Sentimen
Positif (100%)
3 Mei 2024 : 18.03
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Bekasi, Senayan

Kasus: covid-19, pengangguran

Tokoh Terkait

Di Mana dan ke Mana Pendidikan Kita?

3 Mei 2024 : 18.03 Views 1

iNews.id iNews.id Jenis Media: Nasional

Di Mana dan ke Mana Pendidikan Kita?

Adjat Wiratma
Doktor Manajemen Pendidikan, 
Dosen Pascasarjana Universitas Panca Sakti Bekasi

MASIH ingatkah dengan kehebohan di media sosial menyoal syarat lowongan kerja yang dibuka PT KAI, beberapa waktu lalu? Sejumlah syarat yang tercantum dalam pengumuman rekrutmen tersebut antara lain IPK (indeks prestasi kumulatif) pelamar mesti 3,5 (tiga koma lima); lulusan perguruan tinggi terakreditasi, hingga; kemampuan bahasa Inggris yang mempuni dengan skor tes di angka tertentu. Tidak ada yang menonjol dari syarat yang diajukan itu, standar saja. Kalaupun kualifikasinya dianggap cukup tinggi, tentunya sekelas perusahaan milik negara ingin mendapatkan calon karyawan terbaik. Respons negatif muncul bisa karena memang saat ini untuk mendapatkan pekerjaan sulit. Kualifikasi tinggi yang ditetapkan perusahan membuat para pencari kerja lulusan perguruan tinggi tidak gampang menyampaikan lamaran.

Baca Juga

40 Kata-kata untuk Hari Pendidikan Nasional 2024, Cocok Jadi Caption Instagram

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 5,32 persen yang berarti ada 7,86 juta pengangguran per Agustus 2023 dari total 147,71 juta angkatan kerja secara nasional. Strategi pendidikan vokasi yang dinamis dan sesuai dengan kebutuhan masih jauh panggang dari api, sekalipun sudah ada Perpres 68/2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Latihan Vokasi.

Persoalan susah mencari kerja dengan kualifikasi tinggi bisa jadi hanya persoalan rakyat biasa. Kalau untuk melamar kerja di BUMN butuh S1 dengan IPK tinggi, tidak demikian halnya untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg) yang syaratnya cukup lulusan SMA. Padahal mereka yang terpilih akan duduk di komisi yang membidangi urusan pendidikan. Hasilnya pun sudah nyata. Dari perolehan pemilu yang lalu, beberapa nama masuk ke Senayan (DPR) bukan karena ijazahnya, tetapi karena ketenaran dan keuangannya. Namun obrolan kritis semacam itu hanya ramai di linimasa sosial media dan diangkat akun-akun “dagelan” saja, satire untuk politik pendidikan yang sangat besar dampaknya dalam membangun pendidikan kita. 

Baca Juga

Memperingati Hardiknas, Mengenang Ki Hajar Dewantara

Waktunya merencanakan

Tahun ini menjadi sangat penting untuk kita merenung lebih dalam tentang sejauh mana pembangunan pendidikan sudah dilakukan. Ini adalah tahun terakhir RPJM 2020-2024 yang sejak awal diamini sebagai tahapan penting dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang juga akan segera berakhir. Rencana-rencana baru dengan kepemimpinan nasional yang baru menjadi masa yang krusial. 

Isu stategis yang mewarnai transformasi sosial dalam lingkup pendidikan adalah layanan pendidikan belum merata; kualitas pendidikan masih rendah; kuantitas, kualitas, dan distribusi guru masih terbatas; kualifikasi pendidikan angkatan kerja dan kualitas lulusan masih rendah yang membuat produktivitas dan daya saingnya rendah, serta; daya saing perguruan tinggi di tingkat global juga rendah. Begitu banyak pekerjaan rumah ini yang tidak cukup dijawab dengan kebijakan retorika semata. Kebijakan retorika adalah kebijakan yang baik diucapkan, indah terdengar namun implementasinya jauh dari harapan. Terlebih kita selalu menyebut jika bangsa ini tengah menuju satu abad Indonesia merdeka, di mana Indonesia Emas adalah aspirasi bersama untuk dapat membawa Indonesia keluar dari middle-income-trap dan menjadi salah satu negara dengan ekonomi maju pada 2045. Perjalanan menuju cita-cita yang tidak mudah yang memerlukan strategi dan arah kebijakan yang tepat, adaptif, dan visioner. 

Masalah dan intervensi

Jika membaca pemberitaan satu tahun terakhir, sebenarnya masalah yang diangkat tidak jauh dari isu lama yang dalam lima tahun terakhir ini tak kunjung terselesaikan. Sebut saja soal pendidikan karakter yang diwarnai dengan perilaku menyimpang siswa seperti perundungan; keterbatasan jumlah guru terampil khususnya di daerah terpencil; soal guru honorer, hingga; beda perlakuan guru penggerak dan bukan penggerak, juga; soal digitalisasi di tengah literasi digital dan infrastruktur yang belum siap. Secara umum masalah pendidikan kita sejauh ini masih bergelut seputar akses dan partisipasi, ketimpangan antar wilayah, kualitas guru, kurikulum dan sarana prasarana. 

