Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UGM, University of London
Kab/Kota: Malang, Kartini, Yogyakarta, London
Prof Dr Yulianeta, S.Pd., M. Pd: Sastra, Realitas Sosial, dan Kesetaraan Gender
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Sastra adalah ungkapan ekspresi manusia yang dibuat berdasarkan pemikiran, pendapat, pengalaman, hingga perasaan. Ada kalanya, seseorang melihat sastra sebatas karya tulis atau imajinasi.
Bagi Prof Dr Yulianeta, S.Pd., M. Pd, sastra juga merangkap cermin kehidupan yang melukiskan berbagai aspek manusia dan masyarakat. Sebagai bagian integral dari budaya, sastra menangkap kompleksitas pengalaman manusia dan mengajak pembaca untuk merenung, memahami, dan mengkritisi realitas sosial.
Minat penelitian Yulianeta mencakup studi sastra, pembelajaran sastra, budaya, kajian gender, dan Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Sebagai dosen, ia mengampu mata kuliah kesastraan di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, serta Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di Universitas Pendidikan Indonesia.
Selain mengajar, Yulianeta juga aktif dalam membimbing riset sastra dan riset BIPA. Dia juga telah mendapatkan banyak kesempatan penelitian dengan hibah universitas maupun DIKTI, baik melalui skim riset nasional maupun internasional.
Karya-karyanya telah dipublikasikan dalam berbagai media, termasuk jurnal-jurnal nasional dan internasional, prosiding, book chapter, komik, film animasi, video pembacaan puisi, buku-buku kajian sastra dan pembelajaran di perguruan tinggi.
Publikasi terbarunya mencakup topik satir sosial dalam film Indonesia dan Korea, representasi perempuan dalam sastra Indonesia, perkembangan sastra indie, serta pembelajaran BIPA berbasis web dengan memanfaatkan cerita rakyat.
Selain aktif sebagai peneliti dan pengajar, Yulianeta juga sering menjadi narasumber dalam seminar dan konferensi nasional maupun internasional di bidang sastra, budaya, dan BIPA. Ia juga terlibat sebagai editor buku dan reviewer di beberapa jurnal nasional dan internasional.
Kecintaannya terhadap bahasa, sastra, dan budaya Indonesia membawanya untuk mengajar di berbagai universitas di luar negeri, termasuk SOAS University of London, Nanzan University di Jepang, Universitas Kebangsaan Guang Xi di China, UUM di Malaysia, dan Busan University of Foreign Studies di Korea. Sesekali, perempuan yang gemar berkebun, memasak, dan travelling ini, senang menulis dan membaca puisi.
Pada 5 Juni 2024 lalu, Yulianeta dikukuhkan sebagai Guru Besar pada bidang Ilmu Sosiologi Sastra di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia. Dalam pengukuhan itu, ia membacakan orasi ilmiah yang membedah ideologi gender dalam novel Indonesia era reformasi. Dia lantas menghubungkannya dengan langkah inovatif dalam mewujudkan kesetaraan gender dan capaian SDGs.
Sebelum meraih gelar tertinggi di bidang akademik itu, Yulianeta menyelesaikan pendidikan sarjananya pada program studi PBSI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, pendidikan magister pada program studi Pendidikan Bahasa Indonesia dengan konsentrasi sastra pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Negeri Malang. Selanjutnya, ia menyelesaikan pendidikan doktoral di bidang Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Bagaimana ia bisa mengakrabi sastra, jatuh hati terhadapnya, sampai akhirnya memutuskan untuk ke tingkatan yang lebih “serius”, yakni membedah ideologi gender lewat novel-novel Indonesia? Mengapa harus novel Indonesia di era reformasi? Dan, apakah karya sastra juga bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk mencapai kesetaraan gender? Berikut petikan percakapannya, ketika Yulianeta diwawancara oleh Wartawan Pikiran Rakyat Endah Asih Lestari.
Sejak kapan dunia sastra menjadi begitu dekat dengan Anda?
Kecintaan saya terhadap sastra muncul sejak kecil, dimulai dari kebiasaan orang tua yang suka bercerita atau mendongeng. Selain itu, buku bacaan, cerita wayang, dan kesenian tradisional ketoprak membuka imajinasi dan rasa ingin tahu saya. Orang tua juga menyediakan majalah anak-anak seperti Ananda dan Bobo di rumah.
