Sentimen
Informasi Tambahan
Hewan: Sapi, Anjing
Institusi: Universitas Indonesia
Kasus: covid-19
Tokoh Terkait
Imran Pambudi
Pemerintah Tingkatkan Kewaspadaan Terkait Kasus Flu Burung Varian Baru H5N2
Medcom.id Jenis Media: News
Jakarta: Kasus flu burung masih menjadi ancaman bagi masyarakat global, tak terkecuali Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan seorang warga berusia 59 tahun menjadi orang pertama di dunia yang meninggal karena flu burung jenis varian baru H5N2 yang sebelumnya tidak terdeteksi pada manusia. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Imran Pambudi mengatakan kasus flu burung di Indonesia terakhir dilaporkan pada 2017. Sejak saat itu, belum pernah dilaporkan lagi kasus flu burung pada manusia di Indonesia. “Untuk kasus terbaru yaitu jenis H5N2 yang terkonfirmasi WHO menyebabkan kematian pertama pada manusia, belum ada laporan kasus baik pada unggas maupun manusia di Indonesia,” ujar Imran kepada Media Indonesia, Jumat, 7 Juni 2024. Imran menegaskan pihaknya akan meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi penyebaran flu burung di Indonesia, terutama jenis H5N2. Dia menjelaskan flu burung memiliki case fatality rate atau angka kematian kasus yang tinggi mencapai 80 persen. “Tingkat keberhasilan pengobatan (flu burung) dipengaruhi oleh deteksi dini dan pengobatan yang dilakukan secepatnya. Pengobatan flu burung juga dapat menggunakan antivirus (oseltamivir), dan pengobatan suportif,” jelas dia. Menurut Imran, pengobatan antivirus untuk flu burung lebih efektif apabila diberikan dalam waktu 2 x 24 jam. Apabila pengobatan terlambat, risiko keparahan dan kematian dapat meningkat. Selain itu, dia mengimbau masyarakat mampu mengenali tanda-tanda atau gejala awal dari penyakit menular ini. “Gejala awal flu burung dapat berupa batuk dan demam dengan suhu 38 derajat celsius, kemudian dapat mengakibatkan kesulitan pernapasan yang menyebabkan kematian. Selain itu, terasa nyeri tenggorok, pilek, sesak napas, dan ada riwayat kontak dengan unggas atau lingkungan yang terkontaminasi,” jelas dia. Imran mengungkapkan kasus flu burung merupakan salah satu zoonosis yang perlu mendapat perhatian meskipun kasus terakhir di Indonesia dilaporkan pada 2017. Kewaspadaan dan kesadaran masyarakat terhadap pencegahan flu burung jenis varian baru tetap perlu ditingkatkan. “Mulai dari mencuci tangan dengan sabun, menggunakan alat pelindung diri apabila menangani/mengolah unggas, dan kemudian mencuci tangan dengan sabun setelah selesai, serta melaporkan unggas mati mendadak secepatnya. Dan apabila mengalami gejala flu burung, maka secepatnya datang ke fasilitas kesehatan,” ujar dia. Melalui rekaman data terbaru, ancaman flu burung masih ada dengan dilaporkannya kasus flu burung pada 2024 oleh WHO Disease Outbreak News (DONs) di China (satu kasus dengan onset pada 30 November 2023), Vietnam (dua kasus), Kamboja (dua kasus), dan Amerika Serikat (satu kasus, riwayat kontak dengan sapi). Selain itu, pada Mei 2024 terdapat informasi di media mengenai kasus flu burung yang terjadi di Australia. Flu burung bersirkulasi pada unggas domestik dan burung liar. FAO, WOAH, dan WHO melaporkan peningkatan kasus flu burung pada mamalia, termasuk deteksi flu burung pada cerpelai, anjing laut dan sapi. Sementara itu, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara dan Pakar ilmu kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, menyampaikan flu burung adalah salah satu penyakit infeksi yang memiliki potensi menimbulkan wabah dan bukan tidak mungkin menyebar antar negara. Menurut dua, ada beberapa faktor yang menyebabkan pemerintah perlu selalu waspada