Sudah pernah terpikir intervensi yang dilakukan menjawab isu pendidikan adalah dengan percepatan wajib belajar 13 tahun (1 tahun prasekolah dan 12 tahun pendidikan dasar dan pendidikan menengah); peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran; penguatan pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan berkualitas melalui restrukturisasi kewenangan pengangkatan dan distribusi guru; serta penguatan sistem tata kelola pendidikan. Empat intervensi ini membutuhkan komitmen yang kuat dan keberanian dalam pengambilan keputusannya, mengingat masalah pendidikan makin hari terus saja bertambah.

Akses dan partisipasi

Program wajib belajar yang digadang-gadang nyatanya berhadapan dengan realitas pendidikan yang semakin mahal, yang terjadi di berbagai tingkatan pendidikan, bahkan kini noeliberalisme telah melahirkan “kelas-kelas pendidikan”. Masyarakat ekonomi bawah akan sekolah di sekolah dengan fasilitas biasa saja. Sebaliknya untuk ekonomi kelas atas, masuk sekolahnya saja puluhan juta rupiah dengan fasilitas yang tentu luar biasa. Jika zaman dulu ada sekolah rakyat dan sekolah ningrat, serupa namun tak sama. Jika yang sekarang itu dibiarkan maka semangat mewujudkan pendidikan berkeadilan dan merata menjadi pudar. 
 
Belum lagi soal jumlah sekolah negeri yang tidak memperhatikan perkembangan kependudukan, terutama di kota-kota padat penduduk, yang akhirnya memaksa rakyat menyekolahkan anaknya di swasta yang tidak gratis. Soal jumlah sekolah negeri ini juga sangat tergantung dari kemampuan daerah, yakni provinsi untuk pendidikan menengah atas, sementara pendidikan dasar di bawah kewenangan pemerintah kabupaten kota yang secara umum kondisinya jauh lebih memprihatinkan. Politik dan gaya kepemimpinan daerah juga memengaruhi pembangunan pendidikan. Ironisnya, isu pendidikan tidak lagi seksi didengungkan dalam kampanye politik (seperti yang terjadi pada pemilu yang lalu sepi disuarakan).

Jika kita menyasar 1 tahun prasekolah sebagai bagian dari intervensi wajib belajar (wajib belajar 13 tahun), jumlahnya lembaga pendidikannya (yang negeri saja) faktanya masih sedikit. Tidak heran jika kondisi itu membuat lembaga pendidikan prasekolah swasta atau berbasis kemasyarakatan menjamur, tentu dengan berbagai mutu dan layanan, mulai dari gurunya yang hanya ibu rumah tangga, pensiunan, dan rata-rata mereka hanya berpendidikan SMA. Bayangkan, kondisi guru yang demikian, kita izinkan untuk mengajar anak usia dini yang menurut penelitian, dipercaya mereka berada pada masa emas perkembangan otak dan pembentukan karakter. Idealnya masa penting itu, anak-anak mendapat mendidikan dari guru-guru dengan kualifikasi terbaik, karena akan menanamkan fondasi.

Jumlah sekolah swasta yang lebih banyak dibandingkan negeri menunjukan andil masyarakat begitu besar dalam pembangunan pendidikan ini, hanya saja operasional yang mandiri inilah membuat biaya pendidikan menjadi sangat dilematis dalam pelaksanaanya. BOS dan bantuan lain dari pemerintah nyatanya tidak menghilangkan pungutan sumbangan pendidikan atau biaya-biaya lain yang cukup memberatkan bagi sebagai kalangan. Jargon pendidikan gratis pun tidak lagi faktual.  

Kualitas pengajaran dan distribusi guru

Lalu bagaimana dengan kualitas pengajaran dan pembelajaran kita sebenarnya? Faktanya penerapan kurikulum yang berbeda dalam satu masa pembelajaran selama ini membuat kita sulit untuk mengukur sebetulnya seperti apa hasil dari capaian pembelajaran. Seperti diketahui, dalam beberapa tahun terakhir setiap sekolah menerapkan kurikulum yang berbeda. Implementasi kurikulum merdeka  dilaksanakan secara bertahap berdasarkan kesiapan satuan pendidikan/daerah. Ironisnya hasil evaluasi menunjukkan banyak guru belum sepenuhnya memanfaatkan platform merdeka mengajar secara mandiri. Kurukulum yang adaptif dengan era digital ini, juga tidak didukung sarpras memadai, sehingga akhirnya platform itu belum menjadi kebutuhan guru. Hal itu mengingatkan kita pada perkataan lama, mau sebagus apa pun kurikulumnya kalau fasilitas sekolah belum memadai maka kurikulum itu mungkin kurang optimal, dan jika dikaitkan dengan Kurikulum Merdeka, pernyataan tersebut sangat relevan.