Saat TK, saya sudah menyenangi deklamasi. Di SD, guru-guru memperkuat minat saya dengan buku-buku biografi dan sastra yang kaya nilai kehidupan. Ketika saya bertemu dengan puisi, mulai tumbuh kecintaan membaca puisi dan keberanian untuk tampil di panggung membacakan puisi. Saat remaja, saya semakin terpesona dengan karya sastra, yang memberikan wawasan tentang keragaman budaya dan perspektif.
Di masa kuliah, saya mendalami teori dan analisis sastra, menyadari kekuatannya sebagai alat untuk memahami dan mengkritisi realitas sosial. Kecintaan terhadap sastra ini terus berkembang seiring waktu, tidak hanya sebagai hobi tetapi juga sebagai bidang keahlian dan karir.
Mengajar dan meneliti sastra memungkinkan saya untuk berbagi kekayaan sastra dengan generasi muda dan mendorong mereka untuk menemukan makna dan inspirasi dalam setiap kata dan cerita. Sastra telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup saya, memberikan kebahagiaan, kedalaman, dan tujuan yang selalu saya syukuri.
Secara khusus, apa makna sastra bagi Anda?
Melalui narasi yang mendalam, sastra mampu mengeksplorasi berbagai perspektif, menyampaikan emosi dan konflik batin, serta berfungsi sebagai alat edukasi yang kuat. Sastra membangkitkan kesadaran, empati, dan inspirasi untuk perubahan sosial.
Bicara tentang korelasi sastra, bagaimana pandangan Anda mengenai kedudukannya terhadap kondisi sosial masyarakat dan pendidikan?
Sebagai refleksi dan kritik terhadap kondisi sosial, sastra berperan dalam memperjuangkan keadilan, mengungkapkan ketidakadilan, dan mendorong transformasi sosial. Sastra membantu mempertahankan dan mengembangkan identitas budaya, sekaligus menjadi media untuk diskusi dan debat tentang masalah-masalah sosial yang mendesak.
Dalam konteks pendidikan, sastra mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kemampuan analitis, dan empati. Secara keseluruhan, sastra tidak hanya mencerminkan kehidupan tetapi juga membentuk dan mengubahnya, menjadikannya elemen yang vital dalam memahami dan memajukan masyarakat.
Sastra juga memainkan peran penting dalam kaitannya dengan ideologi gender. Dalam berbagai kesempatan, sastra juga mengambil bagian dalam praktik diskursus di tengah masyarakat, layaknya media massa. Bagaimana pandangan Anda mengenai hal ini?
Dalam beberapa kasus, ketidakadilan gender terhadap perempuan bahkan tercermin dalam karya sastra, seperti novel. Sastra sering kali merepresentasikan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Sastra, sebagai cerminan masyarakat dan peniruan perilaku manusia, cenderung merefleksikan diskriminasi gender yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra dapat menjadi objek penelitian yang menarik untuk memahami perilaku masyarakat sekaligus konstruksi ideologi yang melatarinya.
Bagaimana hal itu bisa dimungkinkan?
Dalam bidang ideologi gender, sastra berperan sebagai medium untuk mengkritisi dan mendekonstruksi norma-norma patriarkal yang telah lama mengakar dalam masyarakat. Sastra memungkinkan penulis untuk mengeksplorasi dan mengungkap ketidakadilan gender, serta memberikan suara kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Melalui karakter dan alur cerita, sastra dapat menggambarkan perjuangan, harapan, dan aspirasi laki-laki dan perempuan, mendorong pembaca untuk mempertanyakan dan menantang bias gender yang ada.
Dalam novel, bagaimana biasanya ketidakadilan gender itu muncul?
Di Indonesia, ketidakadilan gender muncul dalam bentuk peminggiran (marjinalisasi), dominasi, pembawahan (subordinasi), dan kekerasan terhadap perempuan. Peminggiran yang tercermin dalam novel merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender. Salah satu akar ketidakadilan gender sesungguhnya terjadi karena lemahnya bargaining position kaum perempuan di hadapan kaum laki-laki.
Untuk menghapus eksploitasi, diskriminasi, dan marjinalisasi perempuan pada masa mendatang, pemberdayaan perempuan (empowerment) merupakan jalan terbaik. Inti pemberdayaan bukan pada penciptaan perempuan yang lebih unggul daripada laki-laki dan dominasi balik yang satu terhadap yang lain, tetapi lebih pada kapasitas perempuan untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal.
