Sentimen
Positif (100%)
9 Mei 2024 : 12.57
Informasi Tambahan

BUMN: Perum BULOG

Event: Rezim Orde Baru

Kab/Kota: Gresik, Roma, Palembang

Gak Sangka! Ide Besar Soeharto Dipakai India dan Sukses Berat

9 Mei 2024 : 19.57 Views 1

CNBCindonesia.com CNBCindonesia.com Jenis Media: News

Gak Sangka! Ide Besar Soeharto Dipakai India dan Sukses Berat

Jakarta, CNBC Indonesia - Era kepemimpinan Soeharto atau saat zaman order baru banyak meninggalkan prestasi. Salah satunya swasembada pangan.

Hal tersebut ternyata menjadi inspirasi bagi banyak negara, khususnya pada kebijakan pertanian. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan bahkan menyebut cara India dalam mengelola pertanian saat ini mirip seperti cara Orde Baru.

Hal paling mengejutkan, rahasia ini ternyata pakai strategi yang 'tak asing' di telinga. Berikut ini cerita lengkapnya.

-

-

Sebagaimana diketahui India merupakan pengekspor beras terkemuka di dunia, menyumbang lebih dari 40% perdagangan beras global, serta produsen terbesar kedua setelah China.

Zulkifli Hasan mengungkapkan bahwa pertanian di India itu menggunakan koperasi bukan konglomerasi. Dari sisi pupuk India memutuskan tidak pakai pupuk pabrik dan itu dibuat oleh koperasi-koperasi didukung dengan penelitian.

"India 1,4 miliar orang bisa surplus, lebih. Saya tanya Kementerian Perdagangannya, semua pakai koperasi, gak konglomerasi, seluruh pertanian koperasi. Pupuk dia gak pakai pabrik pupuk kaya kita, tapi pupuk dibuat oleh koperasi-koperasi, tapi penelitian oleh pemerintah. Pupuk pakai pil segini bisa untuk 2 hektare dikasih air, diproduksi koperasi-koperasi," kata Zulhas dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, beberapa waktu lalu.

Sudah tak diragukan lagi, program ketahanan pangan era Soeharto ini begitu dikenal dan terkenang hingga kini. Kebijakannya masa itu diakui oleh Menteri Pertanian periode 2004-2009 Anton Apriyanto dengan banyak mengadpsi program-program semasa Orde Baru. Saat itu, tugas Kementerian pertanian hanya menyatukan kembali puing-puing yang berserakan yang sudah dibangun Soeharto.

Soeharto mengawali masa pemerintahannya pada 1966, Ia memprioritaskan sektor agraria dan mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengarah ke revolusi pangan. Hal ini ditempuh karena kemiskinan dan kelangkaan pangan menjadi pemicu sekaligus pemantik munculnya krisis politik di Indonesia.

Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur pertanian. Sejumlah waduk, bendungan, dan irigasi dibangun. Pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasemabda pangan merupakan fokus tersendiri dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto.

Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.

Pada masa pemerintahannya, banyak dikembangkan institusi-institusi yang mendukung pertanian, mulai dari koperasi yang melayani kebutuhan pokok petani dalam usaha agribisnisnya, Bulog yang menampung hasil dari petani, institusi penelitian seperti BPTP yang berkembang untuk menghasilkan inovasi untuk pengembangan pertanian.

Salah satu produknya yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW), hingga berbagai bentuk kerjasama antar lembaga yang terkait penyediaan sarana prasaran yang mendukung pertanian seperti irigasi dan pembangunan pabrik pupuk.

Penyediaan sarana penunjang, seperti pupuk, diamankan dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Para petani dimodali dengan kemudahan memperoleh kredit bank. Pemasaran hasil panen mereka dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan.

Diperkenalkan juga manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras.

Saat itu budidaya padi di Indonesia merupakan yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk dibangun. Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.

Teknologi pertanian juga diperkenalkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani. Selain program penyuluhan, kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu program pertanian Orde Baru yang khas, karena menyuguhkan temu wicara langsung antara petani, nelayan, dan peternak dengan menteri atau Presiden Soeharto langsung.

Hampir tidak ada pembangunan waduk-waduk besar. Era Seharto juga membangun infrastruktur perbenihan, pengamatan, dan pengendalian hama. Banyak peninggalan Presiden Kedua Indonesia itu yang sangat bermanfaat bagi pembangunan pertanian selanjutnya.

Di era Soeharto, menempatkan upaya memenuhi kebutuhan pangan pokok tanpa harus impor, sebagai fokus pembangunan di masa pemerintahannya."Waktu itu, ada tekad yang kuat dari pemerintah untuk berswasembada beras.

Selain tekad, kebijakan, program, dan organisasi pelaksana dari pusat hingga ke daerah, Soeharto menyediakan sumber daya manusia, yang relatif lebih pintar dengan menghasilkan sarjana-sarjana pertanian yang akan diterjunkan melaksanakan dan mendukung program tersebut, baik di lapangan maupun di lembaga-lembaga penelitian dan kampu. Era Soeharto juga menyediakan sumber dana yang besar untuk menyukseskan program menuju swasembada pangan.

