Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Dewan Pers
Kab/Kota: Solo
Kasus: HAM, homoseksual
Tokoh Terkait
Aksi Jurnalis Solo Tolak RUU Penyiaran
Gatra.com Jenis Media: Nasional
Solo, Gatra.com - Gabungan berbagai organisasi jurnalis di Solo menyuarakan penolakan terhadap revisi Rancangan Undang-Undang Penyiaran. RUU Penyiaran dinilai memuat banyak pasal problematik.
Koordinator aksi, Mariyana Ricky Prihatina Dewi, mengatakan pentingnya untuk mengampanyekan penolakan RUU Penyiaran. Aturan yang tengah disusun DPR tersebut mengancam iklim demokrasi, kebebasan HAM, dan kebebasan pers di Indonesia. Banyak pasal multitafsir yang berpotensi digunakan sebagai alat kekuasaan.
”Untuk itu kami menekankan pentingnya upaya kolaboratif menjegal RUU Penyiaran ini. Apalagi dampak panjang RUU Penyiaran ini tak hanya bagi kebebasan pers, tapi juga masyarakat secara umum karena membatasi kebebasan sipil dan partisipasi publik,” katanya.
Aksi ini diikuti beberapa organisasi jurnalis di Solo, di antaranya AJI Kota Surakarta/Solo, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Solo, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Solo, Forkom Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Solo, dan sejumlah jurnalis televisi di Solo.
RUU tersebut dinilai problematik dan memberatkan bagi insan pers dan para konten kreator. Pertama, adanya ancaman kebebasan pers lewat larangan jurnalisme investigasi dan ambil alih wewenang Dewan Pers oleh KPI di Pasal 42 dan Pasal 50B ayat 2c.
Kewenangan KPI untuk melakukan penyensoran dan pembreidelan konten di media sosial juga dinilai mengancam kebebasan konten kreator maupun lembaga penyiaran yang mengunggah konten di internet. "Konten siaran di internet wajib patuh pada Standar Isi Siaran (SIS) yang mengancam kebebasan pers dan melanggar prinsip-prinsip HAM Hal itu termuat di pasal-pasal 34 sampai 36," papar Mariyana.
Selain itu, adanya pembungkaman kebebasan berekspresi lewat ancaman kabar bohong dan pencemaran nama baik (Pasal 50B ayat 2K). Menurut Mariyana, Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran, Pasal 14 dan Pasal 15 pada UU No 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat (1) tentang pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada 21 Maret 2024 lalu.
"Mengapa poin kabar bohong dan pencemaran nama baik masuk kembali di RUU Penyiaran?" katanya.
RUU itu juga dianggap melanggengkan kartel atau monopoli kepemilikan lembaga penyiaran. "Pada draf RUU Penyiaran ini menghapus pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran no 32/2002, di mana pasal-pasal ini membatasi kepemilikan TV dan radio. Hilangnya pasal-pasal ini akan mempermulus penguasaan TV dan Radio pada konglomerasi tertentu saja," ujarnya.
Draf RUU Penyiaran ini melarang tayangan yang menampilkan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender seperti di pasal 50B ayat 2G. "Pasal ini selain diskriminatif, juga akan menghambat beberapa ekspresi kesenian tradisional maupun modern baik di TV, radio maupun internet," kata Mariyana.
Untuk itu, aksi yang dilakukan di berbagai daerah ini bisa menjadi perhatian publik.”Harapannya bisa sampai ke rapat paripurna,” katanya.
Sementara itu, Ketua SIWO PWI Solo, Ronald Seger Prabowo, menambahkan, RUU Penyiaran ini bisa mengancam kebebasan pers. Menurutnya, RUU Penyiaran ini memiliki niatan untuk membelenggu kebebasan pers dengan beberapa pasal problematik.
”Salah satunya masuknya KPI dalam hal sengketa. Selama ini sengketa pers ditangani oleh Dewan Pers. Hal itu berpotensi masuk ke ranah hukum untuk disidangkan,” ujarnya.
26
Sentimen: negatif (99.8%)