judi online. Kenaikan secara jor-joran terjadi pada 2023 menjadi Rp327 triliun atau melambung tinggi setara 303,70 persen. Selama 2023, tercatat ada 168 juta transaksi judi online di dalam negeri.

Bahkan dalam triwulan pertama 2024, kenaikannya pun tak kalah signifikan. Masuk pada 2024 triwulan pertama ini, transaksinya bahkan sudah mencapai Rp600 triliun.

Diketahui, jumlah pemain judi online di Indonesia sebanyak 3,2 juta orang. Mereka terdiri dari pelajar hingga ibu rumah tangga. Dari jumlah tersebut, 80 persen di antaranya adalah masyarakat berpenghasilan rendah.

Masyarakat biasanya melakukan deposit dengan nilai sekira Rp100.000 hingga Rp200.000. Hal ini menandakan bahwa perjudian online telah merambah ke berbagai lapisan masyarakat, terutama yang kurang mampu secara finansial.

Judi penyakit masyarakat

Sosiolog dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Elly Malihah mengatakan bahwa secara sosial dan budaya, judi merupakan penyakit masyarakat yang sulit sekali diberantas sejak dulu. Judi merupakan penyakit masyarakat yang hadir jauh-jauh hari sebelum Indonesia merdeka.

Bahkan, judi menjadi tradisi yang sudah berlangsung lama di masyarakat seperti sabung ayam, adu domba, dan semacamnya. “Penyebabnya bisa karena spekulasi ingin mencari uang lebih secara cepat dengan mengadu nasib berjudi, bisa juga untuk kesenangan belaka,” kata Elly pada Senin, 17 Juni 2024.

Penyebab judi menjadi sulit dihapus, karena ada unsur ketergantungan (apalagi yang untuk mencari kesenangan). Hal itu lantaran biasanya mereka yang terus berjudi pernah memenangkan perjudian tersebut dan merasakan “senang”, sehingga keinginan terus “menang” menjadi tantangan tersendiri untuk terus mengadu keuntungan.

Judi online menjadi salah satu bentuk dari judi yang sudah lama berlangsung tersebut. Perbedaannya hanya terletak pada medium dan bagaimana mekanisme judi itu dilakukan.

Kebiasaan berjudi bisa sangat berbahaya, karena tak hanya menimpa anak-anak, melainkan hingga orangtua. Semua seringkali bisa tergoda dengan hadiah dan iming-iming, baik dari iklan maupun cerita sukses dari temannya yang pernah memenangkan judi online. Candu alias adiksi yang dirasakan (sama seperti narkoba), bisa membuat seseorang lagi dan terus lagi berjudi, hingga lupa “daratan”.

Iklan yang masif pun menggelitik mereka untuk memenangkan permainan, sehingga spekulasi pun dijalani demi menjemput keberuntungan. “Hanya mereka yang terdidik dan menyadari bahwa judi dilarang norma agama dan susila, yang tidak akan tergoda,” tuturnya.

Candu judi online juga bisa menimpa aparat hukum baik TNI maupun polisi, karena tak memandang usia dan kalangan. “Banyak oknum yang diiming-imingi oleh bandar untuk mendapat uang lebih jika bisa berkolaborasi. Dari awalnya mereka hanya diberi modal untuk ikut permainan, hingga kecanduan,” ujar Elly.

Hal itu juga bisa menimpa kalangan dari profesi lain, terutama untuk orang yang tidak memegang kode etik profesi yang dimilikinya. Dengan demikian, sebagian besar orang yang terjerat judi tidak memiliki integritas yang kuat terhadap diri sendiri.

Kepedulian sosial

Ilustrasi kepedulian sosial.

Disebutkan Elly, ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan judi online bisa menjamur di Indonesia. Salah satunya, secara teknologi judi online bertebaran di berbagai aplikasi yang mudah diakses, dan beredar dalam iklan baik terang-terangan maupun terselubung.

Lemahnya iman atau tidak memiliki karakter yang baik, juga disebutkan Elly menjadi alasan dasar mengapa seseorang bisa terjerat judi. Selain itu, ada regulasi pelarangan judi online, bahkan dengan menutup aplikasinya. Namun, pelaku biasanya mereka tidak jera dan membuat aplikasi baru dengan nama lain yang berbeda.

“Karena itu, penegakan hukum dan sanksi harus tegas, tidak hanya menggertak, usut tuntas sampai akar-akarnya,” ujar Elly.

Belum lama ini, Presiden Joko Widodo atau Jokowi juga resmi membentuk Satgas Pemberantasan Judi Online yang diketuai oleh Menko Polhukam. Menurut Elly, satgas yang dibentuk tersebut harus serius menjalankan tugas, dan punya keberanian untuk menuntaskan hingga ke akarnya.

“Tentu saja, negara harus hadir karena judi sangat merusak mentalitas,” katanya.

Dia juga memandang, perlu dihidupkan kembali kepedulian sosial yang hampir hilang di era digital ini. Apalagi, karena manusia sudah begitu asyik dengan kesendiriannya.

“Jadi, kepedulian dan saling mengingatkan antaranggota masyarakat untuk berlaku sesuai norma yang berlaku, juga saya rasa perlu dihidupkan kembali,” ujarnya.

Bukan hanya tugas pemerintah, gerakan bersama untuk memberantas judi juga merupakan tanggung jawab ulama atau lembaga keagamaan, kalangan pendidikan, dan seluruh elemen masyarakat.

Terhadap wacana pemerintah untuk memberikan bansos kepada korban judi online (keluarga atau pihak terdampak), Elly melihat bahwa hal tersebut bukan merupakan langkah yang bijak. Itu bukan merupakan jawaban yang tepat untuk pemberantasan judi online. Memberi bansos tanpa mendidik dan memberantas arena judinya, sama dengan memberi modal untuk berjudi lagi.

“Yang paling penting adalah tuntaskan dan berantas tempat perjudiannya (baik offline maupun online) sampai akar-akarnya, juga sampai kepada pelaku atau bandar di belakangnya. Selanjutnya, didik atau pulihkan mereka dengan pembinaan, bukan sekedar diberikan bansos, cari akar penyebab mengapa mereka terjerat judi online dan tuntaskan itu,” katanya.***

Sentimen: negatif (66.7%)