pada flu burung apa pun berbagai jenis. “Karena mulanya terjadi pada unggas, lalu unggas itu di satu sisi dekat dengan manusia (bahkan ada di sekitar rumah) serta di sisi lain mungkin saja dapat terjadi migrasi burung antar negara dengan sekaligus membawa penularan dan penyebaran penyakit,” ungkap dia. Selain itu, Tjandra menjelaskan faktor lain yang harus diperhatikan ialah penularan dapat terjadi kepada manusia dan menimbulkan kematian, seperti yang terjadi di Meksiko dengan jenis flu burung varian baru H5N2. “Flu burung dapat menular ke manusia seperti yang sudah terjadi beberapa kali secara global termasuk di Indonesia. Jika sudah tertular pada manusia, kasusnya dapat menjadi berat dan kematian, gradasinya tergantung jenis flu burung yang menulari, seperti kasus temuan flu burung jenis baru H5N2 di Meksiko,” jelas dia. Menanggapi laporan WHO mengenai kasus flu burung H5N2 yang terjadi di Meksiko, Tjandra mengimbau pemerintah menerapkan konsep Satu Kesehatan (One Health) dalam pelayanan kesehatan yang nyata di lapangan. Menurut dia, penerapan itu jangan hanya berupa panduan kebijakan. “One Health adalah kerja bersama kesehatan manusia, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan. Surveilan lapangan di seluruh pelosok Indonesia untuk mendeteksi kemungkinan adanya varian-varian flu burung ini juga harus diperkuat, baik yang H5N2 ataupun H berapa dan N berapa yang lain,” ungkap dia. Tjandra juga mengimbau pemerintah berpartisipasi aktif dalam komunitas kesehatan global untuk memantau dan mengendalikan agar kejadian H5N2 di Meksiko ini agar tidak memasuki Indonesia. “Kita harus ingat bahwa pandemi sebelum covid-19 adalah Pandemi H1N1, yang kerap dulu disebut Flu Meksiko pula, walaupun istilah itu tidaklah sepenuhnya tepat,” ujar dia. (Devi Harahap)
Jakarta: Kasus flu burung masih menjadi ancaman bagi masyarakat global, tak terkecuali Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan seorang warga berusia 59 tahun menjadi orang pertama di dunia yang meninggal karena flu burung jenis varian baru H5N2 yang sebelumnya tidak terdeteksi pada manusia.Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Imran Pambudi mengatakan kasus flu burung di Indonesia terakhir dilaporkan pada 2017. Sejak saat itu, belum pernah dilaporkan lagi kasus flu burung pada manusia di Indonesia.
“Untuk kasus terbaru yaitu jenis H5N2 yang terkonfirmasi WHO menyebabkan kematian pertama pada manusia, belum ada laporan kasus baik pada unggas maupun manusia di Indonesia,” ujar Imran kepada Media Indonesia, Jumat, 7 Juni 2024.
Imran menegaskan pihaknya akan meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi penyebaran flu burung di Indonesia, terutama jenis H5N2. Dia menjelaskan flu burung memiliki case fatality rate atau angka kematian kasus yang tinggi mencapai 80 persen.
“Tingkat keberhasilan pengobatan (flu burung) dipengaruhi oleh deteksi dini dan pengobatan yang dilakukan secepatnya. Pengobatan flu burung juga dapat menggunakan antivirus (oseltamivir), dan pengobatan suportif,” jelas dia.
Menurut Imran, pengobatan antivirus untuk flu burung lebih efektif apabila diberikan dalam waktu 2 x 24 jam. Apabila pengobatan terlambat, risiko keparahan dan kematian dapat meningkat.
Selain itu, dia mengimbau masyarakat mampu mengenali tanda-tanda atau gejala awal dari penyakit menular ini. “Gejala awal flu burung dapat berupa batuk dan demam dengan suhu 38 derajat celsius, kemudian dapat mengakibatkan kesulitan pernapasan yang menyebabkan kematian. Selain itu, terasa nyeri tenggorok, pilek, sesak napas, dan ada riwayat kontak dengan unggas atau lingkungan yang terkontaminasi,” jelas dia.
