Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Rezim Orde Baru
Institusi: UGM, FH UGM
Kasus: HAM
Tokoh Terkait
Menilik Masalah Internal Gerakan Mahasiswa
Detik.com Jenis Media: Metropolitan
Jakarta -
Sejarah telah menunjukkan betapa hebatnya gerakan mahasiswa dalam melakukan kontrol terhadap laju kekuasaan. Bukan hanya semata melakukan kritik, tetapi gerakan mahasiswa juga telah berhasil menunjukkan taring dalam meruntuhkan rezim otoriter. Hal tersebut dibuktikan oleh runtuhnya kekuasaan Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto.
Keberadaan gerakan mahasiswa seringkali berangkat dari kekecewaan terhadap negara. Dengan mata telanjang para mahasiswa melihat fenomena pemimpin republik yang dipilih secara demokratis tetapi justru melenceng dari koridor demokrasi dan menciptakan jurang kesenjangan antar warga negara. Atas dasar itulah perasaan kekecewaan antar mahasiswa mulai menguat.
Tetapi, saya mengamati bahwa rasa kekecewaan yang muncul dalam diri seorang mahasiswa tidak serta merta mendapat validasi dari rekan seperjuangannya. Hal ini menimbulkan beragam masalah, khususnya masalah internal dalam gerakan. Lantas, apa saja permasalahan internal dalam gerakan mahasiswa?
Praktik Patronase
Patronase berasal dari kata patron. Patron sendiri berasal dari bahasa Spanyol yang mempunyai arti seseorang yang memiliki pengaruh, kekuasaan, wewenang, dan status. Dapat disimpulkan bahwa patronase adalah sebuah keadaan di mana seorang individu dengan segala sumber daya yang ia miliki melakukan perlindungan terhadap individu lainnya. Seringkali, patronase diasosiasikan sebagai seorang pemimpin.
Begitupun ketika berbicara dalam konteks gerakan mahasiswa, selalu ada pemimpin di dalamnya. Tetapi menurut saya, praktik patronase dalam gerakan mahasiswa mulai menyimpang dari pendefinisian awal. Hal ini dikarenakan dalam gerakan mahasiswa, pola yang dihadirkan adalah hubungan subordinatif antara pemimpin gerakan dan orang di bawahnya. Saya mulai menyadari hal ini ketika terlibat dalam gerakan mahasiswa, di mana orientasi patronase bukan lagi menghadirkan perlindungan tetapi seorang patron mulai menjelma menjadi otoritarian.
Inilah yang menurut saya menjadi masalah sesungguhnya. Seorang patron dianggap benar dan selalu benar sehingga opini orang-orang di bawahnya cenderung diabaikan. Orientasi gerakan pun secara perlahan mulai terpecah, sebab orang-orang yang kecewa terhadap patron tersebut mulai berpisah dan membentuk gerakan baru. Hal ini saya amati dari berbagai kemunculan gerakan-gerakan baru di media sosial. Kemunculan gerakan baru tersebut pun mulai menyimpang dari orientasi awal, sebab tujuannya hanyalah menciptakan "gerakan tandingan" untuk melawan gerakan sebelumnya.
Saya pernah berbincang dengan seorang aktivis HAM, Fatia Maulidiyanti, terkait dengan hal ini. Ia mengungkapkan bahwa apabila sebuah gerakan terpecah, maka orientasi gerakan akan semakin sulit dicapai. Kita bisa membayangkan, sebuah gerakan mahasiswa lingkup kecil ketika terpecah maka gerakan tersebut akan semakin mengecil yang berakibat pada minimnya ketertarikan massa dan kegagalan propaganda.
Oleh sebab itu, menurut saya perlu ada sebuah pengubahan konsepsi pemikiran dalam internal gerakan mahasiswa. Saya menawarkan bahwa pemikiran egalitarian adalah pemikiran yang cocok untuk diterapkan. Mengapa? Sebab, pemikiran egalitarian adalah pemikiran tentang kesetaraan. Saya membayangkan tentang sebuah kesetaraan antarmahasiswa dalam gerakan tanpa embel-embel patronase. Semua orang haruslah setara dalam gerakan, berdiri sama tinggi dan duduk sama rata.
Moralis vs Politis
Saya berpendapat bahwa satu hal yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini adalah tentang gerakan mahasiswa yang erat dengan gerakan moralis atau justru berada dalam naungan kekuatan politis.