Di era ini pula, Soeharto dinilai suskes memobilisasi masyarakat, terutama petani untuk bersama-sama meningkatkan produksi pertanian. Saat itu pula, kita bisa dikatakan beruntung mendapatkan benih unggul melalui program revolusi hijau saat itu.

Soeharto menangkap revolusi hijau dengan tekad, dirumuskan dan dituangkan dalam kebijakan dan program, dicetak melalui institusi, kemudian disediakan SDM dan dana serta mobilisasi masyarakat petani.

Program kerja pertanian Pak Harto berbuah prestasi. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraria pengimpor beras terbesar pada 1966, mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri melalui swasembada beras pada 1984. Pada 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras, sementara pada 1984, bisa mencapai 25,8 juta ton beras.

Kesuksesan ini mengantarkan Pak Harto diundang berpidato di depan Konferensi ke-23 FAO (Food and Agriculture Organization) alias Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia), di Roma, Italia, 14 November 1985.

Mengutip dari pusat data Jenderal Besar HM Soeharto, Wakil Presiden M Jusuf Kalla (2004-2009) juga menilai Presiden Soeharto berjasa besar di bidang pembangunan ekonomi dan pertanian karena mampu menurunkan tingkat inflasi dari 650% menjadi 12% dalam beberapa tahun pertama kepemimpinannya.

Selain itu, Pak Harto juga punya andil besar dalam pembangunan irigasi pertanian yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Bahkan sampai saat ini, kata Kalla, belum ada presiden yang mampu menandinginya.

Presiden Soeharto pernah mengatakan bahwa "Food is my last defence line". Kebijakan pangan pada masa ini sebenarnya sudah hampir mendekati kategori kemandirian pangan. Hanya saja, terdapat beberapa indikator yang belum terpenuhi secara keseluruhan. Dengan kata lain, kebijakan pangan era Soeharto belum mampu mencapai kedaulatan pangan.

Apabila dilihat dari definisi ketahanan pangan, kemandirian dan kedaulatan pangan, posisi kebijakan pangan pada masa Soeharto berada pada posisi ketahanan, sesuai dengan definisi ketahanan pangan yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau.

Hal tersebut dilihat dari adanya kebijakan swasembada beras yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

Harga Beras RI Melambung

Harga beras bakal terus melonjak beberapa waktu ke depan. Penyebabnya karena tambahan stok tidak sebanyak biasanya. Sedangkan permintaan diprediksi bakal tetap stabil bahkan meningkat jelang akhir tahun nanti.

Kini, tak ada lagi harga beras yang berkisar di Rp10.000-an. Kecuali beras yang dijual pemerintah lewat Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Perum Bulog. Dalam setahun, harga beras bulan September ini sudah naik 13,78% dibandingkan September 2022.

Dengan kondisi ini, tampaknya masyarakat perlu bersiap-siap dengan kenaikan harga beras yang bakal lebih tinggi lagi.

Jika masyarakat mengikuti siklus padi saat ini hingga akhir September nanti adalah musim panen gadu. Karena produksi lebih rendah dari panen rendeng atau panen raya, harga gabah atau beras akan lebih tinggi.

Kemudian, Oktober nanti masuk musim paceklik. Biasanya Oktober adalah waktu awal tanam, yang akan dipanen akhir Januari atau awal Februari di musim panen raya.

Penyebab utama potensi mundurnya waktu tanam dan panen karena situasi El Nino. Akibatnya kekeringan sudah mulai terjadi di beberapa daerah. Musim kemarau kering bakal terjadi dari wilayah Sumatra bagian tengah hingga Selatan, lalu seluruh pulau Jawa, disusul Bali hingga Nusa Tenggara Timur dan Barat, juga sebagian Papua.

Cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog saat ini dikabarkan sebesar 1,6 juta ton. Mengharapkan pengadaan dari dalam negeri peluangnya kecil.

Saat ini harga gabah dan beras medium sudah di atas Harga Eceran Tertinggi. Sulit buat Bulog dapat gabah atau beras. Sementara Bulog mesti menyalurkan bantuan pangan beras selama 3 bulan mulai September - November 2023. Tiga bulan itu butuh 640-an ribu ton.

Di luar itu Bulog masih perlu mengamankan harga beras lewat SPHP (Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan), yang mungkin sampai akhir tahun bisa habis 150-200 ribu ton. Jadi, stok akhir tahun kemungkinan tinggal 750-800 ribu ton.

Saat ini, impor bak suah menjadi 'senjata' pemerintah untuk menstabilkan kondisi pasar dan pangan dalam negeri.

Perum Bulog masih memiliki kuota impor beras sebanyak 400 ribu ton dari total kuota 2 juta ton untuk tahun ini. Untuk itu, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) mengatakan pihaknya saat ini masih menjajaki negara mana yang akan menyuplai beras untuk Indonesia.


[-]

-

Terungkap! Rahasia Swasembada Beras Era Soeharto Dicuri India
(mfa/haa)

Sentimen: positif (100%)