Para pengarang novel era reformasi seperti Ayu Utami, Abidah El Khalieqy, Djenar Maesa Ayu, Sindhunata, Seno Gumira Ajidarma, Anindita S. Thayf, Oka Rusmini, dan Ramayda Akmal menjadi suara bagi protes perempuan terhadap hegemoni ideologi gender yang masih berlaku dalam masyarakat.
Mereka menghargai perempuan yang mandiri dan cerdas, serta mengapresiasi keteguhan perempuan yang menentang norma-norma patriarkis dalam mengejar impian dan aspirasi mereka.
Meskipun telah banyak kemajuan, perjuangan feminis untuk meraih persamaan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan masih harus terus berlanjut. Nilai-nilai patriarki masih tetap kuat dan melekat dalam struktur sosial masyarakat. Menurut Anda, apa hal krusial yang bisa diupayakan?
Pendidikan memegang peran penting dalam membangun kesadaran kritis perempuan terhadap ketidakadilan gender. Melalui pendidikan, perempuan diharapkan menjadi subjek yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang potensi diri dan posisinya dalam keluarga dan masyarakat. Kesadaran kritis ini akan mendorong terwujudnya kesetaraan gender, di mana laki-laki dan perempuan dapat memberikan kontribusi yang setara dalam proses pembangunan bangsa.
Dengan demikian, pendidikan yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dan pembangunan kesadaran kritis mereka sangat penting dalam memajukan perjuangan menuju kesetaraan gender. Hanya melalui pemahaman yang mendalam dan kesadaran yang tinggi, perempuan dapat melangkah maju dan meraih kesetaraan yang sejati dalam masyarakat.
Dan, apakah kesetaraan itu juga bisa diupayakan melalui karya sastra?
Karya sastra merupakan salah satu bentuk pendidikan yang mampu mengajarkan tanpa menggurui, mendidik tanpa memerintah, dan memberikan contoh tanpa harus secara eksplisit menunjuk. Dengan memanfaatkan karya sastra, tantangan-tantangan yang muncul dalam birokrasi pendidikan formal, serta kekakuan model pembelajaran yang monoton, dapat diatasi.
Dalam konteks sastra Indonesia era reformasi, penggunaan karya sastra sebagai media pendidikan gender memiliki relevansi yang kuat. Sastra pada masa reformasi tidak hanya merefleksikan perubahan sosial dan politik, tetapi juga menggambarkan pertarungan dan eksplorasi ideologi gender.
Melalui karya sastra, ideologi-ideologi terkait gender dapat disampaikan secara lebih halus dan kompleks, memungkinkan pembaca merenungkan dan menginternalisasikan pesan-pesan tersebut tanpa harus mengonfrontasinya secara langsung. Sastra menjadi instrumen efektif dalam mempromosikan kesetaraan gender dan mengatasi ketidakadilan gender dalam masyarakat.
Apa sebenarnya latar belakang pemilihan tema orasi ilmiah mengenai ideologi gender dalam novel sastra Indonesia pasca-reformasi yang dipilih untuk dibacakan dalam pengukuhan guru besar? Mengapa timeline pascareformasi yang dipilih?
Pemilihan tema ini dilatarbelakangi oleh perubahan signifikan yang terjadi di Indonesia pascareformasi, termasuk dalam dunia sastra. Era reformasi membuka ruang bagi penulis untuk lebih bebas mengekspresikan ide-ide mereka, termasuk isu-isu yang sebelumnya dianggap tabu seperti gender dan kesetaraan.
Novel-novel pascareformasi sering kali mengangkat isu-isu sosial yang kompleks, termasuk ideologi gender, sehingga menjadi cermin realitas sosial dan alat untuk mengadvokasi perubahan. Sebagai seseorang yang berkonsentrasi di bidang sosiologi sastra, saya telah melakukan berbagai riset yang menelaah hubungan antara sastra dan masyarakat.
Penelitian saya berfokus pada bagaimana karya sastra mencerminkan, mengkritisi, dan mempengaruhi struktur sosial serta dinamika kekuasaan dalam masyarakat. Melalui analisis novel-novel pasca-reformasi, saya ingin menunjukkan bagaimana sastra dapat menjadi medium yang kuat untuk mengkritisi patriarki dan mendukung kesetaraan gender untuk menciptakan semesta yang lebih baik dalam masyarakat.
Secara singkat, hal atau penyadaran apa yang ingin disampaikan lewat penelitian tersebut?
