Sentimen
Positif (99%)
4 Jun 2024 : 19.59
Informasi Tambahan

BUMN: PT Taspen, PT Asuransi Jiwasraya

Institusi: ITB

Kab/Kota: Tangerang, bandung, Bogor, Jatinegara, Serang, Cilegon

Program Tapera: Taktik Kutip Duit Rakyat Atas Nama Gotong Royong, Masuk Penipuan

4 Jun 2024 : 19.59 Views 1

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Program Tapera: Taktik Kutip Duit Rakyat Atas Nama Gotong Royong, Masuk Penipuan

PIKIRAN RAKYAT - Pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar menilai pembiayaan Tapera yang mengutip uang dari masyarakat atas nama 'gotong royong' bisa disebut sebagai penipuan. Sebab bagaimanapun, kewajiban menyediakan rumah bagi warga menjadi tanggung jawab pemerintah bukan rakyat.

Kewajiban itu tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, di mana bumi dapat diartikan tanah yang sedianya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dia mencontohkan Singapura yang berhasil menyediakan perumahan untuk pekerjanya karena 80 persen proyek hunian di sana dikuasai oleh pemerintah setempat.

"Jadi enggak ada itu istilah gotong royong, karena kita sudah melakukan itu dengan membayar pajak. Kalau mengutip lagi, penipuan namanya. BPJS saja bisa kok membuat program rusunawa pekerja, tidak dikorup dan jauh lebih bagus," kata Jehansyah Siregar.

Oleh karena itu, dia menilai kebijakan iuran Tapera harus dibatalkan. Sebab, niatnya hanya demi mengutip uang rakyat yang rentan diselewengkan seperti pada program jaminan sosial di Asabri, Jiwasraya, serta Taspen.

Program Tak Masuk Akal

Jehansyah Siregar menyebut program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sesungguhnya tidak masuk akal untuk menyediakan hunian rakyat yang terjangkau.

Ada beberapa alasan yang membuat program Tapera tidak masuk akal. Pertama, merujuk pada besaran potongan yang diwajibkan pemerintah sebesar 2,5 persen hingga 3 persen.

Menurut Jehansyah Siregar, mustahil bisa membeli rumah dengan harga pasaran. Kalaupun ada, lokasi rumahnya tidak terjangkau alias jauh dari kota.

"Secara rasional enggak logis dengan nilai potongan kecil, bisa memiliki rumah. Rumah KPR subsidi yang harga rumahnya Rp180 juta hanya bisa di atas tanah tidak lebih dari Rp250.000 per meter," ucapnya.

"Di Ciseeng (Bogor) saja enggak dapat harga segitu. Jadi saya rasa lokasi rumah Tapera ini bakal makin jauh. Di Tangerang, bisa-bisa ke Serang atau Cilegon nanti, kan itu bukan solusi untuk rumah terjangkau," tutur Jehansyah Siregar menambahkan.

Alasan kedua, karena pemerintah hanya mengumbar skema pembiayaan rumah tanpa melakukan intervensi apapun atas penguasaan tanah, harga, dan pengembangan kawasan baru. Di banyak negara, langkah pertama yang dilakukan pemerintah untuk membuat hunian terjangkau bagi warga harus menciptakan produksinya terlebih dahulu.

Caranya, bisa dengan membeli tanah-tanah terlantar dengan harga murah, kemudian menyusun tata ruang, termasuk huniannya. Jika sudah punya rancangan, langkah selanjutnya memperkuat pengembang publik seperti Perumnas di tiap-tiap daerah. Baru terakhir memikirkan pembiayaan yang tepat.

"Jangan jadi tukang kutip uang aja pemerintah. Bicara perumahan, pinggirkan dulu kutip mengutip uang, housing dulu baru finance," kata Jehansyah Siregar.

"Contoh di Soreang (Kabupaten Bandung), ada lahan 300 hektare tapi tidak ada satu pun proyek (hunian) pemerintah. Semua dikerjakan pengembang swasta, padahal jalan tolnya dibangun pemerintah," ujarnya.

"Selain itu, harus jelas juga Tapera ini punya pengalaman tidak dari sisi pembangunan rumah dan pengembangan kawasan atau kota baru. Ini kan nol besar semua, tiba-tiba bicara tabungan," tuturnya menambahkan.

Alasan ketiga, kalaupun pemerintah berniat untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog di Jakarta, jalan keluar yang seharusnya dilakukan adalah membangun hunian terjangkau berupa hunian Transit Oriented Development (TOD) seperti apartemen sewa murah yang dekat dengan transportasi publik.

Akan tetapi, hunian TOD di kota besar seperti Jakarta mayoritas dikuasai oleh pengembang swasta, bukan pemerintah.

"Untuk kota metropolitan, mengatasi backlog dan permukiman kumuh di tengah kurangnya ruang terbuka hijau harus membangun rusunawa rasa apartemen minimal kayak Rusunawa Jatinegara Barat, itu harus diperbanyak," ujar Jehansyah Siregar.

"Ini kan enggak ada hunian TOD yang sewa murah," ucapnya menambahkan.

Alasan Pemerintah Membuat Tapera

Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho menjelaskan program iuran Tapera ditujukan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan mencapai 9,95 juta anggota keluarga.

Sementara kemampuan pemerintah untuk menyediakan rumah sangat terbatas. Oleh karena itu, implementasi Tapera dinilai menjad salah satu jalan yang mampu mengatasi persoalan tersebut.

"Pertumbuhan demand (permintaan) tiap tahun 700.000 sampai 800.000 keluarga baru yang tidak punya rumah. Jadi kalau mengandalkan pemerintah saja tak akan terkejar backlog-nya," tutur Heru Pudyo Nugroho.

"Makanya perlu ada grand design yang melibatkan masyarakat bersama pemerintah, bareng. Konsepnya bukan iuran, (tetapi) menabung," ujarnya menambahkan.

Heru Pudyo Nugroho menambahkan pekerja yang sudah punya rumah maka sebagian tabungannya digunakan untuk mensubsidi KPR yang belum memiliki rumah. Itu dilakukan agar bunga kreditnya tetap lebih rendah dari KPR komersial yang saat ini mencapai 5 persen.

"Jadi kenapa harus ikut menabung? Ya prinsipnya gotong royong di UU-nya itu (UU nomor 4 tahun 2016)," ucapnya, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari BBC.***

Sentimen: positif (99.6%)