Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Dewan Pers
Tokoh Terkait
Menyoal Dewan Media Sosial
Kompas.com Jenis Media: Nasional
MENTERI Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi mengaku kementeriannya sedang mempersiapkan dewan media sosial. Dewan ini dicanangkan akan berfungsi layaknya Dewan Pers.
Budi menyebut gagasan ini merupakan usulan dari organisasi masyarakat sipil (OMS) dan UNESCO.
Apa yang sesungguhnya memantik diskursus dewan media sosial ini? Barang apa sebenarnya dewan media sosial ini?
Ekosistem informasi digitalRiset yang dilakukan oleh PR2Media berjudul "Pengaturan Konten Ilegal dan Berbahaya di Media Sosial" (2023) menemukan bahwa mayoritas responden yang merupakan pengguna media sosial di Indonesia (YouTube, Facebook, TikTok, Instagram, dan X) menyatakan sering dan sangat sering menjumpai konten ilegal dan berbahaya di platform media sosial.
Dari 1.500 responden, lima jenis konten yang paling sering dijumpai adalah akun palsu (72,9 persen), ujaran kebencian (67,2 persen), misinformasi/kabar bohong/hoaks (66,4 persen), perundungan (62,4 persen), dan penipuan (57,9 persen).
Temuan senada dapat dilihat dalam riset SAFEnet bertajuk "Ragam Serangan Daring terhadap Kelompok Rentan di Masa Pemilu". Riset itu menunjukkan, dalam momentum pemilihan umum 2014 dan 2019, kelompok rentan selalu menjadi sasaran konten kebencian.
Konten-konten kebencian ini menyasar kelompok perempuan, LGBTIQ+, penyandang disabilitas, aktivis dan jurnalis, oposisi politik, serta masyarakat lain yang aktif menggunakan media sosial.
Konten kebencian disebarkan dengan beragam bentuk, seperti ujaran kebencian, berita bohong, kekerasan berbasis gender online (KBGO), hingga doxxing.
Dua riset di atas tentu mengkhawatirkan, apalagi melihat jumlah pengguna media sosial di Indonesia yang terus meningkat.
Mengutip Direktur Pusat Penelitian Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, informasi yang benar itu bagaikan oksigen bagi demokrasi. Ruang publik yang penuh dengan konten-konten berbahaya bagai gas beracun yang dapat membunuh demokrasi.
Minimnya tanggung jawab platformSayangnya, regulasi yang ada tidak mampu merespons keadaan ini. Regulasi yang ada justru digunakan untuk mengkriminalisasi pengguna secara serampangan.
Ini bisa kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang baru. Keduanya masih mempertahankan pasal-pasal penghinaan, pencemaran nama, ujaran kebencian, dan berita bohong.
Padahal jika kita tilik, ada faktor struktural yang mengamplifikasi konten-konten berbahaya: kapitalisme pengawasan.
Istilah kapitalisme pengawasan diperkenalkan oleh filsuf Amerika Serikat, Shoshana Zuboff pada 2018. Teori ini mengkritisi model bisnis iklan microtargeting yang dijalankan oleh perusahaan platform digital.
Dalam kurun kurang dari 25 tahun, model bisnis ini telah menghasilkan pundi-pundi uang yang sangat besar bagi perusahaan raksasa seperti Google dan Meta. Mereka menjual data perilaku pengguna kepada agregator iklan.
Sentimen: negatif (99.8%)