Saat implementasi yang belum maksimal itu, belakangan keluar aturan jika kurikulum merdeka disiapkan menjadi kurikulum nasional dengan harapan dapat mewujudkan transformasi pendidikan berkualitas. Sayangnya komitmen ini digongkan bukan di awal masa kepemimpinan, namun justru di tahun terakhir kerja sebagai pembantu presiden, padahal kita selalu dihadapkan pada pemeo “ganti menteri ganti kurikulum”. Pertanyaan yang kemudian muncul apakah ini akan berlanjut? Jika berkaca dari implementasinya, bukan tidak mungkin Kurikulum Merdeka akan berubah kembali saat menterinya berganti termasuk program-program di dalamnya. 

Distribusi guru menjadi masalah pelik. Desentralisasi kewenangan dengan kondisi daerah dan politiknya yang beragam membuat masalah ini akut, belum lagi ada dua kementerian yang menjadi sentral mengurusi pendidikan, membuat persoalan pemenuhan guru menjadi semakin kompleks. Terlalu banyak tenaga honorer dengan pengangkatan tanpa kualifikasi yang jelas juga jadi bom waktu. Kemudian perlakuan yang berbeda bagi guru di lingkungan Kementerian Agama dan Kemendikbudristekdikti juga menjadi soal tersendiri. Padahal manusia yang diajar sama yakni anak-anak Indonesia, namun perlakuan pada gurunya berbeda. Lambat laun hal ini tentu berujung pada pertaruhan mutu pendidikan. Disparitas guru dan sekolah antarwilayah di Indonesia adalah persoalan besar harus serius ditangani, tidak cukup hanya dengan lobi-lobi anggaran di Senayan atau pertemuan Zoom dan webinar dari ruangan di Jalan Sudirman yang biaya rehabnya sampai Rp6,5 miliar.

Budaya belajar dan mengajar

Kita sudah melewati masa krisis saat pandemi Covid-19, namun harus diingat kita sekarang masuk pada serangan penyakit baru bawaan dari pandemi. Pendidikan kita dihantui isu etos kerja pendidik dan budaya belajar peserta didik. Pandemi yang mendorong percepatan digital tidak diikuti peningkatan literasi digital. Lambat laun orang berpikir tidak perlu lagi berangkat ke sekolah, cukup di rumah. Praktik ini sudah terjadi di pendidikan tinggi, saat dosen harus hadir di kelas, mahasiswa cukup membuka gawainnya sambil ngopi di kafe atau cukup di kamar tidur saja, belajar sambal rebahan itu terjadi.  

Digitalisasi adalah keniscayaan termasuk dalam pendidikan. Tetapi yang penting bukan soal alat, melainkan bagaimana pola pikir digital itu dibentuk. Pendidikan adalah upaya membina dan mengembangkan daya cipta, karsa, dan rasa manusia menuju ke peradaban manusia yang lebih luas dan tinggi yaitu manusia yang berbudaya. Dengan begitu, pendidikan tidak hanya bicara aspek kecerdasan, tetapi juga aspek sosial emosional dan kecerdasan spritual yang dapat meningkatkan ketajaman pikiran. Di tengah gempuran media sosial, jika tidak dibarengi dengan penguatan budaya belajar dan mengajar, bukan tidak mungkin guru dan murid hanya asyik tiktokan. Jika sudah demikian, jangankan Indonesia Emas, “perunggu” pun susah digapai.

Pada gilirannya, dari semua pekerjaan rumah pendidikan kita, ujungnya bermuara pada siapa yang menjadi guru dalam sistem pendidikan kita. Saat kurikulum gonta-ganti, di tangan guru kompeten kurikulum itu akan “dihidupkan”, saat sarana masih terbatas, di tangan guru yang inovatif alam pun dapat menjadi tempat belajar menyenangkan. Guru yang sehat lahir dan batin, yang gembira saat mengajar akan selalu siap melayani, menjadi pelita dalam gelap bagi anak-anak di penjuru negeri. Namun jika fakta banyak guru yang terjerat pinjol, depresi karena dikejar-kejar debt collector, saat dosennya digaji di bawah UMR hingga harus cari kerjaan sampingan, bisakah mereka menyalakan pendidikan? Tentunya tidak, karena kehidupan mereka sendiri redup dan hampir padam. Di sinilah kita penting untuk menjadikan momentum Hari Pendidikan Nasional yang kita peringati setiap 2 Mei ini benar-benar membuka pikiran dan hati nurani. Sudahkan pendidikan ini berjalan dalam kesejahteraan? Jika belum maka harus kita akui dan para pengambil kebijakan, pemangku kewenangan membuka diri, bersinergi dengan rakyat yang secara nyata punya andil besar dalam menyalakan pelita pendidikan untuk membuat rencana-rencana ke depan yang bisa diimplementasikan di lapangan. Jangan sampai kita baru sadar ada masalah ketika viral di media sosial saja. ***

Editor : Ahmad Islamy Jamil

Sentimen: positif (100%)