Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Indonesia
Tokoh Terkait
Ancaman Konflik Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia, Belajar dari Filipina
iNews.id Jenis Media: Nasional
JAKARTA, iNews.id - Konflik atau sengketa perairan Laut China Selatan (LCS) tak bisa dipisahkan dengan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ini karena China masih mengklaim wilayah perairan yang strategis itu, termasuk di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
China mengklaim sebagian besar perairan LCS melalui 9 garis putus-putus, sebelumnya disebut 11 garis putus-putus, atau letter U, yang beririsan dengan wilayah negara-negara Asia Tenggara, yakni Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, serta Indonesia.
Baca Juga
Indonesia Tegaskan Laut China Selatan Harus Jadi Sea of Peace
China sudah mengklaim kedaulatan atas LCS sejak masa lalu. Namun penggunaan garis untuk merepresentasikan batas wilayahnya pertama kali muncul pada 1930-an sebagai respons atas pencaplokan Kepulauan Spratly oleh Indochina Prancis secara sepihak.
Klaim tersebut semakin menjadi-jadi pada 1947 saat pemerintah Republik China menerbitkan peta resmi klaim LCS yang menampilkan 11 garis putus-putus berformasi U. Namun jumlah garis dikurangi menjadi 9 pada 1952 setelah terjadi negosiasi dengan Vietnam terkait kepemilikan Teluk Tonkin.
Baca Juga
Konflik dengan China Memanas, Filipina Akhirnya Beli Kapal Selam
Sejak itu, China terus mempertahankan 9 garis putus-putus sebagai perimeter visual, meski ditentang oleh lima negara Asia Tenggara serta badan-badan internasional. Pengadilan Arbitrase, dalam putusannya terkait tuntutan Filipina pada 2016, juga menolak klaim China.
Apakah China menerima putusan itu? Tentu saja tidak dan akan terus menjadi ancaman yang tak boleh disepelekan oleh negara-negara terdampak.
Baca Juga
China Peringatkan Filipina Jangan Bermain Api
Meski luas wilayah ZEE Indonesia termasuk paling sedikit yang beririsan dengan klaim 9 garis putus-putus China, kewaspadaan tingkat tinggi harus terus diterapkan. Selain memegang prinsip NKRI harga mati dan tak akan melepas sejengkal wilayah pun, perairan yang diklaim China berada di Natuna. Wilayah itu kaya dengan sumber daya alamnya.
Mengambil Pelajaran dari Filipina
Berkaca pada pola dalam konflik antara China dan Filipina, Indonesia patut mengambil pelajaran. Sejak beberapa tahun terakhir kedua negara terlibat ketegangan, dimulai dengan pengerahan banyak kapal-kapal 'milisi nelayan' ke sekitar perairan sengketa Second Thomas Shoal dan Scarborough Shoal. Ada kecurigaan para milisi nelayan itu sudah dipersiapkan untuk menghadapi konflik di wilayah sengketa.
Kapal-kapal milisi nelayan itu mengambil ikan secara semena-mena di perairan sengketa hingga bersinggungan dengan nelayan lokal atau penegak hukum setempat.
Kemudian Pasukan Penjaga Pantai China muncul dengan arogan, mengintimidasi, bahkan berhadapan dengan penegak hukum setempat. Dalam kasus bentrok dengan Filipina, Penjaga Pantai China menggunakan cahaya laser dan menembakkan meriam air bertekanan tinggi ke kapal-kapal logistik yang membawa perbekalan untuk personel Angkatan Laut yang berjaga di wilayah terluar. Dalam satu kejadian pada Desember 2023, salah satu kapal yang ditembak ternyata dinaiki Panglima Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Romeo Brawner.
Akibatnya ada kapal yang mengalami kerusakan mesin akibat semprotan air bertekanan tinggi. Bukan hanya itu beberapa kapal logistik Filipina sengaja ditabrak Kapal Penjaga Pantai China yang ukurannya lebih besar.
Filipina langsung melayangkan protes. Namun insiden itu tak berbuntut panjang, selain karena tak ada korban, China juga tak mengetahui ada orang penting di dalam salah satu kapal yang menjadi target.
Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional Filipina Jonathan Malaya mengatakan, aksi armada China terhadap kapal-kapalnya sebagai eskalasi serius.
“Ini adalah eskalasi serius yang dilakukan para agen Republik Rakyat China,” kata Malaya, saat itu.
Namun peringatan-peringatan itu diacuhkan China. Pada Maret 2024, Kapal Penjaga Pantai China kembali menembakkan meriam air ke kapal Filipina lainnya. Insiden itu melukai empat pelaut termasuk Laksamana Komando Armada Barat Angkatan Laut Filipina.
Teranyar, China memberlakukan larangan mengambil ikan terhadap nelayan Filipina di LCS selama 4 bulan. Filipina jelas memprotes larangan rutin tahunan sepihak itu.
Departemen Luar Negeri (Deplu) Filipina menegaskan, larangan penangkapan ikan setiap tahun hanya meningkatkan ketegangan di LCS seraya menyerukan China untuk menghentikan aktivitas ilegal yang melanggar kedaulatan dan hak-hak berdaulat negaranya.
“Filipina menekankan bahwa penerapan moratorium penangkapan ikan secara sepihak meningkatkan ketegangan di Laut Filipina Barat dan Laut China Selatan,” bunyi pernyataan Deplu Filipina, Senin (27/5/2024).
Krisis dengan Indonesia
Ada beberapa ketegangan melibatkan Indonesia dan China terkait sengketa di Laut Natuna Utara. Pada Juni 2016, nelayan China menangkap ikan di wilayah ZEE Indonesia.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, nelayan-nelayan China menganggap wilayah ZEE Indonesia sebagai tradisional fishing ground atau lokasi penangkapan tradisional mereka. Anggapan para nelayan ini tidak lepas dari dukungan Pemerintah China yang juga menyebut wilayah ZEE Indonesia sebagai traditional fishing ground China.
“Dalam setiap protes Pemerintah China atas tiga insiden selalu disampaikan bahwa para nelayan asal China memiliki hak melakukan penangkapan ikan atas dasar konsep traditional fishing ground,” kata Hikmahanto.
Indonesia, kata dia, dengan tegas menolai konsep 9 garis putus-putus sebagaimana diklaim China karena tidak memiliki dasar dalam hukum internasional.
Setiap kali terjadi konflik di Natuna, Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu), harus selalu menegaskan tak mengakui konsep 9 garis putus-putus karena tidak sah berdasarkan United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Penangkapan yang dilakukan terhadap nelayan China oleh petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta TNI AL harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum dan menegakkan hak kedaulatan Indonesia.
Sikap tegas Indonesia juga ditunjukkan terkait kejadian serupa pada September 2020. Saat itu kapal KN Nipah-321 Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengusir kapal Penjaga Pantai China yang memasuki ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara.
Kemlu RI saat itu juga memanggil Duta Besar China di Jakarta untuk menyampaikan protes atas pelanggaran kedaulatan tersebut. Ketegasan sikap yang ditujukan Indonesia melalui jalur diplomatik dan "kekuatan" bisa memberi sinyal yang tegas bahwa pemerintah tak akan tinggal diam jika wilayah NKRI diusik.
Hikmahanto, dalam keterangannya kepada iNews.id, kembali menegaskan, konflik antara Indonesia dengan China soal perbatasan wilayah tidak akan pernah usai. Peristiwa pada 2020 menunjukkan China tak akan pernah berhenti merongrong wilayah periaran Indonesia atas klaim 9 garis putus-putus dan tentunya traditional fishing grond.
"Bahwa masalah kita dengan China ini tidak akan selesai. Tidak akan pernah selesai sampai akhir zaman. Karena apa? Kita tidak mengakui klaimnya, dia juga tidak mengakui klaim kita," kata Hikmahanto.
Namun kesewenang-wenangan yang dialami Filipina tak boleh terjadi pada Indonesia. Apalagi, China mungkin saja lebih percaya diri untuk mengerahkan kekuatannya ke perairan LCS jauh lebih ke selatan di waktu mendatang, seiring peningkatan postur militer mereka di kawasan.
Editor : Anton Suhartono
Sentimen: negatif (99.8%)