Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Dewan Pers
Tokoh Terkait
Yadi Hendriana
Praktisi Hukum Deolipa: Hati-hati Larang Investigasi, 90 Persen Kerja Pers Menginvestigasi
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Praktisi Hukum Deolipa Yumara menyoroti soal Draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran, khususnya Pasal 50B ayat (2) huruf c yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Menurutnya, frasa eksklusif itu multitafsir lantaran tidak dijelaskan secara spesifik pada RUU Penyiaran.
“Kok enggak boleh jurnalistik investigasi eksklusif. Ternyata ada kata-kata eksklusif, tapi eksklusifnya juga enggak bisa dibahas. Bagaimana kalau kita enggak tahu apa tidak eksklusif atau eksklusif. Jadi ini adalah kata-kata yang kemudian sangat-sangat multitafsir,” kata Deolipa di acara diskusi bertajuk ‘Menakar Urgensi RUU Penyiaran’ yang digelar Ikatan Wartawan Hukum di Jakarta Selatan, Jumat, 14 Juni 2024.
Lebih lanjut, Deolipa mengingatkan DPR RI bahwa kerja jurnalis itu 90 persen investigasi, lalu 10 persen menyiarkan produk jurnalistik. Dengan demikian, dia mengingatkan supaya hati-hati melarang kerja-kerja investigasi yang dilakukan jurnalis.
“Kerja jurnalis itu 90 persen adalah investigasi, 10 persen adalah menyiarkan. Jadi hati-hati dengan kata investigasi eksklusif atau melarang investigasi. Karena 90 persen kerja pers adalah menginvestigasi,” tutur Deolipa.
Dikatakan Deolipa, anggota DPR RI bertugas menjalankan fungsi legislasi yaitu membuat undang-undang dan pengawasan. Akan tetapi, kata dia, kebanyakan legislator secara keahlian tidak mengerti dalam pembuatan undang-undang, apalagi mereka yang berlatar belakang artis.
“Ketika membuat undang-undang kalau anggota DPR secara keahlian dalam pembuatan undang-undang ini enggak ada, atau karena dia juga artis. Banyak sekali anggota DPR yang memang bukan berlatar belakang hukum, atau ahli di hukum,” tutur Deolipa.
“Makanya (pembuatan undang-undang) diserahkan ke staf Ahli. Staf Ahli ini yang kerja, staf Ahli yang dapat informasi dari fraksi-fraksi,” ucapnya menambahkan.
Dewan Pers: Larangan Jurnalisme Investigasi Renggut Kemerdekaan PersDewan Pers menyatakan tidak menolak seluruh isi yang termaktub di dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Namun, Dewan Pers secara spesifik menolak beberapa pasal di dalam draf RUU Penyiaran lantaran bertentangan dengan kemerdekaan pers.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Yadi Hendriana mengatakan ada beberapa pasal yang bertentangan dengan kemerdekaan pers. Di antaranya, yakni Pasal 8A yang memberikan kewenangan pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa pers.
“Mengapa kami menolak pasal ini? Karena jelas ini akan bertubrukan dengan Undang-Undang (UU) 40/99 tentang Pers. Artinya ini akan ada tumpang tindih kewenangan. Ini yang berbahaya,” kata Yadi di acara diskusi bertajuk ‘Menakar Urgensi RUU Penyiaran’ yang digelar Ikatan Wartawan Hukum di Jakarta Selatan, Jumat, 14 Juni 2024.
Kemudian, Dewan Pers tegas menolak Pasal 50B ayat (2) huruf c yang melarang penayangan jurnalisme investigasi. Yadi menegaskan, pelarangan jurnalisme investigasi di RUU Penyiaran memangkas kemerdekaan pers. Pasal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU No.4 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi, ‘Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran’.
“Kalau seandainya pasal ini masuk, pers akan dikontrol karena paham kan KPI dipilih oleh DPR RI, artinya ada kontrol dari DPR RI dan berbahaya bagi kemerdekaan pers,” tutur Yadi.
Yadi mengingatkan, soal Pasal 1 undang-undang Pers yang menyebutkan bahwa wartawan bertugas mencari, mengolah hingga menyiarkan informasi menjadi berita ke publik. "(Pasal) ini adalah salah satu definisi penting yang harus dipahami," ujarnya.
Motif di Balik RUU PenyiaranYadi menduga ada motif merebut kemerdekaan pers di balik masuknya dua pasal tersebut di dalam draf RUU Penyiaran. Menurutnya, kerja-kerja mengekang kebebasan pers tidak hanya lewat RUU Penyiaran, tetapi sudah berlangsung 17 tahun terakhir.
“Pada tahun 2007 Kalau tidak salah masuk RUU pemilu dan pilpres waktu itu yang di situ dikatakan ada kontrol terhadap pers. Bahkan ada sanksi ditegaskan juga di situ,” ucap Yadi.
“Berikutnya 2012 juga ada hal yang sama tetapi kita juga protes. Kemudian di take out juga bahkan sempat keluar PKPU waktu itu yang mengatakan bahwa KPU bisa mengontrol pers waktu itu. Jadi berbahaya sekali. Tetapi dengan lobi dan kami bicara dengan KPU akhirnya PKPU 1/2012 dibatalkan,” tuturnya menambahkan.
Lebih lanjut Yadi menuturkan, pada 2014 Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) pernah mengkaji tentang bahaya pers yang bebas dan perlu adanya penguatan KPI dalam mengatur pers. Setelah munculnya kajian Wantannas, berbagai upaya melemahkan pers terus terjadi hingga kini.
Akan tetapi, lanjut Yadi, Dewan Pers melalui Bagir Manan sebagai tim pengkaji Wantannas menyimpulkan bahwa memang pers di Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja tetapi bukan kemudian dibungkam.
“Akhirnya kita sepakat dengan poin-poin pertimbangan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Apa kesepakatannya? Memang kemerdekaan pers bagian dari kedaulatan rakyat,” kata Yadi.
Yadi memahami bahwa UU Penyiaran perlu direvisi. Namun, jangan sampai revisi itu justru membuat wajah demokrasi di Indonesia menjadi buruk.
“UU Penyiaran ini sudah lama dibahas dan perlu ada revisi. Tetapi bukan berarti revisinya justru akan membuat wajah buruk dari demokrasi kita. Ini berbahaya,” ujar Yadi.***
Sentimen: negatif (100%)