Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Jayapura, Manado, London
Tokoh Terkait
All Eyes on Papua dan Dukungan Rakyat Indonesia, Kenapa Kita Baru Peduli dan Membuat Trennya Sekarang?
Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional
PIKIRAN RAKYAT - Slogan 'All Eyes on Papua' mencuat tidak lama setelah ramai tren 'All Eyes on Rafah' yang disebarkan melalui fitur Add Yours di Instagram Story. Komunitas adat dan generasi muda Papua pun berharap gerakan di sosial media ini mendorong solidaritas nyata terhadap isu Papua.
Akan tetapi, mengapa kita terkesan baru peduli dan membuat tren All Eyes on Papua baru-baru ini? Unggahan dengan slogan ini beredar di Instagram awal Juni 2024 lalu, beberapa hari setelah kemunculan foto yang diproduksi aplikasi kecerdasan buatan (AI).
Foto berslogan “All Eyes on Papua” diciptakan AI. Foto hitam-putih tersebut menampilkan sebuah mata dan empat paragraf penjelasan situasi masyarakat Awyu. Terdapat pula tautan menuju situs petisi publik change.org.
Petisi itu mengajak publik mendorong Mahkamah Agung (MA) mencabut izin lingkungan perusahaan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari. Izin yang diperoleh korporasi itu dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Papua.
Dengan izin tersebut, PT Indo Asiana Lestari berhak menggunduli hutan yang diklaim sebagai tanah adat oleh masyarakat Awyu.
Munculnya Tren 'All Eyes on Papua'Unggahan “All Eyes on Papua” beredar di dunia maya tak lama setelah aksi sejumlah perwakilan Suku Awyu di kantor Mahkamah Agung, Jakarta, pada 27 Mei 2024 lalu. Bersama beberapa lembaga seperti Greenpeace dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang mendampingi mereka, sejumlah perwakilan Suku Awyu datang mengenakan pakaian adat.
Mereka melantunkan nyanyian, menari, dan membentangkan poster bertuliskan ‘Selamatkan Hutan Adat Papua dan ‘Papua Bukan Tanah Kosong’. Suku Awyu menggelar aksi di depan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu karena gugatan mereka terhadap izin lingkungan PT. Indo Asiana Lestari kini berada di tingkat kasasi.
Dalam kurun waktu yang tidak ditentukan, para hakim MA nantinya akan memutuskan apakah akan menerima gugatan itu atau kembali memenangkan perusahaan kelapa sawit tersebut.
Suku Awyu sebelumnya kalah di dua tingkat peradilan, yaitu di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada November 2023 dan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Manado pada Maret 2024.
Setelah hampir sepekan, foto berslogan “All Eyes on Papua” itu juga telah diunggah oleh sejumlah figur publik dengan puluhan hingga jutaan pengikut di Instagram. Salah satunya adalah pemain tim nasional sepakbola Indonesia yang bermain di Liga Belgia, Sandy Walsh.
Berdasarkan riset Yayasan Pusaka Bentala Rakyat pada 2023, sepanjang 2001 hingga 2019 tutupan hutan alam di seluruh Tanah Papua menyusut 663.000 hektare.
Boven Digoel, wilayah tempat Suku Awyu tinggal, adalah kabupaten dengan tingkat deforestasi tertinggi kedua di Papua selama periode itu. Setidaknya 51.000 hektare hutan di Boven Digoel telah gundul atau berubah fungsi, merujuk riset tersebut. Luas itu setara setengah area London.
Tidak ada data dari pemerintah yang tersedia untuk publik dan dapat dijadikan sebagai pembanding riset Pusaka.
Dari aspek kesehatan, berbagai data, termasuk yang dikeluarkan pemerintah juga memperlihatkan persoalan meluas dan menahun di Papua, seperti kasus gizi buruk, penularan HIV/AIDS, hingga kematian ibu melahirkan.
Sementara itu, persoalan hukum yang bersinggungan dengan isu politik juga disorot berbagai pihak. Aspirasi memerdekakan diri dari Indonesia dari tahun ke tahun terus bermunculan dari berbagai pihak di Papua.
‘Momentum yang Dinantikan’Juru kampanye Greenpeace sekaligus advokat Suku Awyu di pengadilan, Sekar Banjaran Aji menyebut unggahan "All Eyes on Papua" adalah momentum yang selama ini dinantikan oleh seluruh pihak yang berkoalisi ”menyelamatkan hutan Papua”.
Apalagi, deforestasi di Papua masih terus berlangsung hingga saat ini. Merujuk data Greenpeace pada 2021, deforestasi di Provinsi Papua meluas hingga 16.000 hektare.
