Sentimen
Positif (61%)
7 Jun 2024 : 15.17
Informasi Tambahan

Kasus: PHK

Tokoh Terkait

Sengsara Titin dan buruk rupa penempatan PMI di Taiwan

Alinea.id Alinea.id Jenis Media: News

7 Jun 2024 : 15.17
Sengsara Titin dan buruk rupa penempatan PMI di Taiwan

Diadukan ke otoritas tenaga kerja setempat dan KDEI, bos Titin geram. Suami Titin yang juga bekerja di pabrik yang sama turut kena imbas. Tak lama setelah Titin, Zanuari juga dipecat. 

"Ada korban lagi, selain saya. Cuma belum berani speak up. Sementara ini, baru empat orang yang mau speak up. Kami saat ini sekarang tinggal di shelter (penampungan)," ucap Titin.

Ketua Pimpinan Pusat Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) Karsiwen mengatakan sengsara yang dialami Titin dan sejumlah rekannya tak langka. Menurut dia, penempatan PMI kerap diwarnai praktik-praktik pemerasan dan eksploitasi oleh perusahaan pengirim. 

Sesuai keputusan Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nomor 23 Tahun 2023, biaya penempatan PMI seharusnya tak sampai Rp25 juta. Praktiknya, biaya penempatan bisa membengkak hingga Rp50 juta. 

"Ketika para calon pekerja migran ini minta bukti untuk membayar Rp25 juta itu, banyak perusahaan yang menolak. Kalau enggak mau membayar atau tanda bukti terima Rp50 juta, biasanya mereka menyarankan untuk mencari PT yang lain. Banyak sekali pekerja migran terpaksa mengikuti permintaan agensi," ucap Karsiwen kepada Alinea.id, Kamis (18/4).

Oleh perusahaan, utang biaya penempatan diganti potongan gaji yang tinggi. Karena upah disunat, sebagian PMI bahkan tak bisa mengirim duit ke kampung halam mereka. Supaya PMI patuh, menurut Karsiwen, pihak perusahaan biasanya menahan dokumen-dokumen para buruh migran, semisal ijazah asli, KTP, kartu keluarga, dan surat nikah.

"Mereka (agensi) juga akan mengancam keluarga atau menghubungi keluarga kalau pihak pekerja yang dari Taiwan itu mengalami permasalahan semisal mereka di-PHK sebelum selesai kontrak. Akhirnya, PMI tidak bisa membayar potongan. Banyak sekali yang diteror dan didatangi," ucap Karsiwen. 

Khusus di Taiwan, menurut Karsiwen, derita PMI berlipat ganda lantaran pemerintah Taiwan memperbolehkan agensi setempat mengambil keuntungan dari pelayanan yang mereka berikan dalam penempatan pekerja migran. Karena regulasi itu, biaya penempatan PMI bahkan bisa membengkak hingga dua kali lipat.

Meskipun praktik-praktik overcharging dan eksploitasi PMI oleh perusahaan marak, menurut Karsiwen, tak ada tindakan tegas Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan BP2MI. Perusahaan-perusahaan yang kerap dilaporkan oleh PMI masih tetap terdaftar sebagai agensi resmi penempatan di BP2MI. 

"Tetapi, kenyataannya mereka hanya diam-diam saja, tanpa ada penegakan hukum. Kalau tidak ada monitoring atau penegakan hukum, perusahaan (penempatan PMI) pasti akan terus melakukan praktik tersebut," ujar Karsiwen.

Implementasi UU Perlindungan PMI

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno menilai biaya penempatan buruh migran masih sangat mencekik. Itu karena Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 terkait Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU Perlindungan PMI) belum diimplementasikan tegas. Tertera pada pasal 30 beleid tersebut, calon pekerja migran tidak dibebankan biaya penempatan. 

"Lalu, mandat UU itu untuk mengatur pembiayaan diserahkan kepada BP2MI melalu peraturan badan, sehinggal lahir Perban Nomor 09 Tahun 2019 dan beberapa kepka (keputusan Kepala BP2MI). Struktur pembiayaan yang dimaksud adalah dibiayai oleh negara dan pemberi kerja," ucap Hariyanto kepada Alinea.id, Selasa (28/5).

Persoalannya, pemerintah daerah tak punya anggaran untuk membiayai penempatan PMI. Di lain sisi, banyak perusahaan di negara tujuan juga yang menolak mengeluarkan duit untuk "mengongkosi" PMI. "Khususnya Taiwan," jelas Hariyanto.

Problem lainnya, menurut Hariyanto, layanan terpadu satu pintu yang dimandatkan UU Perlindungan PMI untuk memangkas proses birokrasi penempatan PMI juga belum efektif dan cenderung belum menjadi rencana strategis pemerintah kabupaten atau kota.  

"Masih tinggi ego sektoral di pemerintah daerah, yang kami duga, jadi penghambat implementasi dan ini juga menjadi kebingungan di pemerintah daerah. Walaupun kabupaten yang sudah ada LTSA (layanan terpadu satu atap), masih perlu pembenahan dari segi SDM dan infrastrukturnya," kata Hariyanto.

 

Sentimen: positif (61.5%)