Gerakan moralis memiliki corak di mana kedudukan mahasiswa berada di luar lingkar kekuasaan. Meski begitu, gerakan ini tetap memegang motor pergerakan untuk melakukan fungsi kontrol politik. Sedangkan gerakan politis adalah sebuah gerakan yang menempatkan mahasiswa untuk bermain dalam arena percaturan politik nasional. Skemanya sama seperti gerakan moralis, tetapi yang membedakan orientasi gerakan politis adalah kursi kekuasaan.
Sejauh pengamatan saya dalam pergerakan mahasiswa, saya melihat berbagai fenomena pertentangan antara gerakan moralis vs gerakan politis. Sebagian mahasiswa yang berpendirian moralis menolak kehadiran gerakan politis, begitupun sebaliknya. Mahasiswa yang berpendirian moralis berpendapat bahwa perubahan kebijakan hanya dapat diraih apabila solidaritas dapat terbangun di antara elemen mahasiswa dan masyarakat. Wujudnya adalah membangun oposisi rakyat atau oposisi di luar kekuasaan negara.
Sedangkan mahasiswa yang berpendirian politis berpendapat bahwa perubahan kebijakan hanya dapat diraih jika ada kemauan dari segenap aktor-aktor politik negara untuk merealisasikannya. Oleh sebab itu, bergabungnya mahasiswa ke dalam lingkar kekuasaan dan menjadi aktor politik adalah salah satu cara untuk mengubah kebijakan dan melawan dari dalam.
Ketika saya mengamati fenomena ini, timbul pertanyaan di benak, apakah antara gerakan mahasiswa moralis dan politis saling mempengaruhi satu sama lain? Lantas, saya mencoba merefleksikan peristiwa sejarah fenomena keberhasilan gerakan mahasiswa.
Sebuah gerakan dikatakan berhasil apabila gerakan tersebut mampu mengubah kebijakan sejalan dengan keinginan rakyat. Di sinilah peran mahasiswa sebagai komunikator dan eksekutor. Sebagai komunikator, mahasiswa berperan dalam menjalankan tugas-tugas advokasi permasalahan masyarakat. Sedangkan sebagai eksekutor, mahasiswa berperan dalam menjalin kerja sama dengan berbagai elemen masyarakat untuk merombak sistem kenegaraan yang merugikan. Lazimnya dalam dunia gerakan disebut sebagai revolusi atau reformasi.
Sejarah gerakan mahasiswa telah menjelaskan bahwa peristiwa revolusi dan reformasi telah melibatkan gerakan mahasiswa secara moralis dan politis. Contohnya adalah runtuhnya rezim Presiden Sukarno akibat gerakan mahasiswa yang bekerja sama dengan TNI Angkatan Darat. Dalam kasus ini, gerakan mahasiswa terpecah menjadi dua. Pertama, gerakan yang berangkat dari keresahan masyarakat (moralis); kedua, gerakan yang cenderung kompromi dengan TNI Angkatan Darat (politis). Akhir dari gerakan ini adalah munculnya pemimpin baru dari Angkatan Darat yaitu Presiden Soeharto. Meskipun sampai saat ini masih menimbulkan kontroversi, tetapi kenaikan Soeharto sebagai presiden merupakan jasa dari gerakan mahasiswa.
Apabila menilik dari kasus Orde Baru, saya menemukan pola serupa. Pola yang saya temukan adalah Reformasi 98 terjadi karena turunnya mahasiswa ke jalan (moralis) serta kemauan elite politik untuk melakukan reformasi (politis).
Dari kejadian ini saya menarik kesimpulan bahwa keberhasilan gerakan mahasiswa tidak dapat terjadi apabila tidak ada unsur-unsur lain yang mendukung. Keterlibatan unsur politis memiliki peranan dalam mengubah kebijakan serta unsur moralis yang mendukung di luar lingkup kekuasaan. Janganlah dianggap bahwa hanya elemen tunggal (moralis) mahasiswa yang dapat melakukan agent of change, tetapi elemen politis juga harus dianggap memiliki peranan penting. Suka atau tidak suka, sejarah telah membuktikan hal tersebut.
Markus Togar Wijaya Wakil Kepala Departemen Akspro DEMA Justicia, peneliti Pusat Kajian Hukum & Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM
(mmu/mmu)
Sentimen: netral (100%)