Adapun, empat provinsi yang baru dibentuk pada 2022 disebut Sekar berpotensi kehilangan hutan, masing-masing sekitar 4.000 hektare dalam waktu dekat ini.
“Sebagai advokat, saya benci sekali menyebut bahwa kondisi hukum Indonesia saat ini jauh dari kata ideal,” ucap Sekar Banjaran Aji.
“Oleh karenanya, dukungan publik lewat petisi, amicus curiae, dan desakan pada instansi penegak hukum serta pemerintah di media sosial menjadi sangat penting,” ujarnya menambahkan.
Sekar Banjaran Aji pun berharap slogan “All Eyes on Papua” terus bergaung di media sosial sampai putusan kasasi sengketa masyarakat adat Awyu melawan PT. Indo Asiana Lestari keluar. Dia yakin, pembicaraan terus-menerus terkait slogan itu bisa mendorong Mahkamah Agung membuat putusan hukum yang adil.
Kenapa Rakyat Indonesia Terkesan Tak Peduli Selama Ini?Perempuan muda asal Kabupaten Manokwari, Papua Barat, Gispa Ferdinanda menilai unggahan “All Eyes on Papua" yang telah dibagikan jutaan kali adalah angin segar bagi orang-orang asli Papua. Menurutnya, slogan yang viral itu bisa mendorong masyarakat untuk mengetahui berbagai persoalan Papua yang selama ini luput diperbincangkan publik.
Suku Awyu bukanlah satu-satunya kelompok adat yang tengah berupaya mempertahankan hak mereka di Papua. Seluruh orang asli Papua menghadapi berbagai persoalan untuk bisa hidup “sesuai harkat dan martabat” di atas tanah mereka.
“Saya sebenarnya kecewa karena perlu waktu selama ini sampai akhirnya teman-teman di wilayah Indonesia lainnya bisa bersolidaritas dengan orang Papua,” kata Gispa Ferdinanda.
“Mengapa teman-teman terkesan sangat sulit untuk bersimpati dan bersolidaritas pada persoalan yang kami alami? Padahal banyak orang bilang Papua adalah bagian dari Indonesia,” tuturnya menambahkan.
Gispa Ferdinanda pun berharap masyarakat tidak berhenti dengan membagikan unggahan “All Eyes on Papua” di media sosial, tapi juga mengedukasi diri dengan membaca kajian serta berita faktual terkait situasi di Papua.
“Teman-teman juga bisa mengikuti akun media sosial yang mengabarkan perjuangan orang asli Papua untuk kehidupan mereka. Ini bukan tentang siapa yang harus paling dikasihani, tapi tentang bagaimana teman-teman bisa ikut bersolidaritas," ujarnya.
“Kami tidak ingin dikasihani. Kami ingin teman-teman ikut berbicara, membagikan apa yang kami perjuangkan, dan mendukung setiap langkah yang kami lakukan untuk hak hidup dan martabat kami,” ucap Gispa Ferdinanda menambahkan.
Sementara itu, Pemuda di Sentani, Kabupaten Jayapura, Terry Anderson menyebut unggahan “All Eyes on Papua” yang viral sebagai aksi solidaritas yang positif karena menguatkan orang asli Papua.
”Persoalan yang kami hadapi banyak dan kompleks. Saya harap ini menjadi awal bagi orang di luar Papua untuk menyuarakan persoalan kami,” katanya.
Serupa dengan Gispa Ferdinanda, Terry Anderson juga mendorong masyarakat untuk mempelajari sejarah sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di Papua. Menjalin hubungan perkawanan dengan orang Papua, kata Terry, juga bisa menjadi langkah nyata mewujudkan solidaritas.
Begitu juga dengan perempuan muda Papua yang kini tengah menjalani studi di Rusia, Atha Hesegem yang menyebut orang asli Papua selama ini ”berjuang sendirian” untuk menuntut pemenuhan berbagai hak dasar.
Merujuk gugatan Suku Awyu ke pengadilan misalanya, masyarakat Indonesia secara umum juga akan menikmati manfaat nyata jika hutan di Boven Digoel batal berubah menjadi perkebunan sawit.
”Saya sangat mengharapkan kepedulian untuk melihat dan merespons berbagai persoalan di Papua, dari soal pendidikan, kesehatan, ketimpangan gender, sampai konflik bersenjata dan pengungsian yang jarang dibicarakan masyarakat Indonesia,” tutur Atha Hesegem.
”Tolong gandeng dan rangkul kami untuk bersama-sama menyuarakan persoalan-persoalan ini,” ucapnya menambahkan, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari BBC.***
Sentimen: positif (100%)