Sentimen
Positif (50%)
10 Jun 2024 : 04.29
Informasi Tambahan

Kasus: Tipikor, korupsi, kejahatan siber, serangan siber

Polemik RUU Kepolisian dan RUU TNI, Ini Pandangan Pakar..

10 Jun 2024 : 11.29 Views 1

Gatra.com Gatra.com Jenis Media: Nasional

Polemik RUU Kepolisian dan RUU TNI, Ini Pandangan Pakar..

Jakarta, Gatra.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja menyetujui perubahan atau revisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) usul inisiatif DPR.

Dalam draf RUU Kepolisian dan RUU TNI terdapat klausul penambahan atau perpanjangan batas usia pensiun untuk anggota Polri dan prajurit TNI. Batas usia pensiun perwira yang diusulkan untuk kedua personel institusi antara 60-65 tahun.

Menariknya, pada RUU TNI pasal 53 ayat 3 dan ayat 4, disebutkan khusus untuk perwira tinggi bintang empat dapat diperpanjang masa dinas keprajuritannya maksimal dua kali yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

“Perpanjangan masa dinas keprajuritan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku paling lama 2 (dua) tahun dan/atau dapat diperpanjang kembali sesuai dengan persetujuan Presiden,” bunyi Pasal 53 ayat 4 RUU TNI.

Diketahui, RUU Kepolisian dan RUU TNI yang digagas DPR mendapatkan penentangan dari masyarakat sipil. Aktivis menilai rancangan revisi UU tersebut mengancam kebebasan sipil, bertentangan dengan tata nilai negara demokrasi, dan memundurkan pencapaian reformasi TNI.

Ilustrasi Prajurit TNI (Doc. tniad.mil.id)

Sejumlah pasal yang dikritik dalam RUU Kepolisian di antaranya Polisi bisa mengawasi dan memblokir dan memutus akses ruang siber (Pasal 14 ayat 1 huruf b, dan Pasal 16 ayat 1 huruf q), melakukan penyadapan (Pasal 14 ayat 1 huruf o), melakukan kegiatan intelijen (Pasal 16A huruf b), meminta bahan keterangan kepada kepada kementerian/lembaga negara dalam rencana tugas di bidang intelijen dan keamanan (Pasal 16B ayat 1).

Sementara itu, pasal yang dikritik dalam RUU TNI, yakni prajurit TNI aktif bisa menduduki jabatan di kementerian atau lembaga negara. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 47 ayat 2 RUU TNI. Dalam RUU tersebut dijelaskan terdapat 18 bidang kementerian atau lembaga negara yang bisa diduduki prajurit TNI aktif. Namun jika keahliannya dibutuhkan, tak menutup peluang prajurit TNI bisa menduduki jabatan di luar kementerian/lembaga tersebut

Pengamat intelijen dan pertahanan, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati menyatakan, revisi UU TNI dan UU Kepolisian setelah 20 tahun ditujukan untuk mengantisipasi berbagai bentuk ancaman dan tindak pidana sebagai efek negatif kemajuan teknologi. Menurutnya, pelanggaran kedaulatan di ruang siber dan ruang angkasa saat ini sangat mendesak untuk diatasi.

“Dengan kompleksitas tugas TNI dan kepolisian di ruang darat, ruang laut, ruang udara, ditambah ruang siber dan ruang angkasa, maka prajurit TNI dan kepolisian dapat bertugas di lingkungan kementerian dan lembaga sesuai kebutuhan,” kata Susaningtyas dalam keterangannya kepada Gatra.com.

Ilustrasi Personel Polri (Doc. NTMC Polri)

Wanita yang karib disapa Nuning itu mengatakan, pemblokiran di ruang siber sejatinya diperlukan untuk mengatasi serangan siber (cyber attack) dan kejahatan siber (cyber crime). “Pemblokiran ditujukan mencegah penggunaan ruang siber untuk melakukan tindak pidana sekaligus mencegah tindakan menyerang bank, rumah sakit, fasilitas pemerintah dan atau swasta, industri, serta objek vital nasional melalui ruang siber,” ujar Nuning.

Dirinya berpandangan kewenangan penyadapan yang diberikan kepada kepolisian tidak akan berpotensi tumpang tindih dengan lembaga lainnya. Sejauh ini penyadapan identik dengan kerja-kerja yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Diakui bahwa tumpang tindih kewenangan memiliki dampak negatif jika tidak ada koordinasi. Sebaliknya, dengan koordinasi yang matang, maka tumpang tindih kewenangan justru memperluas lingkup kerja sama yang solid untuk mencegah dan menangkal tindak pidana korupsi,” tuturnya.

Sementara itu, pasal yang menekankan kepolisian berwenang melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen lebih ditujukan untuk mengatasi Kejahatan Lintas Negara (Transnational Organized Crimes) dan tindak pidana Perusahaan Multinational (Multinational Corporation).

“Objek penyadapan berhubungan dengan keamanan nasional non-kamtibmas. Berbeda dengan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan intelijen oleh TNI lebih ditujukan untuk kontra intelijen dan spionase yang dilakukan oleh agen-agen rahasia negara lain. Segala sesuatunya harus dalam koordinasi Badan Intelijen Negara,” papar Nuning.

Dirinya juga tidak sependapat dengan revisi UU TNI yang disebut berpotensi mengembalikan semangat dwifungsi. Menurut Nuning, penugasan prajurit TNI dan Polri di lingkungan kementerian dan lembaga sejalan dengan permintaan kebutuhan untuk memanfaatkan semua SDM atau warga negara. “Berbeda dengan Dwifungsi ABRI yang bertujuan menduduki jabatan politik untuk melanggengkan tampuk kekuasaan. Penugasan prajurit TNI dan Polri di berbagai instansi pemerintah justru menunjukkan tidak ada dikotomi dalam pembangunan nasional,” ujarnya.

Selain itu, Nuning berpandangan revisi UU TNI juga ditujukan untuk memperjelas hubungan antara Mabes TNI dan Kemenhan ketika negara dalam kondisi damai, krisis, darurat, dan perang berikut anggarannya. “Garis komando dan birokrasi antara Panglima TNI dan Menhan kepada presiden juga lebih jelas sehingga alokasi anggaran pada masa damai, krisis, darurat, dan perang dapat lebih proporsional,” ucap Nuning.

Menurutnya, perpanjangan masa dinas Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan diupayakan mengikuti periode waktu yang konsisten sekitar 3 tahun atau lebih. “Bisa juga lima tahun mengikuti masa bhakti kabinet pemerintahan. Dengan periode waktu tersebut, maka kinerja Panglima TNI dan ketiga Kepala Staf Angkatan dapat lebih efektif dan efisien,” tuturnya.

Agar masa dinas Panglima TNI dan ketiga Kepala Staf Angkatan dapat lebih optimal, maka setiap kandidat harus disiapkan minimal 10 tahun sebelumnya sehingga pola pergantian Panglima TNI dari ketiga matra Angkatan dapat berjalan. “Pola pergantian Panglima TNI seperti ini tentu saja membutuhkan usia pensiun yang lebih tertata guna memenuhi kelengkapan Tour of Duty (ToD) dan Tour of Area (ToA) sekaligus keseimbangan antara Masa Dinas Dalam Pangkat (MDDP) dan Masa Dinas Perwira (MDP),” pungkasnya.

113

Sentimen: positif (50%)