Penelitian ini ingin menyampaikan pentingnya kesadaran akan ketidakadilan gender yang masih terjadi dalam masyarakat kita dan bagaimana sastra dapat berfungsi sebagai alat literasi kritis dan edukatif untuk mempromosikan kesetaraan gender.
Melalui analisis ideologi gender dalam novel-novel pasca-reformasi, saya berharap dapat menginspirasi pembaca untuk lebih peka terhadap isu-isu gender, mengkritisi norma-norma patriarkal, dan mendukung perubahan menuju masyarakat yang lebih adil dan setara.
Menurut pengamatan Anda, bagaimana ideologi gender direpresentasikan dalam karya sastra sebelum masa reformasi, dan perbedaannya pada masa-masa dekade 2020an?
Pada masa sebelum reformasi, karya sastra seringkali merefleksikan ideologi patriarki yang dominan. Karakter perempuan sering digambarkan dalam peran tradisional yang terbatas pada ranah domestik. Ideologi gender dalam sastra pra-reformasi cenderung memperkuat stereotip gender dan jarang menantang norma-norma sosial yang ada.
Terdapat juga karya sastra yang menyuarakan kesetaraan, hanya saja masih terbatas dan lebih menggambarkan dominannya ideologi patriarki. Sementara, pada dekade 2020an, ada peningkatan kesadaran dan keberanian dalam mengeksplorasi isu-isu gender dalam sastra.
Adakah hubungannya dengan keleluasaan penulis dalam mengangkat topik-topik tertentu seperti kesetaraan gender, identitas seksual, dan hak-hak perempuan?
Ya. Representasi gender menjadi lebih beragam dan kompleks, dengan karakter perempuan yang kuat dan mandiri, serta narasi yang mengkritisi, bahkan menentang patriarki dan mendorong kesetaraan. Dengan demikian, perkembangan representasi ideologi gender dalam sastra Indonesia mencerminkan perubahan sosial dan budaya yang terjadi dalam masyarakat, dari penguatan patriarki menuju kesadaran dan perjuangan untuk kesetaraan gender yang tentunya membutuhkan waktu yang tidak instan.
Perjuangan untuk kesetaraan gender adalah perjuangan panjang yang membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan inovasi. Dengan memanfaatkan sastra sebagai alat literasi kritis dan edukatif, kita dapat mendukung transformasi sosial yang diperlukan untuk mencapai kesetaraan gender dan mewujudkan cita-cita SDGs.
Sejauh ini, apa karya sastra yang begitu dikagumi, dan mengapa?
Sebenarnya setiap karya sastra memberi pelajaran yang bermakna. Misalnya saya mengagumi "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini tidak hanya menggambarkan kompleksitas masyarakat kolonial Hindia Belanda pada masa itu, tetapi juga menghadirkan narasi yang dalam tentang perjuangan individu dalam menghadapi kekuatan politik dan sosial yang menghimpit.
Pramoedya mampu mengungkapkan aspek-aspek kehidupan manusia yang mendalam dan penuh makna melalui karakter-karakter yang kuat dan kompleks dalam Bumi Manusia. Melalui karya-karyanya yang lain misalnya Panggil Aku Kartini Saja, Midah Si Manis Bergigi Emas, Gadis Pantai, dia tidak hanya menghibur pembaca, tetapi juga mengajak mereka untuk merenung tentang keadilan, martabat manusia, dan perjuangan melawan penindasan.
Selain itu, saya sangat senang membaca cerita pewayangan. Selain mengingatkan saya pada almarhum ayah yang senang berkisah tentang wayang. Cerita ini tidak hanya menawarkan kisah epik tentang keberanian, cinta, dan pengabdian, tetapi juga mengandung nilai-nilai moral dan filosofis yang mendalam.
Melalui petualangan tokohnya, kita dapat belajar tentang pengorbanan, kejujuran, dan kesetiaan. Cerita pewayangan ini telah menginspirasi dan menghibur banyak orang selama berabad-abad, dan masih relevan hingga saat ini karena pesan-pesannya yang universal dan abadi.
Setelah dikukuhkan sebagai guru besar, apa saja hal-hal lain yang ingin dilakukan dalam dunia akademik atau bidang lainnya?
Insya Allah, setelah dikukuhkan sebagai guru besar, tentunya tetap terus melanjutkan Tridharma Perguruan Tinggi yakni mengembangkan penelitian, pembinaan mahasiswa dan dosen muda, pengembangan kurikulum, kolaborasi internasional, dan pengabdian masyarakat,.***
Sentimen: positif (100%)