Imran mengungkapkan kasus flu burung merupakan salah satu zoonosis yang perlu mendapat perhatian meskipun kasus terakhir di Indonesia dilaporkan pada 2017. Kewaspadaan dan kesadaran masyarakat terhadap pencegahan flu burung jenis varian baru tetap perlu ditingkatkan.
“Mulai dari mencuci tangan dengan sabun, menggunakan alat pelindung diri apabila menangani/mengolah unggas, dan kemudian mencuci tangan dengan sabun setelah selesai, serta melaporkan unggas mati mendadak secepatnya. Dan apabila mengalami gejala flu burung, maka secepatnya datang ke fasilitas kesehatan,” ujar dia.
Melalui rekaman data terbaru, ancaman flu burung masih ada dengan dilaporkannya kasus flu burung pada 2024 oleh WHO Disease Outbreak News (DONs) di China (satu kasus dengan onset pada 30 November 2023), Vietnam (dua kasus), Kamboja (dua kasus), dan Amerika Serikat (satu kasus, riwayat kontak dengan sapi).
Selain itu, pada Mei 2024 terdapat informasi di media mengenai kasus flu burung yang terjadi di Australia. Flu burung bersirkulasi pada unggas domestik dan burung liar. FAO, WOAH, dan WHO melaporkan peningkatan kasus flu burung pada mamalia, termasuk deteksi flu burung pada cerpelai, anjing laut dan sapi.
Sementara itu, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara dan Pakar ilmu kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, menyampaikan flu burung adalah salah satu penyakit infeksi yang memiliki potensi menimbulkan wabah dan bukan tidak mungkin menyebar antar negara. Menurut dua, ada beberapa faktor yang menyebabkan pemerintah perlu selalu waspada pada flu burung apa pun berbagai jenis.
“Karena mulanya terjadi pada unggas, lalu unggas itu di satu sisi dekat dengan manusia (bahkan ada di sekitar rumah) serta di sisi lain mungkin saja dapat terjadi migrasi burung antar negara dengan sekaligus membawa penularan dan penyebaran penyakit,” ungkap dia.
Selain itu, Tjandra menjelaskan faktor lain yang harus diperhatikan ialah penularan dapat terjadi kepada manusia dan menimbulkan kematian, seperti yang terjadi di Meksiko dengan jenis flu burung varian baru H5N2.
“Flu burung dapat menular ke manusia seperti yang sudah terjadi beberapa kali secara global termasuk di Indonesia. Jika sudah tertular pada manusia, kasusnya dapat menjadi berat dan kematian, gradasinya tergantung jenis flu burung yang menulari, seperti kasus temuan flu burung jenis baru H5N2 di Meksiko,” jelas dia.
Menanggapi laporan WHO mengenai kasus flu burung H5N2 yang terjadi di Meksiko, Tjandra mengimbau pemerintah menerapkan konsep Satu Kesehatan (One Health) dalam pelayanan kesehatan yang nyata di lapangan. Menurut dia, penerapan itu jangan hanya berupa panduan kebijakan.
“One Health adalah kerja bersama kesehatan manusia, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan. Surveilan lapangan di seluruh pelosok Indonesia untuk mendeteksi kemungkinan adanya varian-varian flu burung ini juga harus diperkuat, baik yang H5N2 ataupun H berapa dan N berapa yang lain,” ungkap dia.
Tjandra juga mengimbau pemerintah berpartisipasi aktif dalam komunitas kesehatan global untuk memantau dan mengendalikan agar kejadian H5N2 di Meksiko ini agar tidak memasuki Indonesia.
“Kita harus ingat bahwa pandemi sebelum covid-19 adalah Pandemi H1N1, yang kerap dulu disebut Flu Meksiko pula, walaupun istilah itu tidaklah sepenuhnya tepat,” ujar dia.
(Devi Harahap)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(AZF)
Sentimen: positif (50%)