Akhir Perjalanan PayTren Milik Yusuf Mansur, Bermasalah hingga Dicabut Izinnya
Harianjogja.com Jenis Media: News
Harianjogja.com, JOGJA—Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin perusahaan investasi syariah PT Paytren Aset Manajemen (PAM). Perusahaan milik Yusuf Mansur itu terbukti melanggar peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal.
Dalam keterangan OJK, Paytren tidak memenuhi sebagaimana yang dimaksud kondisi pada ketentuan angka 7 huruf a butir 2 jo huruf f butir 1 huruf a, huruf c, huruf d, atas Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-479/BL/2009 tentang Perizinan Perusahaan Efek yang Melakukan Kegiatan Usaha sebagai Manajer Investasi.
OJK juga menemukan fakta bahwa kantor Paytren tidak ditemukan, tidak memiliki pegawai untuk menjalankan fungsi manajer investasi, tidak dapat memenuhi perintah tindakan tertentu, dan tidak memenuhi komposisi minimum Direksi dan Dewan Komisaris.
Ada pula temuan bahwa Paytren tidak memiliki komisaris independen, tidak memenuhi persyaratan fungsi-fungsi manajer investasi, tidak memenuhi kecukupan minimum Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) yang dipersyaratkan, serta tidak memenuhi kewajiban penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak periode pelaporan Oktober 2022.
Dengan dicabutnya izin usaha perusahaan efek sebagai Manajer Investasi Syariah tersebut, maka perusahaan dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi dan/atau Manajer Investasi Syariah. "Diwajibkan untuk menyelesaikan seluruh kewajiban kepada nasabah dalam kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi (jika ada)," tulis dalam keterangan OJK, dikutip Selasa (14/5/2024).
Paytren juga diwajibkan melakukan pembubaran Perusahaan Efek paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari setelah surat keputusan ini ditetapkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.04/2021 terkait Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Dalam pencabutan izin tersebut, Paytren dilarang menggunakan nama dan logo perseroan untuk tujuan dan kegiatan apapun, selain untuk kegiatan yang berkaitan dengan pembubaran perseroan terbatas.
Menanggapi pencabutan izin tersebut, Yusuf Mansur mengaku telah berupaya untuk menyelamatkan bisnis Paytren dengan menjual aset sebelum dicabut OJK. Dia berharap upaya untuk menyelamatkan usaha Paytren akan menjadi ladang pahala.
"Perjuangan menjual itu, tiga tahun lebih, dan menghabiskan juga berbagai energi, enggak selamat juga. Enggak apa-apa. Semoga jadi ibadah dan amal saleh, dan jadi jariyah. Gimana niat. Kan niat dah dicatat Allah. Pengen memajukan ekonomi umat, ekonomi syariah," kata Yusuf.
Yusuf juga mengatakan PayTren tidak memiliki utang seperti kabar yang beredar. Dia mempersilakan kepada seluruh pihak yang bersangkutan untuk mempertanyakan langsung kepada OJK. "Makasih kepada OJK, yang selama ini sudah membantu, memberi kesempatan, ngajarin saya, dan lain-lain kebaikan. Semoga enggak kapok juga dengan ide-ide dan gerakan-gerakan lain," katanya.
Bermasalah SebelumnyaPermasalahan PayTren tidak hanya mencuat pada 2024 ini. Pada 2017 lalu, Bank Indonesia sempat membekukan uang elektronik Paytren. Menurut Gubernur Bank Indonesia waktu itu, Agus Martowardojo, sebuah institusi yang mau masuk bisnis uang elektronik harus tertib minta izin dulu dari Bank Indonesia. Alasannya, Bank Indonesia akan menilai dan meyakini institusi yang mau menghimpun dana dari masyarakat sudah sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI). "Ini menjadi salah satu perhatian dan perlindungan kami kepada konsumen," katanya.
Kala itu, PayTren tidak memenuhi semua syarat tersebut. Sehingga BI membekukan bisnis uang elektroniknya. Namun untuk bisnis e-commerce lainnya dari PayTren tetap bisa melakukan transaksi. Untuk transaksi juga bisa menggunakan tunai, debit, atau yang lainnya.
"Kalau mau menggunakan uang elektronik yang diselenggarakan sendiri, ya harus ikut PBI. Tujuannya juga agar tidak membahayakan konsumen," kata Agus.
Agus menjelaskan, beberapa institusi yang menjalankan uang elektronik merasa apabila izin diperlukan hanya untuk transaksi antar pihak ketiga atau off us. Akan tetapi kalau transaksi intra pihak institusi atau on us tidak perlu izin. "Nah, itu salah, tidak begitu baca aturannya. Kalau institusi yang punya uang elektronik on us, tetapi dia himpun dana hingga di atas Rp1 miliar, ya tetap harus minta izin," katanya.
Kecuali kalau jaringan uang elektronik itu tidak menghimpun dana jumlah besar dan hanya dipakai kalangan sendiri. "Kami bisa pahami itu," kata Agus.
Dia pun mengatakan, dengan telah menghimpun dana masyarakat yang besar, Bank Indonesia harus mengkaji standar operasi dan tata kelola manajemen risiko harus baik. Berdasarkan Surat Edaran BI Nomor 16/11/DKSP tanggal 22 Juli 2014 tentang Penyelenggaraan Uang Elektronik, penerbit uang elektronik wajib mendapatkan izin dari bank sentral jika floating fund atau dana mengendap mencapai Rp1 miliar Adapun, yang mengalami pembekuan bisnis uang elektronik dari institusi nonbank ini bukan hanya Paytren.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sentimen: negatif (95.5%)